Tampilkan postingan dengan label kisah islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kisah islam. Tampilkan semua postingan

“Sukses Karena Dendam Positif”

>> Senin, 02 Desember 2013

“Sukses Karena Dendam Positif” Di Sebuah Perusahaan Pertambangan minyak di Arab Saudi, di akhir tahun 40-an. Seorang pegawai rendahan, remaja lokal asli Saudi, kehausan dan bergegas mencari air untuk menyiram tenggorokannya kering. Ia begitu gembira ketika melihat air dingin yang tampak didepannya dan bersegera mengisi air dingin ke dalam gelas. Belum sempat ia minum, tangannya terhenti oleh sebuah hardikan, “Hei, kamu tidak boleh minum air ini. Kamu cuma pekerja rendahan. Air ini hanya khusus untuk insinyur”. Suara itu berasal dari mulut seorang insinyur Amerika yang bekerja di perusahaan tersebut. Remaja itu akhirnya hanya terdiam menahan haus. Ia tahu ia hanya anak miskin lulusan sekolah dasar. Kalaupun ada pendidikan yang dibanggakan, ia lulusan lembaga Tahfidz Quran, tapi keahlian itu tidak ada harganya di perusahaan minyak yang saat itu masih dikendalikan oleh manajeman Amerika. Hardikan itu selalu terngiang di kepalanya. Ia lalu bertanya-tanya: Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa segelas air saja dilarang untuk ku? Apakah karena aku pekerja rendahan, sedangkan mereka insinyur? Apakah kalau aku jadi insinyur aku bisa minum? Apakah aku bisa jadi insinyur seperti mereka? Pertanyaan ini selalu tengiang-ngiang dalam dirinya. Kejadian ini akhirnya menjadi momentum baginya untuk membangkitkan “DENDAM POSITIF”. Akhirnya muncul komitmen dalam dirinya. Remaja miskin itu lalu bekerja keras siang hari dan melanjutkan sekolah malam hari. Hampir setiap hari ia kurang tidur untuk mengejar ketertinggalannya. Tidak jarang olok-olok dari teman pun diterimanya. Buah kerja kerasnya menggapai hasil. Ia akhirnya bisa lulus SMA. Kerja kerasnya membuat perusahaan memberi kesempatan padanya untuk mendalami ilmu. Ia dikirim ke Amerika mengambil kuliah S1 bidang teknik dan master bidang geologi. Pemuda ini lulus dengan hasil memuaskan. Selanjutnya ia pulang ke negerinya dan bekerja sebagai insinyur. Kini ia sudah menaklukkan dendamnya, kembali sebagai insinyur dan bisa minum air yang dulu dilarang baginya. Apakah sampai di situ saja. Tidak. Karirnya melesat terus. Ia sudah terlatih bekerja keras dan mengejar ketinggalan, dalam pekerjaan pun karirnya menyusul yang lain. Karirnya melonjak dari kepala bagian, kepala cabang, manajer umum sampai akhirnya ia menjabat sebagai wakil direktur, sebuah jabatan tertinggi yang bisa dicapai oleh orang lokal saat itu. Ada kejadian menarik ketika ia menjabat wakil direktur. Insinyur Amerika yang dulu pernah mengusirnya, kini justru jadi bawahannya. Suatu hari insinyur bule ini datang menghadap karena ingin minta izin libur dan berkata; “Aku ingin mengajukan izin liburan. Aku berharap Anda tidak mengaitkan kejadian air di masa lalu dengan pekerjaan resmi ini. Aku berharap Anda tidak membalas dendam, atas kekasaran dan keburukan perilakuku di masa lalu”. Apa jawab sang wakil direktur mantan pekerja rendahan ini: “Aku ingin berterima kasih padamu dari lubuk hatiku paling dalam, karena kau melarang aku minum saat itu. Ya dulu aku benci padamu. Tapi, setelah izin Allah, kamu lah sebab kesuksesanku hingga aku meraih sukses ini.” Kini dendam positif lainnya sudah tertaklukkan. Lalu apakah ceritanya sampai di sini? Tidak. Akhirnya mantan pegawai rendahan ini menempati jabatan tertinggi di perusahaan tersebut. Ia menjadi Presiden Direktur pertama yang berasal dari bangsa Arab. Tahukah Anda apa perusahaan yang dipimpinnya? Perusahaan itu adalah Aramco (Arabian American Oil Company) perusahaan minyak terbesar di dunia. Ditangannya kini semakin membesar dan kepemilikan Arab Saudi semakin dominan. Kini perusahaaan ini menghasilakn 3.4 juta barrels (540,000,000 m3) dan mengendalikan lebih dari 100 ladang migas di Saudi Arabia dengan total cadangan 264 miliar barrels (4.20×1010 m3) minyak dan 253 triliun cadangan gas. Atas prestasinya Ia ditunjuk Raja Arab Saudi untuk menjabat sebagai Menteri Perminyakan dan Mineral yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap dunia. Tahukah Anda kisah siapa ini? Ini adalah kisah Ali bin Ibrahim Al-Naimi yang sejak tahun 1995 sampai saat ini (2011) menjabat Menteri Perminyakan dan Mineral Arab Saudi. Terbayangkah, hanya dengan mengembangkan hinaan menjadi dendam positif, isu air segelas di masa lalu membentuknya menjadi salah seorang penguasa minyak yang paling berpengaruh di seluruh dunia. Itulah kekuatan “DENDAM POSITIF”. Kita tidak bisa mengatur bagaimana orang lain berperilaku terhadap kita. Kita tidak pernah tahu bagaimana keadaan akan menimpa kita. Tapi kita sepenuhnya punya kendali bagaimana menyikapinya. Apakah ingin hancur karenanya? Atau bangkit dengan semangat “Dendam Positif”? (Diambil dari buku Dendam Positif karya Isa Alamsyah dan Asma Nadia) [Copas dari teman]

Read more...

Kavita, Putri Keluarga Hindu Ekstrim yang Masuk Islam

>> Senin, 24 Mei 2010


Kavita lahir dari keluarga Hindu yang taat. Keluarganya adalah anggota Shiv Sena, sebuah organisasi pemeluk agama Hindu di India yang dikenal ekstrim dan radikal. Tak heran jika Kavita sama sekali tidak mengenal agama Islam, bahkan ibadah wajib kaum Muslimin yang disebut salat pun ia tidak tahu, sampai akhirnya ia menjadi seorang muslim dan ibadah salatlah yang membuatnya mencintai Islam.

Setelah memeluk Islam, ia mengubah namanya menjadi Nur Fatima. Kisahnya menjadi seorang muslim, melalui jalan panjang dan berliku. “Saya lahir dan menikah di Mumbai, India. Usia saya 30 tahun, tapi saya masih merasa seperti anak yang masih berusia lima tahun, karena pengetahuan saya tentang Islam masih sedikit, tidak lebih dari pengetahuan yang dimiliki anak usia lima tahun,” kata Kavita atau Nur Fatima yang menyandang gelar master dari Universitas Cambrigde ini.

“Saya menyesal, karena selama ini saya cuma mengejar gelar kesarjanaan di dunia , tapi tidak melakukan apapun untuk kehidupan di akhirat kelak. Sekarang, saya ingin melakukan sesuatu untuk kehidupan di Hari Akhir nanti,” ujar Nur Fatima yang dianugerahi dua putra ini.

Ditanya tentang bagaimana awalnya ia memilih menjadi seorang muslim, Nur Fatima menjawab dengan mengungkapkan rasa syukurnya pada Allah Swt. “Pertama kali, saya ingin mengucapkan syukur pada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat-Nya. Ketika Allah Swt. berkehendak, Ia akan memberikan pemahaman pada seseorang tentang agama Islam,” tuturnya.

“Saya tumbuh di lingkungan orang-orang Hindu ekstrim yang sangat membenci orang-orang Islam. Saya memeluk Islam setelah menikah, tapi sejak remaja saya tidak senang dengan penyembahan terhadap patung-patung …”

“Saya ingat, dulu pernah menaruh sebuah patung sesembahan ke dalam ruang untuk mencuci di rumah. Kakak saya menegur perbuatan itu dan saya menjawab, jika patung itu tidak bisa melindungi dirinya sendiri, lalu mengapa kita meminta perlindungan darinya? Apa yang diberikan patung itu pada kita?,” kisah Nur Fatima mengingat masa kecilnya.

Ia mengatakan bahwa dalam keluarganya ada ritual dimana seorang anak perempuan, ketika menikah, harus mencuci kaki suaminya dan meminum air cuci kaki itu. Nur Fatima sejak awal menolak keras tradisi itu dan karenanya ia sering kena tegur keluarganya.

Sejak tinggal sendiri karena sekolah di luar negeri, Nur Fatima pernah sesekali mengunjungi sebuah Islamic Center. Dari pembicaraan yang sering ia dengar, ia jadi tahu bahwa kaum Muslimin tidak menyembah patung atau berhala tapi hanya menyembah apa yang kemudian ia ketahui disebut “Allah” Swt oleh kaum Muslimin.

Nur Fatima mengatakan bahwa ibadah salat yang membuatnya sangat terkesan dengan orang-orang Islam. “Awalnya saya tidak tahu bahwa ibadah yang mereka lakukan itu disebut salat. Tadinya saya pikir, mereka melakukan sejenis latihan kebugaran. Saya tahu ibadah yang mereka lakukan disebut salat ketika saya berkunjung ke Islamic Center itu,” ujar Nur Fatima yang mengaku, sejak itu ia sering bermimpi berada di dalam sebuah ruangan empat dimensi, namun ia tidak tahu apa makna mimpi itu.

Setelah menikah dan menetap di Bahrain, Nur Fatima banyak belajar tentang Islam, apalagi lingkungannya adalah kaum Muslimin. Ia sering mengunjungi kenalan-kenalannya yang muslim. Pernah pada bulan Ramadan, sahabat muslimnya meminta Nur Fatima untuk tidak sering berkunjung karena sahabatnya itu merasa terganggu dengan kedatangan Fatima. Tapi Fatima meminta agar temannya itu tidak melarangnya datang ke rumah karena sebagai seorang yang baru masuk Islam, ia ingin mengamati apa saja yang dilakukan seorang muslim pada saat bulan Ramadan.

Sahabatnya lalu memperkenankan Fatima berkunjung selama bulan Ramadan, dan dari kunjungannya itu Fatima mengamati bagaimana sahabatnya salat dan membaca Al-Quran. Diam-diam, Fatima mengikuti gerakan salat meski saat itu ia tidak banyak tahu tentang salat dan bacaannya. Ia mengunci kamarnya saat melakukan semua itu. Tapi suatu ketika, ia lupa mengunci kamarnya dan suaminya menyaksikan apa yang dilakukan Fatima. Fatima tahu suaminya akan marah, awalnya ia merasa takut untuk menjelaskan, tapi akhirnya ia mendapatkan keberanian, entah darimana, untuk mengatakan bahwa ia sudah masuk Islam dan yang ia lakukan adalah salat, kewajiban sebagai seorang muslim.

Suami Fatima murka mendengarnya, begitu pula saudara perempuan Fatima saat mendengar bahwa Fatima sudah menjadi seorang muslim. Keduanya memukuli Fatima sampai babak belur.

Setelah kejadian itu, Fatima tidak boleh menemuai siap pun dan ia dikunci di dalam kamar. Ketika itu, Fatima belum resmi menjadi seorang muslim, ia sendiri heran mengapa ia berani dengan tegas mengatakan bahwa ia sudah masuk Islam pada suaminya.

Suatu malam, putera tertua Fatima yang masih berusia 9 tahun masuk ke kamarnya dan menangis. Anak lelakinya itu meminta ibunya untuk melarikan diri dari rumah, karena keluarga mereka berniat membunuh Fatima karena mengaku sudah masuk Islam.

“Saya tidak bisa melupakan momen yang berat itu ketika anak lelaki pertama saya membangunkan adiknya dan mengatakan, ‘Bangun, mama akan pergi. Temuilah mama sekarang, karena tak ada yang tahu apakah mama akan bertemu kita lagi atau tidak’,” kata Fatima.

“Anak kedua saya baru menemuai saya beberapa hari kemudian, ia bertanya apakah saya akan pergi dan saya cuma bisa mengangguk. Saya yakinkan dia bahwa kita akan bertemu lagi,” sambung Fatima.

Di tengah malam gelap dan dingin, Fatima meninggalkan rumah dengan membawa dua cinta dalam hatinya. Cinta terhadap kedua puteranya dan cintanya pada Islam.

Fatima menuju sebuah kantor polisi. Beruntung, ada seorang petugas polisi yang mengerti bahasa Inggris. Setelah meminta istirahat sebentar, pada petugas polisi itu mengatakan bahwa ia pergi dari rumah karena ingin masuk Islam. Petugas polisi itu kemudian membantu Fatima dan memberikan tempat berlindung sementara di rumahnya. Fatima menolak untuk kembali pulang, ketika keesokan harinya suaminya datang ke kantor polisi dan mengatakan bahwa isterinya telah diculik.

Petugas polisi itu kemudian membawa Fatima ke rumah sakit untuk menjalani perawatan karena luka-luka yang dialaminya akibat pemyiksaan yang dilakukan suami Fatima. Setelah luka-lukanya sembuh, Fatima langsung mengunjungi sebuah Islamic Center terdekat. Di Islamic Center itu, ia melihat sebuah gambar tergantung di dinding. Saat itulah ia menyadari bahwa gambar itulah yang pernah hadir dalam mimpi-mimpinya. Seorang petugas Islamic Center mengatakan bahwa gambar itu adalah gambar Ka’bah.

Di Islamic Center itulah ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan Nur Fatima diangkat anak oleh pemilik Islamic Center itu. Ia kemudian dinikahkan dengan seorang lelaki muslim. Impiannya setelah resmi menjadi seorang muslim ketika itu adalah, segera pergi ke Baitullah dan menunaikan rukun Islam yang kelima.

Read more...

Nasihat Kepada Para Gadis Remaja

>> Selasa, 18 Mei 2010

Dengan terbata-bata dan diiringi linangan air mata penyesalan seorang remaja putri bertutur,

“Peristiwa ini bermula hanya dari pembicaraan melalui telepon antara diriku dengan seorang pria, lalu berlanjut membuahkan kisah cinta di antara kami. Ia merayu bahwa dirinya sangat mencintaiku dan ingin segera meminangku. Dia berharap dapat bertemu muka denganku, namun aku sungguh merasa keberatan, bahkan aku mengancam ingin menjauhi dirinya, kemudian menyudahi hubungan ini. Akan tetapi aku tak kuasa melakukan itu. Maka aku putuskan dengan mengirimkan fotoku dalam sebuah surat cinta yang semerbak dengan wangi aroma bunga mawar.

Gayung bersambut suratku pun dibalas olehnya, dan semenjak itu kami sering saling kirim surat. Suatu ketika melalui surat, ia mengajakku untuk keluar pergi berduaan, aku menolak dengan keras ajakan itu. Tetapi ia balik mengancam akan membeberkan semua tentang diriku, foto-fotoku, surat cintaku, dan obrolanku dengannya selama ini melalui telepon, yang ternyata ia selalu merekamnya. Aku benar-benar dibuat tak berdaya oleh ancamannya.

Akhirnya aku pun pergi keluar bersamanya dan berharap dapat pulang kembali ke rumah dengan secepatnya. Memang aku pun akhirnya pulang, namun sudah bukan sebagai diriku yang dulu lagi, aku telah berubah. Aku kembali ke rumah dengan membawa aib yang berkepanjangan, dan suatu ketika kutanyakan kepadanya, “Kapan kita akan menikah?” Apakah tidak secepatnya? Namun ternyata jawaban yang ia berikan sungguh menyakitkan, dengan nada menghina dan merendahkanku ia berkata, “Aku tak mau menikah dengan wanita rendahan sepertimu!”

Wahai saudariku tercinta!

kini engkau tahu bagaimana akhir dari hubungan kami yang jelas-jelas terlarang dalam agama ini. Oleh karena itu waspada dan berhati-hatilah jangan sampai engkau terjerumus dalam hubungan semacam itu. Jauhilah teman yang buruk perangai, yang suatu saat bisa saja ia menjerumuskanmu lalu menyeretmu ke dalam pergaulan yang rendah dan terlarang. Ia hiasi itu semua sehingga seakan-akan menarik dan merupakan hal biasa yang tidak akan berakibat apa-apa, tak akan ada aib dan lain sebagainya.

Jangan percaya omongannya, sekali lagi jangan gampang percaya! Itu semua tak lain adalah tipu daya yang dilancarkan oleh syetan dan teman-temannya. Dan jika engkau tak mau berhati-hati maka sungguh hubungan haram itu akan berakibat sebagaimana yang telah kusebutkan di atas atau bahkan lebih parah dan menyakitkan lagi.

Berhati-hatilah jangan sampai engkau terpedaya dengan bujuk rayu para laki-laki pendosa itu yang kesukaannya hanya mempermainkan kehormatan orang lain. Mereka adalah pembohong, pendusta dan pengkhianat, walau salah satu dari mulut mereka terkadang menyampaikan kejujuran dan keikhlasan. Apa yang diinginkan mereka adalah sama, dan semua orang yang berakal mengetahui itu, seakan tiada yang tersembunyi. Berapa kali kita mendengarkan, demikian juga selain kita tentang perilaku keji mereka terhadap para gadis remaja.

Namun sayang seribu sayang bahwa sebagian para gadis tak bisa mengambil pelajaran dari peristiwa memalukan yang menimpa gadis lainnya. Mereka tak mempercayai segala ucapan dan nasehat yang diberikan kecuali setelah peristiwa itu benar-benar menimpa, dan setelah terlanjur menjadi korban kebiadaban lelaki amoral itu. Tatkala musibah dan aib yang mencoreng muka telah terjadi, maka ketika itulah ia baru terbangun dari keterlenaannya, timbullah penyesalan yang mendalam atas segala yang telah dilakukannya. Ia berangan-angan agar aib, derita, dan kegetiran itu segera berakhir, namun musim telah berlalu dan segalanya telah terjadi,yang hilang tiada mungkin kembali! “Mengapa semua jadi begini?”

Saudariku Tercinta!

Bagi yang terlanjur jatuh dalam hubungan yang haram dan terlarang, jika mau berpikir maka tentu ia akan menjauhi cara seperti itu sejak awal mulanya. Sehingga tak seorang pun bisa mengajaknya demikian berpetualang dalam cinta. Sebab dalam petualangan tersebut mempertaruhkan sesuatu yang paling mulia yang merupakan lambang harga diri dan kesucian wanita. Jika sekali telah hilang, maka tak akan mungkin kembali selamanya. Wanita mana yang menginginkan agar miliknya yang paling berharga hilang begitu saja dengan sia-sia demi kesenangan sekejap? Lalu setelah itu kembali ke tengah-tengah keluarga dan masyarakat dalam keadaan terhina dan tersisih tiada mampu mendongakkan kepala?

Tiada lagi laki-laki yang mengingin kannya, hidup terkucil dan penuh kerugian yang selalu mengiringi sisa umurnya. Hatinya makin teriris manakala melihat teman sebayanya atau yang lebih muda telah menjadi seorang istri, seorang ibu rumah tangga dan pendidik generasi muda.

Oleh karena itu wahai saudariku, pikirkanlah semua ini! Jauhilah olehmu hubungan muda-mudi yang melanggar aturan agama agar engkau tidak menjadi korban selanjutnya. Ambillah pelajaran dari peristiwa yang menimpa gadis selainmu, dan jangan sampai engkau menjadi pelajaran yang diambil oleh mereka. Ketahuilah bahwa wanita yang terjaga kehormatannya itu sangatlah mahal, jika ia mengkhianati dan tak menjaga kehormatan itu, maka kehinaanlah yang pantas baginya. Tetaplah engkau pada kondisi jiwamu yang suci dan mulia dan janganlah sekali-kali engkau membuatnya hina serta menurunkan martabat dan ketinggian nilainya.

Jangan kau kira bahwa untuk mendapatkan seorang suami yang baik hanya dapat diperoleh melalui obrolan lewat telepon ataupun pacaran dan pergaulan bebas. Banyak di antara mereka yang jika dimintai pertanggung jawaban agar segera menikah justru mengatakan:

Bagaimana mungkin aku menikahi wanita sepertinya.
Bagaimana pula aku rela dengan tingkah laku dan caranya.
Bagi wanita yang telah mengkhianati kehormatannya sehari saja.
Maka tiada mungkin bagi diriku untuk memperistrinya.

Bila engkau tak menginginkan jawaban yang menyakitkan seperti ini maka jangan sekali-kali menjalin hubungan terlarang, cegahlah sedini mungkin. Selagi dirimu dapat mengen-dalikan segala urusan yang menyangkut pribadimu, maka kemuliaan dan harga diri akan terjaga. Carilah suami dengan cara yang baik dan benar, sebab kalau toh engkau mendapatkannya dengan cara gaul bebas dan cara-cara lain yang tidak benar, maka biasanya akan berakibat tersia-sianya rumah tangga dan bahkan perceraian. Rata-rata kehidupan mereka dipenuhi oleh duri, saling curiga, menuduh, dan penuh ketidakpercayaan.

Jangan kau percayai propaganda sesat yang berkedok kemajuan zaman atau mereka yang menggembar-gemborkan kebebasan kaum wanita yang mengharuskan menjalin cinta terlebih dahulu sebelum menikah. Janganlah terkecoh, sebab cinta sejati tak akan ada kecuali setelah menikah. Sedang selain itu, maka pada umumnya adalah cinta semu, hanya mengikuti angan-angan dan fatamorgana, sekedar menuruti kesenangan, hawa nafsu, dan pelampiasan emosi belaka.

Ingatlah bahwa kehidupan dunia ini sangatlah singkat dan sementara, mungkin sebentar lagi engkau akan meninggalkannya. Maka jika ternyata engkau telah terkhilaf dengan dosa-dosa segera saja bertaubat memohon ampunan sebelum ada dinding penghalang antara taubat dengan dirimu. Demi Allah nasihat ini kusampaikan dengan tulus untukmu dan itu semua semata-mata karena rasa sayang dan cintaku kepadamu.

Read more...

Aasiya Inaya: Saya Tidak Bisa Menghindar Dari Kebenaran

>> Rabu, 10 Juni 2009

Aasiya Inaya, dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang menganut agama Hindu yang meyakini bahwa Tuhan itu ada dalam berbagai wujud mulai dari air, sungai, batu sampai pepohonan. Oleh sebab itu, Asiya mengaku bangga sebagai penganut politheis, yang meyakini bahwa semua obyek ciptaan Tuhan layak disembah karena menurutnya, di setiap benda ada bagian Tuhan di dalamnya.Tapi keyakinan Aasiya mulai berubah ketika ia mengenal Islam, yang mengawali perjalanan panjangnya menjadi seorang Muslimah. Sebelum memutuskan mengucapkan dua kalimah syahadat, Aasiya mengalami pergumulan jiwa yang hebat. Di satu sisi ia mengakui kebenaran Islam, tapi sisi hatinya yang lain masih membuatnya ragu menjadi seorang Muslim.

“Saya pertama kali mengenal Islam di sekolah menengah atas. Mayoritas teman-teman sekelas saya adalah Muslim dan setiap waktu istirahat kami biasa berdiskusi tentang Islam, utamanya karena propaganda anti-Islam yang dilancarkan organisasi-organisasi Hindu di India pasca serangan 11 September dan kerusuhan di Gujarat,” kata Aasiya.

Ia melanjjutkan,”Sepanjang pembicaraan, mereka (teman-teman Muslim Aasiya) berusaha untuk meluruskan berbagai pandangan-pandangan saya yang salah tentang agama monoteis, hak perempuan, status mereka dan berbagai mitos tentang Islam yang klise.”

“Tapi, upaya mereka tidak begitu meyakinkan saya. Saya tetap memegang teguh keyakinan saya dan tetap bangga sebagai penganut politheis,” tukas Aasiya.

Meski demikian, ia mengakui bahwa sikap anti-Muslimnya agak berkurang setelah mendengar penjelasan dari teman-temannya yang Muslim. “Saya mulai merasa tersentuh dengan penderitaan mereka, bagian dari masyarakat kami, yang harus termarginalkan hanya karena ingin menjalankan ajaran agama mereka. Pandangan-pandangan saya pun jadi agak sekular …” sambung Aasiya.

Tapi semua itu belum menggerakkan hati Aasiya untuk memeluk agama Islam. Aasiya mulai beralih ke kelompok Arya Samaj, sebuah kelompok penganut agama Hindu yang keluar dari mainstream Hinduisme. Kelompok ini meyakini bahwa Hinduisme adalah agama monoteis dan tidak mengajarkan umatnya untuk menyembah berhala. Setelah menjadi bagian kelompok ini, Aasiya tidak lagi menyembah banyak benda, ia melakukan ritual Arya Samaj dan jadi rajin ke kuil.

Setelah beberapa waktu menjalani ritual Arya Samaj, Aasiya menemukan bahwa keyakinan ini juga memiliki banyak cacat dan kekurangan. “Saya merasa kembali berada di sarang laba-laba yang sama, dimana ritual dan penyembahan terhadap api menjadi bagian integral keyakinan itu, sama seperti keyakinan yang saya anut dahulu,” paparnya.

“Tapi saya menyebut itu semua sebagai langkah panjang, sebelum akhirnya saya sampai pada keputusan untuk memeluk agama Islam,” ujar Aasinya.

“Kejelasan tentang Islam mulai saya rasakan begitu kuat ketika saya menjadi mahasiswa fakultas hukum. Ketika itu saya mengikuti kuliah tentang hukum keluarga dalam agama Hindu dan Islam, mulai dari hukum perkawinan, perceraian dan urusan keluarga lainnya.”

“Saya menemukan bahwa hukum keluarga dalam agama Hindu banyak memiliki celah kelemahan karena beragamnya aturan terkait masalah teknis, perbedaan pendapat, sehingga hukum keluarga dalam agama Hindu kerap membingungkan dan tidak pasti. Di sisi lain, hukum keluarga yang diatur oleh Islam, sangat jelas, cermat dan pasti,” tutur Aasiya.

Sejak perkualiahan itu, pandangan Aasiya terhadap Islam berubah total. Selama ini, Aasiya memandang Islam sebagai agama yang kaku dan keras. “Saya melihat umat Islam sebagai umat yang statis, hidup berdasarkan pada masa lalu sementara dunia terus berkembang. Buat saya, apa yang diyakini umat Islam tidak masuk akal, tidak praktis, kejam dan ketinggalan jaman,” kenang Aasiya mengingat pandangan-pandangannya terhadap Islam di masa lalu.

“Tapi, sejak perkuliahan itu, pendapat saya langsung berubah hanya dalam satu malam. Apa yang selama ini saya anggap statis ternyata sebuah kestabilan. Ini membuat rasa ingin tahu saya tentang Islam memuncak dan saya menghabiskan waktu berjam-jam di internet untuk bicara dengan teman-teman saya yang dulu menjelaskan tentang Islam pada saya,” papar Aasiya.

Selain bertanya pada teman-temannya yang Muslim, Aasiya juga mencari berbagai informasi tentang Islam di internet dan aktif mengikuti berbagai forum diskusi. Pengetahuan Aasiya yang mulai bertambah tentang Islam mempengaruhi sikap dan pandangan Aasiyah tentang Islam ketika ia berkumpul dan membahasnya dengan sesama temannya yang beragama Hindu. Perubahan sikap dan pandangan Aasiya, tentu saja tidak mendapat tanggapan negatif dari sahabat-sahabatnya yang Hindu.

“Mereka menyebut bahwa saya sudah mengalami ‘cuci otak’ yang ingin mengubah penganut Hindu menjadi pemeluk Islam,” kata Aasiya tentang pendapat teman-teman Hindunya.

Saat itu, Aasiya mengaku khawatir dan takut melihat ketidaksetujuan teman-temannya tentang Islam dan ia merasa telah mengkhianati teman bahkan keluarganya. Tapi keyakinan Aasiya akan kebenaran Islam justeru makin kuat dan ia merasa tidak bisa lari dari kebenaran itu.

“Sampai kapan orang bisa menghindar dari kebenaran? Anda tidak bisa hidup dalam kebohongan dan menerima kebenaran membutuhkan keberanian seperti yang disebutkan dalam ayat Al-Quran dalam surat An-Nisaa; ‘ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan’.”

“Hari itu, semua rasa kekhawatiran saya lenyap. Saya merasa, jika saya tidak pernah memeluk Islam dan selamanya saya tidak akan pernah memiliki Islam, saya akan tetap dicengkeram oleh kompleksnya kehidupan yang materialistis ini, dimana hawa nafsu membuat kita enggan melakukan hal-hal yang benar,” tandas Aasiya.

Aasiya akhirnya memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi seorang Muslim. “Alhamdulillah, hari ini saya menjadi seorang Muslimah. Saya berusaha belajar dan terus belajar al-Quran dan Sunnah Rasulullah Muhammad Saw. Insya Allah, saya akan mengikuti sunah-sunahnya dengan lebih baik. Dengan bantuan beberapa teman dan sebuah organisasi Islam, saya belajar salat lima waktu,” tuturnya.

Persoalan Aasiya sekarang adalah memberitahukan tentang keislamannya pada teman-teman Hindunya dan orangtuanya. “Cepat atau lambat, saya pasti akan memberitahu mereka. Saya berharap mereka menghormati keputusan saya dan saya berdoa, semoga Allah swt memberikan kekuatan sehingga saya bisa istiqomah dengan keputusan saya menjadi seorang Muslim,” tandas Aasiya.

Read more...

Elizabeth Valencia Bersyahadah Melalui Telepon

>> Rabu, 03 Juni 2009

Gadis kelahiran Tijuana, Meksiko ini memeluk Islam melalui telepon. Sebelumnya, dia pernah tak punya semangat hidup

Elizabeth Valencia adalah seorang gadis belia kelahiran Tijuana, Meksiko. Sebelum memeluk Islam dia merasa hidupnya seakan tak berharga. Karena tubuhnya yang gemuk dia sering diejek di sekolah. Dia makin stress dan tak punya semangat hidup. Begitulah, waktu terus berjalan hingga satu ketika di musim panas tahun 2000, Elizabeth bertemu dengan seorang pemuda yang kemudian memperkenalkan Islam dan memberinya hadiah sebuah mushaf Al-Quran. Diapun mulai mengkajinya hingga akhirnya pada 13 Februari 2001 dia bersyahadah dan mengganti namanya menjadi Asma Alia. Bagaimana kisah ketertarikannya pada Islam? Berikut kisah lengkapnya seperti dituturkannya.

***

“Aku muallaf sejak 13 February 2001. Alhamdulillah!” ujar Elizabeth Valencia yang lahir di Tijuana, Baja California, Mexico pada 14 Juni 1986. Selepas masuk Islam di usia 14 tahun, dia berganti nama dengan Asma Alia.

“Saat ini akulah satu-satunya muslim di dalam keluarga. Tapi aku yakin satu saat akan bertambah lagi muallaf di rumahku, Insya Allah,” tukas dia yakin. Bagaimana kisahnya hingga Asma memeluk Islam?

“Kisah keislamanku sebenarnya telah dimulai sejak aku masih kanak-kanak,” lanjut Asma seraya berharap kisahnya bisa membawa perubahan bagi orang lain yang saat ini mencari kebenaran dalam lembaran hidup mereka.

Hidup tak bernilai

”Sebelum memeluk Islam, aku merasa hidupku seakan tak bernilai. Aku melihat seakan tak ada lagi kehidupan bagiku, tak ada yang namanya masa depan. Ditambah lagi hubunganku dengan kedua orangtua yang tak harmonis,” aku Asma.

Di sekolah, Asma merasa disisihkan oleh rekan-rekannya. ”Memang aku punya banyak teman, tapi jujur saja mereka serasa bak orang asing di mataku. Sehingga sulit sekali untuk akur dan saling berbagi,” imbuh dia.

”Adakalanya, orang-orang melihatku dengan pandangan aneh. Aku ibaratnya seperti orang buangan. Oya waktu masih bocah aku kelebihan berat badan alias. Bahkan makin gemuk persis orang dewasa padahal waktu itu aku masih duduk di bangku SMP. Sering aku pulang ke rumah dengan tangisan sebab teman-temanku kerab mengejekku dengan kata-kata yang menyakitkan. Inilah yang membuatku makin down dan tersisih,” kata dia lagi.

Hal itu membuat prestasinya di sekolah menurun, padahal dia termasuk siswa berperingkat bagus. ”Waktu masih di kelas 6 aku tak pernah bolos sekolah. Aku cinta sekolah,” kata dia mengenang. Hingga satu ketika aku mencoba berteman dengan beberapa anak muda. Ya biasa lah, masuk masa puber, mulai suka dengan lawan jenis. Aku ingin akrab dengan mereka. Sayangnya, aku harus menelan kekecewaan. Tak ada seorangpun yang menyukaiku. Ketika itu, aku makin benci dengan diriku sendiri,” lanjutnya.

”Satu hari, aku pasrah dengan keadaan dan tak mampu mencari solusi lain untuk mengatasi permasalahan hidupku. Aku ceritakan semua masalah yang membebaniku kepada setiap orang dalam rumahku, tentang bagaimana sikap orang-orang di sekolahku. Termasuk kepada kakek dan nenek, yang kutahu juga tidak begitu menyukaiku. Aku tumpahkan semua isi hatiku, tentang betapa tak bahagianya hidupku, betapa aku kesepian. Pokoknya semuanya.”

Sebagai penganut Katolik Asma lalu berupaya mencari solusi dengan banyak berdoa. ”Aku berdoa untuk hidup yang lebih baik. Tapi tak ada yang berubah. Aku pasrah dan ingin bunuh diri. Keinginan ini muncul saat aku berumur 13 dan 14 tahun. Untung pikiranku masih jernih, bunuh diri bukan jalan terbaik menyelesaikan masalah. Tapi hidup makin hari serasa makin berat saja,” lanjut dia.

Asma sering cemburu dengan teman-temannya yang rata-rata sudah punya pacar. Dia sering berangan-angan punya wajah cantik. Lalu disukai banyak pria. Sering juga sang ibu menghibur Asma dengan menyebutkannya anak yang cantik. ”Tapi aku tahu ibu berbohong. Ucapan itu cuma untuk menghiburku saja,” tukas Asma.

”Tapi, selepas memeluk Islam, dan ingat kejadian masa lalu, rasanya aku bukanlah orang yang buruk di dunia ini. Ya aku cuma gemuk saja. Tak lebih dari itu. Benar kata ibu wajahku cantik. Tapi entah kenapa aku merasa hidupku buruk. Untung Allah datang dan membimbingku ke jalan yang benar,” syukur Asma.

Bertemu pemuda Islam

Ceritanya, pas musim panas tahun 2000 silam, Asma bertemu dengan seorang seorang pemuda yang kemudian memperkenalkan Islam kepadanya. “Aku masih sangat ingat, hari Sabtu 4 Nopember dia menghadiahiku sebuah mushaf Al-Quran. Akupun mulai mengkajinya. Hanya dalam waktu 3,5 bulan, aku berhasil mempelajarinya secara tuntas! Menakjubkan. Tahu tidak, inilah bacaan pertamaku yang mampu kutamatkan secara tuntas tanpa kehilangan satu katapun. Sebelumnya buku apapun yang kubaca tak ada yang tamat. Masya Allah!,” kata Asma gembira.

Pada 13 Februari 2001 Asma jatuh sakit dan dia terbaring lemah di atas pembaringannya di rumah. Dia merasa depresi berat. Layaknya orang baru putus cinta. “Batinku benar-benar tertekan. Aku punya pacar dan kami sudah sepakat nanti jika sudah sampai waktunya akan menikah. Dia pun tak menampik. Sayangnya, keluarga pacarku itu ternyata telah menyiapkan gadis lain di kampungnya,” cerita Asma kelu.

Di tengah kegalauan itu muncul ide dalam kepalanya. “Aku ingin bikin perubahan dalam hidup ini,” batin Asma. Kendati kondisi lemah, dia beranjak dari tempat tidur dan bergegas menuju ke Mesjid Hamzah, sebuah mesjid di Mira Mesa, selatan California. Sebelumnya Asma mengontak dua orang rekan muslimah untuk ketemu di sana.

“Aku ceritakan pada mereka bahwa aku telah mempelajari Islam dan butuh saran mereka. Kepada salah seorang dari muslimah itu, dia baru berusia 13 tahun, aku sebutkan bahwa aku mau masuk Islam tapi tidak tahu bagaimana caranya. Rekan muslimah itu menyebut sangat sederhana sekali. Pertama harus ada dua kalimah syahadah di dalam hati. Begitupun, kata dia, aku musti mendeklarasikan kalimah itu di hadapan muslim lain sebagai saksi keislamanku,” kisah Asma panjang lebar.

Bersyahadah via telepon

Mendengar penjelasan temannya tersebut Asma pun setuju dan tak mau menunggu lagi untuk segera mengucapkan dua kalimah syahadah. “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah. Alhamdulillah! Aku bersyahadah melalui telepon. Disaksikan oleh rekan muslimah yang baru berusia 13 tahun itu, di seberang sana ada saksi lain yakni ayah si muslimah tersebut dan seorang pembantunya. Merekalah saksi keislamannku,” kisahnya lagi.

Asma tampak berlinangan airmata. Dia merasakan tubuhnya ringan sekali. Mungkin itu yang disebut, dosa-dosa di masa silam bagi orang yang baru memeluk Islam dimaafkan alias dihapuskan.

“Segera setelah proses syahadah itu, aku pun menemui rekan-rekan lain yang selama ini mengajarkanku apa itu Islam. Mereka sangat gembira sekali. Setelah itu akupun pulang untuk mandi. Di kaca aku berujar “Aku sudah jadi muslim, aku sudah jadi muslim. Oh masya Allah, aku jadi muslim!”. Ya aku sangat gembira sekali,” ujar Asma.

Ibunya syok

Hari-hari berikutnya, Asma bertemu dengan banyak rekannya yang muslimah seraya memberitahukan keislamnnya. “Tapi aku belum berani menceritakan pada orangtuaku. Aku takut dan menduga bisa saja dibunuh, gara-gara masuk Islam. Aku minta saran seorang muslimah apa yang musti kulakukan. Kata dia memang sebaiknya tak usah diberitahukan dulu hingga nanti ada waktu yang tepat. Soalnya aku juga masih sangat kecil sekali, baru 14 tahun,” sebut Asma.

Asma akhirnya menceritakan perihal keislamannya kepada sang ibu. “Ibu sangat terkejut dan sempat syok. Namun di hari berikutnya keadaan membaik. Dia bisa menerima berita itu. Ibu juga menyarankan untuk memberitahu ayah. Tapi aku menolak sarannya. Aku masih butuh waktu. Dan ini semua adalah proses,” ceritanya lagi.

Hari-hari berikutnya Asma menghabiskan waktunya dengan belajar tatacara shalat. “Aku belajar sendiri melalui buku-buku hingga aku bisa hafal bacaan di dalam shalat. Subhanallah!,” syukur Asma. Asma juga kadangkala ke mesjid untuk berjumpa rekan-rekannya dan menanyakan hal-hal yang belum dikuasainya.

Mulai pakai jilbab

Waktu terus berjalan dan kadar keimanan Asma pun semakin meningkat. Hingga dia memutuskan untuk mengenakan jilbab. Sesuatu yang awalnya sangat berat sekali bagi Asma. “Aku mulai pakai jilbab kala pergi keluar rumah. Aku mencoba untuk istiqamah,” ujar Asma.

Satu ketika tanpa disadarinya sang ayah melihat kelakuan Asma itu. Asma benar-benar takut kala tahu ayahnya mengamati dia. “Aku takut sekali. Aku takut bakal dimarahi. Dengan segenap kekuatan hati kusampaikan bahwa aku telah masuk Islam dan apa yang kulakukan ini adalah mengikuti perintah Allah. Ayah terpana sejenak. Lalu dia menyebut: “Tidak apa-apa anakku. Tapi sekarang sudah besar dan kamu sudah saatnya memilih. Nak, kamu anak ayah yang paling pintar,” kisah Asma perihal jilbab dan respon ayahnya.

Sejak itu Asma seolah mendapat kekuatan berlipat. Tepat tanggal 11 Juni 2001 diapun mulai mengenakan jilbab di sekolah.

“Hanya 3 hari sebelum ulang tahunku yang ke-15. Jadi ini merupakan hadiah ulang tahun terbesar dalam hidupku. Awaknya aku hendak mengenakannya pas di hari ultah. Tapi batinku mengatakan kenapa musti ditunda sesuatu yang bisa dilaksanakan sekarang. Masha’Allah!,” tukas Asma lagi.

Sejak itu pula Asma berhenti memikirkan pandangan orang lain terhadapnya. Misalnya pandangan aneh kala ada warga yang melihatnya berjilbab dan macam-macam hal lainnya. “Berat memang, tapi rasa percaya diriku benar-benar tumbuh. Aku suka dengan jalan hidupku ini. Terutama setelah berjilbab. Alhamdulillah!,” kata dia penuh percaya diri.

Tak hanya itu, Asma pun mulai berani berdakwah. “Aku mulai menceritakan apa itu Islam kepada ayah setelah sebelumnya hal yang sama juga kuceritakan pada ibu. Aku hanya berusaha, hidayah ada di tangan Allah. Tapi aku yakin satu ketika kedua orangku Insya Allah akan mengikutiku. Amiin,” harap Asma.

“Aku sangat bahagia sebab Allah SWT telah memberiku peluang untuk menjadi seorang muslim dan satu hari nanti, Insya Allah, semoga aku bisa mendapat seorang pendamping hidup yang saleh, menikah dan memiliki anak serta aku akan menjadi guru bagi mereka. Indah sekali rasanya. Aku sangat mensyukuri atas semua karunia ini. Semoga Allah memelihara hidayah ini dan berharap Allah juga segera memberi hidayah untuk kedua orangtuaku,” tutup Asma. [hdyt]

Read more...

TANGIS ABDURRAHMAN BIN AUF Radhiallahu 'Anhu (Masuk Surga Dengan Merangkak)

>> Kamis, 21 Mei 2009

Pada suatu hari, saat kota Madinah sunyi senyap, debu yang sangat tebal mulai mendekat dari berbagai penjuru kota hingga nyaris menutupi ufuk. Debu kekuning-kuningan itu mulai mendekati pintu-pintu kota Madinah. Orang-orang menyangka itu badai, tetapi setelah itu mereka tahu bahwa itu adalah kafilah dagang yang sangat besar. Jumlahnya 700 unta penuh muatan yang memadati jalanan Madinah. Orang-orang segera keluar untuk melihat pemandangan yang menakjubkan itu, dan mereka bergembira dengan apa yang dibawa oleh kafilah itu berupa kebaikan dan rizki. Ketika Ummul Mukminin Aisyah RHA mendengar suara gaduh kafilah, maka dia bertanya, "Apa yang sedang terjadi di Madinah?" Ada yang menjawab, "Ini kafilah milik Abdurrahman bin Auf RA yang baru datang dari Syam membawa barang dagangan miliknya." Aisyah bertanya, "Kafilah membuat kegaduhan seperti ini?" Mereka menjawab, "Ya, wahai Ummul Mukminin, kafilah ini berjumlah 700 unta." Ummul Mukminin menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Aku bermimpi melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak'." (al-Kanz, no. 33500)

Renungkanlah, wahai orang-orang yang punya akal pikiran; Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak!

Sebagian sahabatnya menyampaikan berita ini kepadanya. Ia teringat bahwa ia pernah mendengar hadits ini dari Nabi SAW lebih dari sekali, dan dengan lafazh yang berbeda-beda. Ia pun melangkahkan kakinya menuju rumah Ummul Mukminin Aisyah RHA dan berkata kepadanya, "Sungguh engkau telah menyebutkan suatu hadits yang tidak akan pernah aku lupa-kan."

Kemudian ia berkata, "Aku bersaksi bahwa kafilah ini berikut muatan dan pelananya, aku infakkan di jalan Allah SWT."

Muatan 700 unta itu pun dibagi-bagikan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya dalam "pesta besar". Itulah Abdurrahman bin Auf, seorang pedagang sukses, orang kaya raya, mukmin yang mahir... yang menolak bila kekayaannya itu menjauhkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Bagaimana tidak? Sedangkan ia adalah salah seorang dari delapan orang yang telah lebih dahulu masuk Islam, dan termasuk salah seorang yang diberi kabar gembira dengan surga.

Ia adalah salah seorang dari enam anggota musyawarah yang ditunjuk oleh al-Faruq Umar RA untuk memilih khalifah di antara mereka sepeninggalnya seraya berkata, "Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka."

Ia berhijrah ke Habasyah, kemudian kembali ke Makkah. Kemudian berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Kemudian berhijrah ke Madinah, dan mengikuti perang Badar, Uhud dan semua peperangan.

Ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, beliau mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dengan Sa'd bin ar-Rabi' RA. Mengenai hal itu, Anas bin Malik RA menuturkan, "Sa'd berkata kepada Abdurrahman, 'Wahai saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang paling banyak hartanya, lihatlah separuh hartaku lalu ambillah. Aku punya dua istri, lihatlah mana di antara keduanya yang paling engkau kagumi, maka aku akan menceraikannya untuk engkau nikahi.' Abdurrahman bin Auf menjawab, 'Semoga Allah memberkahimu berkenaan dengan keluargamu dan hartamu... Tunjukkanlah padaku letak pasar.' Lalu ia pergi ke pasar, lalu membeli dan menjual serta mendapatkan keuntungan."

Perdagangannya sukses lagi diberkahi, dia mencari yang halal dan menjauhi yang haram serta syubhat. Dalam perdagangannya terdapat bagian yang sempurna untuk Allah, yang disampaikan untuk keluarga dan saudara-saudaranya, serta untuk menyiapkan pasukan kaum muslimin.

Ia pernah mendengar Rasulullah a bersabda kepadanya pada suatu hari,

يَا ابْنَ عَوْفٍ، إِنَّكَ مِنَ اْلأَغْنِيَاءِ، وَإِنَّكَ سَتَدْخُلُ الْجَنَّةَ حَبْوًا، فَأَقْرِضِ اللهَ يُطْلِقْ لَكَ قَدَمَيْكَ

"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya kamu termasuk kaum yang kaya raya, dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Oleh karena itu, pinjamkanlah suatu pinjaman kepada Allah sehingga Allah membebaskan kedua telapak kakimu." (HR. al-Hakim, 3/ 311 dan al-Hilyah, 1/ 99)

Sejak saat itu, ia memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, sehingga Allah melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Suatu hari ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian membagikan semuanya untuk keluarganya yaitu Bani Zahrah, untuk Ummahatul Mukminin, dan kaum fakir dari kalangan kaum muslimin. Suatu hari ia memberikan untuk pasukan kaum muslimin se-banyak 500 kuda. Pada hari yang lain, ia memberikan sebanyak 1500 unta. Ketika meninggal, ia mewasiatkan sebanyak 50.000 dinar di jalan Allah. Ia mewasiatkan untuk masing-masing orang yang masih hidup dari peserta perang Badar mendapat-kan 400 dinar di jalan Allah. Sampai-sampai Imam Syahid Utsman bin Affan RA mengambil bagiannya dari wasiat tersebut seraya berkata, "Harta Abdurrahman adalah halal dan bersih, dan menikmati harta tersebut menjadi kesembuhan dan keberkahan."

Karena itu dia berkata, "Penduduk Madinah semuanya adalah sekutu Ibnu Auf berkenaan dengan hartanya... karena sepertiganya ia pinjamkan kepada mereka, sepertiganya untuk membayarkan hutang mereka, dan sepertiganya lagi ia sampai-kan dan berikan kepada mereka."

Sekarang... mari kita lihat air mata orang shalih ini yang menjadikannya sebagai golongan orang-orang yang shalih, zuhud, dan jauh dari dunia berikut segala isinya.

Suatu hari ia dibawakan makanan untuk berbuka, karena ia berpuasa. Ketika kedua matanya melihat makanan itu dan mengundang seleranya, ia menangis seraya berkata, "Mush'ab bin Umair gugur syahid dan ia lebih baik daripada aku, lalu ia dikafani dengan selimut. Jika kepalanya ditutupi, maka kedua kakinya kelihatan dan jika kedua kakinya ditutupi, maka kepalanya kelihatan. Hamzah gugur sebagai syahid dan ia lebih baik daripada aku. Ia tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya selain selimut. Kemudian dunia dibentangkan kepada kami, dan dunia diberikan kepada kami sedemikian rupa. Aku khawatir bila pahala kami telah disegerakan kepada kami di dunia."

Pada suatu hari sebagian sahabatnya berkumpul untuk me-nyantap makanan di kediamannya. Ketika makanan dihidangkan di hadapan mereka, maka ia menangis. Mereka bertanya, "Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Muhammad?" Ia menjawab, "Rasulullah SAW telah meninggal dalam keadaan beliau berikut ahli baitnya belum pernah kenyang makan roti gandum... Aku tidak melihat kita diakhirkan, karena suatu yang lebih baik bagi kita."

Demikianlah Abdurrahman bin Auf, sampai-sampai dikatakan tentang dia, seandainya orang asing yang tidak mengenalnya melihatnya sedang duduk bersama para pelayannya, maka ia tidak bisa membedakan di antara mereka.

Ketika al-Faruq Umar bin al-Khaththab RA akan melepas nyawanya yang suci, dan memilih enam orang dari sahabat Rasulullah SAW untuk memilih khalifah baru, di antara mereka ialah Abdurrahman bin Auf, maka pada saat itu banyak jari yang menunjuk ke arah Ibnu Auf. Ketika sebagian sahabat mendu-kungnya berkenaan dengan hal itu, maka ia berkata, "Demi Allah, mata anak panah diambil lalu diletakkan di kerongkonganku, kemudian diteruskan ke sisi lainnya, lebih aku sukai daripada menjadi khalifah."

Setelah itu, ia memberitahukan kepada kelima saudaranya bahwa dirinya mundur dari pencalonan. Tetapi mereka ber-pendapat agar dialah yang menjadi hakim dalam memilih khalifah. Dialah orang yang dinilai oleh Imam Ali bin Abi Thalib RA, "Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW menyifatimu sebagai orang kepercayaan di penduduk langit dan orang keper-cayaan di penduduk bumi."

Di sinilah terjadi pemilihan yang benar. Ia memilih Dzun Nurain, seorang yang dermawan dan pemalu, penggali sumur untuk kaum muslimin, orang yang menyiapkan pasukan penak-lukan Makkah, Imam Syahid Utsman bin Affan RA. Akhirnya, yang lainnya mengikuti pilihannya.

Pada tahun 32 H., Ibnu Auf menghembuskan nafas terakhirnya. Ummul mukminin Aisyah RHA ingin memberikan penghar-gaan khusus kepadanya yang tidak pernah diberikannya kepada selainnya. Aisyah menawarkan kepadanya, pada saat Ibnu Auf berbaring di atas ranjang kematiannya, untuk dikuburkan di kamarnya di sisi Rasul SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab RA. Tetapi ia seorang muslim yang terdidik dengan sangat baik oleh keislamannya, sehingga ia merasa malu mengangkat dirinya kepada derajat seperti ini. Apalagi ia punya perjanjian yang sangat kuat bersama Utsman bin Mazh'un RA, ketika keduanya mengadakan perjanjian pada suatu hari, bahwa siapa di antara keduanya yang mati belakangan, maka ia diku-burkan di dekat sahabatnya.

Ketika ruhnya siap untuk melakukan perjalanan baru, maka kedua matanya mengalirkan air mata, dan lisannya berucap, "Sesungguhnya aku takut tertahan untuk berjumpa sahabat-sahabatku karena banyaknya harta yang aku miliki."

Tetapi Allah SWT menurunkan ketentramanNya, dan wajahnya berbinar-binar dengan cahaya. Seolah-olah ia mendengar sesuatu yang menyejukkan yang dekat dengannya. Sepertinya ia mendengar suara sabda Rasul SAW di masa lalu, "Abdurrahman bin Auf masuk surga."

Sepertinya ia mendengar janji Allah dalam Kitab SuciNya, "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemu-dian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Al-Baqarah: 262).

Read more...

SYAIKH ABDUL QADIR AL-ARNA`UTH -Rahimahullah (Khadim as-Sunnah Yang Bersahaya, Temui Rabbnya Dengan Tanda 'Husnul Khatimah')

Syaikh kita ini -rahimahullah- dilahirkan di Frila, propinsi Kosovo di kawasan Balkan (saat ini Kosovo, yang dihuni etnis Albania dan tengah berupaya memisahkan diri dari republik Serbia-red), pada tahun 1347, kemudian hijrah bersama ayahandanya ke Damaskus saat masih berusia 3 tahun. Hijrah tersebut bagi kaum Muslimin di sana merupakan upaya menyelamatkan diri dari penindasan kaum atheis komunis. Di Damaskus, ia mendapatkan suasana yang kondusif dan tinggal di sana melewati hari-hari yang diberkahi. Namun demikian, beliau pun terus menjaga hubungan dakwahnya dengan negeri asalnya.

Beliau dikenal dengan nama Abdul Qadir al-Arna`uth. Hanya saja, nama aslinya dalam identitas diri adalah Qadri Shauqel Abdoe. Al-Arna`uth merupakan penisbatan yang diberikan para khalifah Utsmaniah kepada para penduduk di pinggiran negara Albania.


Perkembangan Ilmiah Dan Guru-Gurunya

Syaikh al-Arna`uth tumbuh di Damaskus sedangkan ayahandanya adalah seorang rakyat biasa yang mencintai ilmu. Ia menyerahkan al-Arna`uth kecil kepada beberapa pengajian Syaikh. Di awal pertumbuhannya, ia belajar Mabadi` al-Funun kepada Syaikh Shubhi al-‘Aththar dan Sulaiman Ghawidji al-Albani (ayahanda syaikh Wahbi) di perkampungan Arna`uth di Damaskus. Kemudian ia bekerja sebagai tukang jam di kelontong milik Syaikh Sa’id al-Ahmar di kampung Emara. Syaikh al-Ahmar ini merupakan seorang ulama jebolan universitas al-Azhar. Al-Ahmar kagum dengan kecerdasan al-Arna`uth, lalu berkata kepada ayahandanya, “Anakmu ini harus menjadi seorang penuntut ilmu.” Karena pesan itu, al-Arna`uth bergabung dengan pengajian Syaikh Shalih al-Farfur di Jami’ Umawi. Para rekannya ketika itu adalah Syaikh Abdur Razzaq al-Halabi, Ramzi al-Bazm, Adib al-Kallas dan Syu’aib al-Arna`uth (Peneliti hadits terkenal juga-red).

Melihat Syaikh kita ini amat menonjol dalam membaca al-Qur`an sesuai dengan ilmu tajwidnya, maka ia pun membacakan kepada para temannya tersebut dan mengajarkan mereka ilmu tajwid. Kemudian ia terus meningkatkan keilmuannya hingga membaca di hadapan Syaikh al-Qurra`, Mahmud Faiz ad-Dir’athani dan mengkhatamkan bacaan al-Qur`an ala Qira`at Hafsh. Gurunya ini amat suka dengan bacaan dan makhraj Syaikh kita yang demikian bagus. Suatu hari ia berkata kepadanya, “Bacaanmu lancar.” Gurunya itu berupaya agar ia terus bersamanya untuk menggabungkan Qira`at, namun Syaikh kita lebih memilih untuk meninggalkan tempat mengaji itu dan menimba ilmu hadits.

Perlu disinggung di sini, sebagian orang yang memuat biografi Syaikh kita ini sering menyebutkan bahwa ia belajar dengan Syaikh Abdur Razzaq al-Halabi. Ini tidak benar, sebab mereka berdua adalah berteman sejak awal menuntut ilmu.

Syaikh kita tidak meraih satu pun tanda tamat, yang dikenal di zaman kontemporer ini dengan ijazah, selain ijazah kelas 5 Ibtidaiyah dari Madrasah al-Is’af al-Khairi di mana beliau belajar di madrasah al-Adab al-Islami selama dua tahun.

Syaikh kita terus menuntut ilmu, muthala’ah dan berdakwah. Allah SWT menganugerahkannya hafalan yang kuat sehingga dapat digunakannya untuk menerima ilmu dan menghafal. Beliau menggunakan waktu selama di Dar al-Maktab al-Islami milik Syaikh Zuhair asy-Syawis untuk mengambil manfaat dengan mendampingi al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rah, Syu’aib al-Arna`uth dan ulama selain keduanya. Beliau juga mengambil manfaat dari hubungannya dengan Syaikh as-Salifiyyin di Syam, Muhammad Bahjat al-Baithar, yang dikenal di semananjung Syam, Hijaz dan Nejd.

Di akhir hayatnya, beliau mendapatkan sebagian ijazah, di antaranya dari Abdul Ghani ad-Daqir dan Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin ‘Uqail Tadija.

Di akhir masa belajarnya dengan Syaikh Shalih Farfur terjadi sedikit masalah di antara keduanya. Intinya, beliau disidang karena dinilai melakukan pelanggaran, yaitu memiliki buku al-Wabil ash-Shayyib karya Ibn al-Qayyim. Karenanya, Syaikh kita ini diusir dari pengajian karena dituduh menganut paham ‘Wahabi.’ Para temannya pun ikut mengisolirnya. Label ‘Wahabi’ di Damaskus kala itu merupakan tuduhan paling keji yang dilekatkan kepada seseorang bahkan setara dengan kata ‘Zindiq.’!! (Na’udzu billah Min Dzalik)

Ketika itu, Syaikh kita ini belum mengetahui sesuatu pun tentang ‘Wahabiah.’ Akan tetapi setelah kejadian itu dan pergelutan dininya dengan ilmu hadits, terutama setelah mempelajari dan menghafal shahih Muslim serta mendapatkan arahan yang baik dari Syaikh yang diberi usia panjang, Abdurrahman Albani –hafizhahullah-, maka hal itu merupakan sebab langsung perubahannya menjadi seorang Salafi, bahkan ia kemudian menjadi bagian dari kepemimpinannya dan namanya menggaung di seantero Dunia Islam, apalagi di bidang ilmu hadits. Kiranya, sepeninggal Syaikh al-Albani, belum ada ulama yang lebih besar pengabdiannya terhadap ilmu hadits dari syaikh kita ini. Hingga akhirnya, nama beliau diusulkan untuk meraih penghargaan Raja Faishal kategori pengabdian terhadap Islam.

Pekerjaan Dan Rutinitasnya

Syaikh kita ini dilimpahi tugas mengimami dan berkhutbah di Jami’ al-Arna`uth di awal usia 20-an. Di sana beliau berkenalan dengan tetangganya, Syaikh al-Albani rah namun belum sempat terjadi kontak ilmiah ketika itu.

Kemudian bersama sejumlah para dermawan, beliau mendirikan Jami’ Umar bin al-Khaththab di kawasan al-Qadam, selatan Damaskus. Di sana, beliau mengimami dan berkhutbah selama sepuluh tahun. Kemudian juga menjadi khatib di Jami’ al-Ishlah di kawasan ad-Dahadil selama sepuluh tahun, kemudian Jami’ al-Muhammadi di al-Muzzah selama delapan tahun. Di sana, pada tahun 1415 beliau berhenti berkhutbah.

Sedangkan dalam bidang pengajaran, maka beliau telah memulainya dengan di pengajian syaikhnya, Shalih al-Farfur dalam ilmu tajwid sebagaimana telah dipaparkan di atas. Kemudian mengajarkan ilmu-ilmu al-Qur`an dan hadits di madrasah al-Is’af al-Khairi -dimana beliau tamat- antara tahun 1373-1380.

Pada tahun 1381, beliau pindah ke al-Ma’had al-‘Arabi al-Islami sebagai pengajar al-Qur`an dan fiqih dan tetap mengajar di sejumlah Ma’had ilmiah di Damaskus hingga sekitar dua tahun, tepatnya di Ma’had al-Aminiah.

Dengan begitu, total masa belajar dengan menimba ilmu di bidang pengajaran, menjadi imam dan khatib beliau jalani selama 50 tahun. Semua itu beliau lakukan dengan mengharap pahala dari Allah SWT semata.

Perlu diketahui, ‘Allamah Syam, Syaikh Muhammad Bahjat al-Baithar sebelumnya telah menyerahkan tugas mengimami Jami’ asy-Syuriji di al-Maedan kepada Syaikh kita, demikian juga dengan mengajar. Ini merupakan rekomendasi ilmiah tertinggi kepada syaikh kita, al-Arna`uth.

Beliau juga diangkat sebagai delegasi oleh Samahah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Bazrah ke kawasan Balkan untuk berdakwah sejak empat puluh lima tahun lalu. Hal itu terjadi manakala keduanya berjumpa di Masjid Nabawi. Syaikh Bin Baz tertarik dengan ceramah yang disampaikannya dan merasa yakin bahwa ia menguasai bahasa Albania dengan baik.

Syaikh kita, al-Arna`uth aktif memberikan fatwa kepada masyarakat dan ikut memberikan solusi bagi permasalahan mereka. Tidak ada orang yang bisa menandingi beliau ketika itu selain Samahah asy-Syaikh Bin Baz. Semua orang dari berbagai penjuru Suriah mengambil fatwa darinya, terutama dalam masalah Talak di mana beliau berfatwa sesuai dengan pendapat Syaikhul Islam, Ibn Taimiah. Beliau terus berfatwa untuk seluruh lapisan masyarakat hingga beberapa bulan menjelang wafatnya.

Dapat dikatakan di sini, bahwa pintunya selalu terbuka buat para penuntut ilmu, sampai-sampai beliau tidak bisa mengatur waktunya dengan orang-orang yang berkepentingan dengannya.

Beliau juga sering bepergian untuk berdakwah, menyampaikan ceramah dan mengikuti berbagai seminar ke berbagai negara. Beliau memiliki hubungan yang kontinyu dengan para ulama kerajaan Arab Saudi dan lainnya.
Aktifitas Ilmiahnya
Beliau tidak terlalu konsen dengan dunia karya tulis. Di antara risalahnya yang paling masyhur adalah al-Wajiz Fi Manhaj as-Salaf ash-Shalih Wa Washaya Nabawiah. Namun Syaikh kita ini dikenal dan tersohor dengan berbagai Tahqiq-nya terhadap sejumlah buku. Bahkan beliau terrmasuk orang yang banyak melakukan hal itu di mana beliau telah menahqiq lebih dari 60 buku dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Barangkali di antara buku paling masyhur yang dikeluarkannya sejak 40 tahun lalu adalah Jami’ al-Ushul karya Ibn al-Atsir dalam 15 jilid. Buku itu hingga saat ini masih menjadi rujukan dan ensiklopedia cetak paling penting yang dicetak dan melayani ilmu hadits. Banyak para peneliti menukil putusan hadits yang beliau keluarkan di sana. Kitab inilah yang menjadikan Syaikh kita lebih dominan di bidang hadits.

Di antara karyanya yang paling masyhur adalah tahqiq beliau terhadap kitab Zad al-Ma’ad karya Ibn al-Qayyim, bersama dengan Syaikh Syu’aib al-Arna`uth. Ini merupakan kitab yang agung di mana Allah mencatatkan respons manusia yang luar biasa terhadapnya dan penyebaran yang luas.

Di antara buku lainnya yang beliau teliti (baca: tahqiq) adalah al-Azkar karya Imam an-Nawawi, Zad al-Masir Fi ‘Ilm at-Tafsir, Ghayah al-Muntaha, al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’, Raudhah ath-Thalibin, Jala` al-Afham, Misykah al-Mashahabih, al-Kafi karya al-Muwaffiq, Raf’u al-Mulam ‘An al-A`immah al-A’lam karya Ibn Taimiah, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, Fath al-Majid, Syarh Tsulatsiat al-Musnad, Mukhtashar Syu’ab al-Iman, Tuhfah al-Maudud Fi Ahkam al-Maulud, Qa’idah Jalilah Fi at-Tawassul Wa al-Wasilah, al-Furqan karya Ibn Taimiah, al-Wabil ash-Shayyib karya Ibn al-Qayyim, al-Kalim ath-Thayyib karya Ibn Taimiah, at-Tibyan Fi Adab Hamalah al-Qur`an, at-Tawwabbin karya Ibn Qudamah, Washaya al-Aba` Li al-Abna`, asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyadh, dan lain sebagainya.

Beliau juga banyak memberikan pengantar pada sejumlah buku, di antaranya Jamharah al-Ajza` al-Haditsiah.

Sifat Fisik Dan Akhlaknya

Syaikh kita berkulit putih kemerahan, bermata biru, pirang, agak tinggi dan tegap. Hal ini karena beliau mantan atlet di masa mudanya. Allah menjaga kesehatannya secara umum hingga malam wafatnya. Hanya saja, patah kaki yang dideritanya yang mempengaruhi kedua lututnya mengharuskannya menjalani operasi penggantian kedua sendi lutut setelah sekian tahun menderita. Lalu di akhir umurnya, beliau mengalami semacam ‘stroke’ ringan yang berpengaruh bagi wajahnya.

Syaikh al-Arna`uth juga sosok yang selalu ceria, pandai beranekdot dan berkelakar. Di antara sifat utamanya, ia tidak mengenal kata takabur dan tidak memandang dirinya beruntung. Secara fitrah, ia amat tawadhu’ dan ilmu yang dimilikinya menambah ia semakin tawadhu’. Dalam tanda tangan yang dibubuhkannya dan di sisi namanya, ia selalu menulis, “Hamba yang faqir kepada Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Kuasa, Abdul Qadir al-Arna`uth, Khadim (Pengabdi) ilmu hadits di Damaskus.”

Sekalipun demikian, beliau seorang yang kuat dan pemberani dalam menyatakan kebenaran dan membelanya. Banyak sekali sikap yang menunjukkan kegigihannya dalam membela as-Sunnah, menentang bid’ah dan kemungkaran para pelakunya.

Beliau juga seorang yang dermawan, pandai bergaul dengan masyarakat, selalu menghadiri undangan dan momen-momen yang diadakan mereka. Hanya saja, di antara perbedaannya dengan banyak tuan guru, bahwa beliau hampir tidak pernah walau sedetik pun membuang waktunya tanpa meminta petunjuk dan nasehat. Begitu duduk, ia dengan suaranya yang lantang dan fasih berkata, “Fulan dan Fulan meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda….” Lalu beliau mengetengahkan sejumlah hadits yang sesuai dengan kondisi. Semua itu dibacanya dari hafalannya yang jitu, meriwayatkannya secara harfiah, bukan makna, dengan begitu fasih, bukan dengan mengulang-ulang atau terbata-bata.

Wafatnya

Beliau wafat di Damaskus, pada Jum’at pagi, 13 Syawal 1415 H sesuai kalender Suriah dan Ummul Qura, di Arab Saudi, atau 14 Syawwal berdasarkan ru’yah hilal di Arab Saudi.

Muhammad, putra Syaikh Abdul Qadir al-Arna`uth berkata, “Syaikh kita kemarin, Kamis, masih segar bugar, kemudian ia tidur. Tatkala ibunda saya hendak membangunkannya untuk shalat fajar, ia tidak menyahut. Kemudian ia menggerak-gerakkannya namun mendapatinya telah menghembuskan nafasnya yang terakhir sementara keningnya tampak berpeluh. Tidak ada keluarganya yang merasakan firasat apapun terhadapnya. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un.”

Ba’da shalat Jum’at di Jami’ Zainal ‘Abidin, di jalan al-Maedan, beliau dishalati dengan imam Syaikhul Qurra` di Syam, Syaikh Karim Rajih –hafizhahullah.- Sebelum shalat, Jami’ tersebut telah disesaki jemaah. Demikian pula, jalan-jalan penuh sesak padahal suhu udara amat dingin. Sudah lama sekali, Damaskus belum pernah lagi menyaksikan suasana jenazah yang dihadiri ribuan pelayat seperti itu.

Kita memohon kepada Allah, semoga Syaikh kita mendapatkan Husnul Khatimah. Semoga di antara yang menjadi indikasinya, beliau wafat setelah bulan Ramadhan, dengan peluh yang tampak di kening, di hari Jum’at dan wafat dengan penuh ketegaran, kemuliaan dan kemantapan sekalipun beberapa waktu sebelum ajalnya, ia menghadapi banyak tekanan dan gangguan. Kita memohon kepada Allah agar menaungi beliau dengan rahmat-Nya, menggantikan bagi umat ini orang-orang semisalnya, serta meringankan penderitaan yang dialami keluarga, para murid dan handai tolannya. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Lagi Maha Mulia.

Read more...

Surat dari seorang ibu

Surat ini benar-benar menyentuh hati saya. ketika membaca tulisan ini saya merasa trenyuh dan larut dalam suasana haru. Terbayang wajah ibu saya, yang telah melahirkan, mendidik, dan membesarkan dengan penuh kasih sayang. Ibu adalah yang terbaik bagiku. Tak pernah ada kata tidak untuk kami anak-anaknya ketika meminta sesuatu. Semoga Allah membalas kebaikan ibu dengan pahala yang besar. Semoga Allah senantiasa membimbing dan memberi petunjuk kepada saya untuk selalu memperlakukan ibu dengan baik serta mengasihinya sebagaimana ibu mengasihi kami, anak-anaknya.
Robbigh firlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii soghiiroo
Silahkan dibaca …………..
Assalamu’alaikum,
Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amin…
Wahai anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…

Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai anakku… 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi…
Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu grmbira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkonganku.
Wahai anakku… telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya; agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu… itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.
Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku… ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!!
Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit… Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu masih seperti dulu… Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu… Mana balas budimu, nak!? Mana balasan baikmu! Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala telah berfirman, “Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman: 60) Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu?!
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?! Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?
Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantu dan budakmu. Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku wahai anakku!
Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah ta’ala mencintai orang yang berbuat baik.
Wahai anakku!! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.
Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel, dermawan, dan berbudi. Anakku… Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!
Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadits: “Orang tua adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)
Anakku. Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telah beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah.
Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau berkata: “Shalat pada waktunya”, aku berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Berbakti kepada kedua orang tua”, dan aku berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya. (Muttafaqun ‘alaih)
Wahai anakku!! Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.
Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?
Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan, “Siapa dia,wahai Rasulullah?, “Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga”. (HR. Muslim)
Anakku… Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku.
Bangunlah Nak! Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil amal… “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.
Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.Anakku… Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.
Wassalam,
Ibumu

Read more...

Kisah Masuk Islamnya Seorang Dokter Amerika Karena Satu Ayat Al-Qur´an

Beberapa tahun yang lalu, seorang teman bercerita kepadaku tentang kisah masuknya seorang dokter Amerika ke dalam Islam. Dari apa yang kuingat dari kisah yang indah ini adalah : Kisah ini terjadi pada salah satu rumah sakit di Amerika Serikat.

Di rumah sakit tersebut, seorang dokter muslim bekerja dengan keilmuan yang sangat baik, sehingga memberi pengaruh besar untuk mengenal beberapa dokter Amerika. Dan dia, dengan kemampuan tersebut mengundang decak kagum mereka. Diantara para dokter Amerika ini, dia mempunyai satu teman akrab yaitu orang yang memiliki kisah ini. Mereka berdua selalu bertemu dan keduanya bekerja pada bagian persalinan.

Pada suatu malam, di rumah sakit tersebut terjadi dua peristiwa persalinan secara bersamaan. Setelah kedua wanita itu melahirkan, dua bayi tersebut tercampur dan tidak ada yang mengetahui masing-masing pemilik kedua bayi yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan itu. Kerancuan ini terjadi disebabkan kecerobohan perawat yang seharusnya dia menulis nama ibu pada gelang yang diletakkan di tangan kedua bayi tersebut. Dan ketika kedua dokter tersebut tahu bahwa mereka berada dalam kebingungan; Siapakah ibu bayi laki-laki dan siapakah ibu bayi perempuan, maka dokter Amerika berkata kepada dokter Muslim,

"Engkau mengatakan bahwasanya Al-Qur´an telah menjelaskan segala sesuatu dan engkau mengatakan bahwasanya Al-Qur´an itu mencakup semua permasalahan-permasalahan apapun. Maka tunjukkanlah kepadaku cara mengetahui siapa ibu dari masing-masing bayi ini..!!"

Dokter Muslim itupun menjawab,

"Ya, Al-Qur´an telah menerangkan segala sesuatu dan akan aku buktikan kepadamu tentang hal itu. Biarkan kami mendiagnosa ASI kedua ibu dan kami akan menemukan jalan keluar."

Setelah nampak hasil diagnosa, dengan sangat percaya diri dokter muslim itu memberitahu temannya si dokter Amerika, siapakah ibu sebenarnya dari masing-masing bayi tersebut...!!!! Dokter Amerika itupun terheran-heran dan bertanya, "Bagaimana kamu tahu?"

Dokter Muslim menjawab

"Sesungguhnya hasil yang nampak menunjukkan bahwasanya kadar banyaknya ASI pada payudara ibu si bayi laki-laki dua kali lipat kandungannya dibanding ibu si bayi perempuan. Perbandingan kadar garam dan vitamin pada ASI si ibu bayi laki-laki itu juga dua kali lipat dibanding ibu si bayi perempuan."

Kemudian dokter muslim tersebut membacakan ayat Al-Qur´an yang dia jadikan dasar argumen dari jalan keluar itu,

"Bagi laki-laki seperti bagian dua perempuan." (QS. An-Nisa:11)

Dan setelah mendengarkan dokter Amerika itu arti ayat tersebut, dia jadi bengong, dan dia menyatakan keislamannya secara spontan tanpa ragu-ragu. Subhanallah, Maha Suci Allah Robb semesta alam. (Qiblati).

Read more...

Al Imam An-Nawawi Seorang 'Alim Penasehat

Nasab Imam an-Nawawi

Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i
Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau.

Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.

Kelahiran dan Lingkungannya

Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.

Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’.
Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menase-hati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini.

Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur.
Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.

Pengalaman Intelektualnya

Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.

Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:

Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja
Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal.
Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah.

Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi.
Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.

Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; ke dua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ke tiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’, ke empat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’, ke lima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.

Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an.

Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘.

Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam.

Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah ‘Syarh Shahih Muslim’, ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab’, ‘Riyadl ash-Shalihin’, ‘ al-Adzkar’, ‘Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat’ ‘al-Arba’in an-Nawawiyyah’, ‘Rawdlah ath-Thalibin’ dan ‘al-Minhaj fi al-Fiqh’.

Budi Pekerti dan Sifatnya

Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an-Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasehati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’.

* Zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.

Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.

* Wara’
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana.

Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah.
Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.

Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya.

Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu.

* Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam.

Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh-Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun-kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun-kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan.

Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al-Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja.
Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesung-guhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka !!”.

Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.


Wafatnya

Pada tahun 676 H, Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus.
Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’.
Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al-Qadly, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya.
Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP