Friday, January 13, 2017

DSLR Versus Mirrorless

Jika ditilik dari sisi rancangan, kamera DSLR sebenarnya memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertama adalah karena kamera DSLR pada aslinya dirancang untuk dipakai dengan film. Saat teknologi digital merambah ke dunia fotografi, digital mendapat perlakuan yang sama seperti segulung film, bahkan secara mekanis ditempatkan di body yang sama.

Konstruksi dasar DSLR tidak berubah dari film ke digital. Kecuali ruang film yang diganti sensor, beberapa perubahan sirkuit elektronis serta penambahan slot memory, sebuah DSLR relatif sama dengan SLR yang ada sejak beberapa dekade silam. Mekanisme cermin yang sama, pentaprisma yang sama, operasi autofokus dengan sistem phase detection yang sama.

Meskipun kemajuan teknologi akhirnya ditambahkan (Edit di kamera, HDR di kamera, GPS dan Wi-fi dll), namun kamera DSLR secara bentuk tidak berubah sejak puluhan tahun lalu.

Kenapa Kamera DSLR Bentuknya Tetap Besar dan Berat Seperti Kamera Film? 
Ada beberapa alasan kenapa bentuk sebuah kamera DSLR tetap besar dan berat:


  • Pertama, karena cermin didalam kamera DSLR ukurannya harus sama dengan ukuran sensornya, jadi makin besar sensor yang dipakai makin besar pula cermin yang dibutuhkan.
  • Kedua, karena pentaprisma yang dipakai untuk mengubah sinar vertikal ke sinar horisontal pada viewfinder ukurannya juga sama dengan ukuran sensor, membuat bagian atas sebuah DSLR tampak besar.
  • Ketiga, karena pembuat kamera ingin agar lensa lama tetap bisa dipakai di kamera DSLR baru untuk membantu transisi. Ini menyebabkan kamera DSLR modern masih harus mempertahankan jarak antara mount kamera ke sensor/film supaya panjang focal lensa tetap sama bagi kedua format, film maupun lensa.



Beberapa Keterbatasan Kamera DSLR

Karena ketergantungan kamera DSLR pada cermin agar mekanisme “through the lens” tetap bisa berjalan, mereka memiliki beberapa keterbatasan, antara lain:

1. Ukuran Fisik Yang Besar
Sistem yang dianut DSLR menuntut adanya cermin dan prisma, sehingga sebuah kamera DSLR selalu memiliki bentuk yang lebar dan kening yang menyembul. Posisi viewfinder juga harus ditempatkan segaris dengan sumbu optik dan sensor digital. Itulah kenapa semua kamera DSLR bentuk dasarnya selalu sama.

2. Bobot Yang Berat
Karena ukurannya besar, kamera DSLR lebih berat. Meski DSLR kelas pemula memiliki bagian yang terbuat dari plastik yang ringan, namun konstruksi susunan cermin + pentaprisma yang tidak bisa dikompromi membuatnya tetap besar. Belum lagi, rata-rata lensa DSLR cukup berat dan besar (apalagi lensa yang dirancang untuk kamera full frame), sehingga agar tercapai perimbangan yang baik saat dipakai, kamera DSLR juga mantap bobotnya.

3. Mekanisme Yang Rumit
Setiap kali kita memencet shutter, cermin harus bergerak naik atau turun agar cahaya bisa lewar menuju sensor. Pergerakan cermin ini menimbulkan beberapa masalah:

Gerakan Cermin. Suara terkeras yang terdengar saat kita memencet shutter berasal dari gerakan membuka atau menutupnya cermin , hal ini juga menimbulkan shake* pada kamera. Fitur seperti Mirror Lock Up muncul untuk mengurangi shake
Kolom Udara Yang Bergerak. Saat cermin mengayun keatas atau kebawah, kolom udara didalam kamera juga ikut bergerak. Bersamaan dengan itu, debu dan kotoran juga ikut bergerak dan menambah resiko sensor terkena kotoran
Komponen Bergerak Lebih Rentan. Semua orang tahu kalau ban dan rantai yang selalu bergerak di motor adalah dua unsur yang cukup rentan. Hal ini juga berlaku untuk cermin di dalam DSLR, untuk menghindari kerusakan, pembuat kamera harus memastikan bahan terbaik untuk membuatnya.

4. Tidak Ada Live Preview
Saat melihat melalui viewfinder optik, kita tidak bisa melihat bagaimana foto nantinya akan terlihat. Untuk kamera DSLR, kita harus mengandalkan metering dan menyesuaikan exposure berdasar metering tersebut.

5. Cermin Sekunder dan Phase Detect
Kamera DSLR yang memiliki autofokus dengan sistem deteksi fase membutuhkan cermin sekunder. Cermin kedua ini memiliki bentuk lebih kecil dibanding cermin utama dan fungsinya meneruskan cahaya ke sensor deteksi fase. Posisi cermin sekunder ini harus sangat presisi karena kalau meleset, semua sistem autofokus akan kacau

6. Harga
Harga sebuah kamera DSLR mahal terutama karena membutuhkan teknik perakitan yang presisi terutama untuk beberapa bagian yang bergerak, shutter dan cermin. Pelumasan yang baik disetiap detail logam yang saling bersentuhan. Itu semua mengakibatkan biaya produksi yang tidak murah.


Keuntungan-keuntungan Kamera Mirrorless?

Dengan menghilangkan bagian cermin (dan pentaprisma) dari sebuah kamera (sehingga dinamai mirror-less) dan terbukti penjualannya makin bagus, produsen kamera mulai menyadari bahwa sistem mirrorless adalah jawaban untuk kamera masa depan.

Masa depan adalah kata kunci disini. Kenapa? karena mirrorless secara teori memiliki potensi yang sangat bagus dan bisa mengatasi banyak permasalahan di sistem DSLR. Namun masih akan dibutuhkan banyak iterasi dan koreksi dari sistem kamera mirrorless yang ada untuk sampai kesana.

Diatas kertas, apa saja keuntungan kamera mirrorless dibandingkan kamera DSLR:

1. Ukuran Lebih Ringkas Dan Bobot Lebih Ringan
Karena susunan cermin dan pentaprisma di DSLR yang menyita banyak ruang, sebuah kamera mirrorless tanpa keduanya bisa memiliki bentuk yang lebih ringkas dan material body yang lebih sedikit, sehingga bobot kosongnya lebih ringan. Populernya fotografi dengan smartphone mengajari produsen kamera, bahwa orang akan lebih banyak memotret kalau kameranya tidak ribet dan bisa dibawa kemana-mana. Kamera pocket rontok dipasar, karena banyak orang menganggap kamera ponsel yang tidak terpaut jauh kualitasnya. Barang yang ringkas dan ringan menjadi primadona, silahkan lihat penjualan laptop vs dektop.

2. Tanpa Mekanisme Yang Bergerak: Cermin
Tanpa ada cermin yang selalu mengayun membuka dan menutup, sebuah kamera mirrorless memiliki banyak keuntungan: lebih senyap, mengurangi shake, tiak ada kolom udara yang bergerak sehingga debu tidak terbang kemana-kemana, berpotensi memiliki fps jauh lebih tinggi karena tidak melibatkan komponen bergerak serta harga bisa ditekan karena perakitan lebih mudah

3. Live Preview
Dengan kamera mirrorless kita bisa memperoleh live preview dengan gambar yang sama persis dengan hasil akhir foto, apa yang kita lihat di preview adalah apa yang akan kita dapatkan. Anda mengubah white balance, ISO atau yang lain, semua akan serta merta terlihat di preview

4. Harga
Material lebih sedikit dengan mekanisme yang tidak sekompleks DSLR membuat kamera mirrorless harusnya lebih murah. Tentu harga ditentukan juga oleh tingkat supply dan demand disertai dengan biaya riset teknologi mirrorless itu sendiri yang masih baru, namun intinya mereka akan menjadi lebih murah lagi dibandingkan DSLR (saya tidak bicara soal Leica lho, apalagi Leica yang ini).

5. Viewfinder elektronis (EVF)
Inilah keuntungan terbesar dari mirrorless. Memang EVF masih agak kurang responsif sampai detik ini, namun seiring dengan waktu mereka akan sempurna dan lebih bagus dibanding viewfinder optik (OVF). Beberapa keuntungan EVF: bisa ditumpuk informasi lain sambil menyusun foto, live preview yang akurat karena langsung diambil dari sensor, focus peaking untuk manual fokus yang super akurat.


Beberapa Keterbatasan Kamera Mirrorless

Namun dibandingkan kamera DSLR, kamera mirrorless juga memiliki beberapa kelamahan. Antara lain:

1. EVF Masih Tidak Responsif
Harus sabar menunggu agar teknologi EVF berevolusi dan makin canggih sehingga tidak lagi lelet

2. Mode Continuous Masih Jauh Tertinggal
Karena mirrorless masih mengandalkan autofokus contrast detect, mereka masih sangat lelet dan lemah saat memotret benda bergerak. Kamera mirrorless karena dari sononya ringkas dan ringan, tidak terlalu berjodoh dengan lensa tele yang banyak memakai mode continuous, sehingga riset kearah sana lumayan lambat

3. Baterai Tidak Tahan Lama
Dengan selalu mengandalkan LCD dan EVF saat memotret, baterai sebuah kamera mirrorless cepat habis. Rata-rata baterai mirrorless habis setelah memotret 400-an frame, bandingkan dengan DSLR yang bisa tahan ribuan. Isu ini juga lambat laun bisa diselesaikan dengan kemajuan teknologi baterai.

4. EVF Belum Realistik
Tampilan yang ada di viewfinder elektronis belum bisa natural, masih tampak terlalu tinggi kontrasnya.

Seperti yang anda lihat, daftar kekurangan mirrorless cukup pendek dan akan teratasi seiring dengan riset dan kemajuan teknologi yang dipakai. Dimasa yang tidak terlalu lama (6 tahun keatas?), kamera mirrorless akan makin canggih dan sangat menggoda dimiliki. Memang tidak semua orang akan tertarik dengan bentuk kecil dan ringkas, dan mereka yang gemar lensa super tele jumlahnya cukup banyak. Namun pengguna mirrorless akan makin signifikan, karena bentuk, bobot dan fitur yang ditawarkan memang menawan.
»»  Silakan baca kelanjutannya

Tuesday, April 12, 2016

Is This Passion Or Just A Fever?

Sudah berapa lama kalian hobby fotografi? 1 tahun? 5 tahun? Ataukah sudah belasan tahun mungkin...?
Berapa banyak duit yang sudah kalian invest-kan untuk memuaskan gairah kalian dalam dunia fotografi?
Sampai sejauh mana ilmu dan pengetahuan yang kalian dapatkan mengenai fotografi?

Ada baiknya sekali-sekali, kita melakukan review atas semua kegiatan yang kita lakukan selama ini sehubungan dengan hobby kita di dunia fotografi.

Harus diakui bahwa kegiatan fotografi dalam 10 tahun belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam teknologi, jumlah penghobby maupun bisnis-bisnis fotografi itu sendiri. Bayangkan, sejak 2009 ketika saya sendiri baru mulai aktif dalam kegiatan foto-foto hingga sekarang sudah berapa merek dan teknologi kamera yang direlease di pasaran, semakin canggih dan semakin banyak pilihan. Bagi yang sudah menggeluti dunia fotografi jauh sebelum saya, atau bahkan sejak jamannya media roll film, tentu juga merasakan hal yang sama.

Dulu kalau hunting, kita seringkali kesepian. Nyari-nyari obyek yang bisa diabadikan seorang diri. Berburu view yang bagus juga seorang diri. Tallent yang bisa dijadikan model foto kitapun masih langka. Tapi sekarang, temen yang sehobby sudah sangat banyak, komunitas-komunitas fotofrafi pada bermunculan bagai jamur. Tallent dan model baru setiap saat "ditemukan" dan mengorbit dengan sendirinya. Bahkan sekarang "hunting" bareng mungkin sudah gak jamannya lagi. Kita sudah gak perlu hunt (berburu), EO-EO fotografi sudah banyak berdiri bersama lahirnya bisnis baru yang bernama event fotografi. Kita tinggal datang, bayar dan memotret model-model yang tentu saja cantik, dirias dan berpose untuk kita jepret. Uenak rek...

Bagi yang serius menggeluti dunia fotografi atau bahkan bertekad terjun dalam bisnis fotografi baik itu sebagai Event Organizer, Model Organizer, tutor fotografi/editing maupun penyedia jasa foto mungkin kegiatan fotografi sudah bisa dibilang sebagai passion. Meskipun tidak sedikit penghobby fotografi yang sama sekali tidak menghasilkan duit dari hobby fotografinya yang menganggap aktifitas foto-foto ini sebagai passion.

Oya... Passion adalah di mana kita melakukan suatu kegiatan dengan penuh gairah dan suka cita. Gak dibayarpun kita mau dan seneng mengerjakannya, syukur-syukur kalo menghasilkan. Hehehehe... Dengan adanya passion ini kita punya energi untuk mau berkorban uang dan punya keinginan untuk belajar agar kemampuan kita meningkat. Passion ini sulit hilang, kalaupun harus berhenti untuk sesaat, ada kalanya akan bangkit lagi karena ada gairah dalam diri kita yang sulit padam.

Passion tentu lain dengan Fever alias demam sesaat. Di awal-awal tahun 80-an, muncul demam breakdance, yang seumuran saya pasti inget masa-masa itu. Sayapun sempat ketularan "demam". Hampir tiap hari kumpul sama teman-teman untuk latihan breakdance, tiap malam minggu ngumpul di komunitas yang lebih gede lagi untuk berkompetisi breakdance. Tiada hari tanpa breakdance... Namun seiring demamnya reda, kegilaan-kegilaan dunia breakdance tiba-tiba sirna. Bahasa Jawanya "wes gak usum maneh..."

Nah, apakah fenomena para penghobby fotografi yang maju pesat dan menjamur ini benar-benar memiliki passion yang muncul dengan sendirinya dan membara dalam diri mereka masing-masing ataukah hanya sekedar fever yang menular dan sesaat melanda... tentu saja waktu yang menentukan.

Saya masih ingat, dulu di awal-awal ketika mulai aktif di kegiatan fotografi, banyak sekali teman-teman baru yang sama-sama hobby fotografi, baik yang sering ketemu langsung maupun sekedar kenal di facebook. Saling pamer foto, bertukar ilmu sampai janjian ketemu untuk sharing pengalaman maupun hunting bareng. Bahkan ada beberapa teman yang kelihatan banget totalitasnya dalam menekuni bidang fotografi, baik dalam hal spend banyak dana dalam berinves peralatan fotografi, ikut workshop sana-sini bahkan di worshop-workshop yang tarifnya jutaan rupiah, sampai dengan yang rela menyempatkan diri dan dana untuk pergi ke tempat-tempat indah hanya untuk berburu view yang bisa diabadikan melalui kameranya.

Namun tidak sedikit pula yang saat ini sudah tidak lagi eksis. Tidak dengar kabarnya lagi maupun tidak lihat karya-karyanya lagi yang dipamerkan di facebook. Entah dengan alasan pensiun, gantung kamera ataupun beralih ke demam lain yang tidak ada hubungannya dengan fotografi.

Tentu saja semua berpulang ke hak dan pribadinya masing-masing, karena saya sendiripun tidak tahu sampai kapan gairah ini akan padam dengan sendirinya, sama seperti yang lain terutama buat teman-teman yang tidak tertarik untuk terjun di bisnis fotografi sebagai sumber penghidupan, macam saya ini.

Bagi yang sudah "gantung kamera", farewall my friend...
Bagi yang "gairahnya masih membara", ayo panaskan kameramu, kita hunting lagi...





»»  Silakan baca kelanjutannya

Friday, February 19, 2016

Kamera Merek Apakah Yang Terbaik?

Kadang saya mendapat pertanyaan semacam itu ?
Salah seorang teman pernah membantu memberikan jawaban bahwa kamera terbaik adalah kamera yang kita miliki saat ini...
Ada benarnya sih. Jawaban yang cerdas, sekaligus memotivasi. Bayangkan, gimana kita mau berkarya jika kita masih dibatasi oleh ketidak-yakinan terhadap peralatan yang kita miliki.

Bagi saya, memilih merek kamera seperti memilih agama. Kita tidak membutuhkan alasan maupun penjelasan yang kelewat teknis untuk mendefinisikan keyakinan kita. Saya sendiri pengguna Canon, apakah Canon merek kamera terbaik? setidaknya iya menurut saya, meskipun kenyataannya belum tentu seperti itu, terutama bagi pengguna Nikon, FujiFilm, Sony ataupun Olympus.

Mmilih kamera harus disesuaikan dengan kebutuhan kita. Nah, bicara soal kebutuhan kadang sulit menentukan batasannya. Sebagai contoh, saya belum berani ngebut, tapi kalau milih kendaraan paling ngga ya yang bisa lari kencang, siapa tau kelak saya sudah mulai berani (Nah loo...). Itu hal yang wajar... (menurut saya). Meski masih pemula, tapi kalau bisa ya pilih kamera yang canggih sekalian, biar kelak gak perlu gonta ganti lagi.

Pertimbangan berikutnya adalah masalah budget. Nah inilah yang membatasi semua hal yang sebelumnya sulit untuk ditentukan batasannya. Hehehe... Keinginan boleh setinggi langit, tapi pada akhirnya harus diseuaikan dengan dana yang tersedia. Paling ngga... yang tidak jauh-jauh amat lah, sehingga masih bisa terkejar dengan menabung sedikit lagi. Kecuali bagi yang memiliki dana tak terbatas, boleh deh suka suka aja.

Abis menentukan kebutuhan yang disesuaikan dengan budget yang tersedia, pertimbangan selanjutnya adalah siapa teman-teman kita sesama penghobi fotografi. Merek gear teman-temanmu bisa jadi referensi untuk menentukan pilihan. Paling gak, kita bisa pinjem-pinjeman peralatan pendukung seperti lensa, flash, trigger maupun aksesoris-aksesoris lainnya. Contohnya ngicipin lensa yang tidak kamu miliki dari temen yang kebetulan punya, sebelum kemudian memutuskan buat beli sendiri kan'. Selain itu, akan memudahkan kalian untuk saling berbagi pengetahuan teknis jika kalian memiliki merek kamera yang sama.

Setelah kita putuskan untuk memiliki satu tipe dan merek kamera, mulailah untuk mencintainya. Pelajari teknik memotret yang paling nyaman. Dan yang terpenting, dapatkan chemistry yang kuat antara kalian berdua. Kamu harus menjadi orang yang paling tahu seluk beluk mengenai kameramu itu, bagaimana settingan yang tepat untuk situasi tertentu dan teknik eksekusinya.

Tidak boleh lagi ada perasaan iri dan minder ketika ketemu dengan fotografer lain yang menenteng gear yang lebih keren dari punyamu. Karena memotret bukan semata-mata soal seberapa canggih kameranya, melainkan siapa fotografernya. Iya kan'
»»  Silakan baca kelanjutannya

Tuesday, June 9, 2015

10 Tahun Tidak Ganti Nomer Ponsel ?

Kesimpulan survey di Cina, Inggris, Amerika dan Korea; Bila ada orang yang lebih dari 10 tahun tidak ganti nomer ponsel, maka bisa dipastikan bahwa orang tersebut adalah orang yang layak dipercaya.

Mengapa layak dipercaya? Silakan lihat di beberapa pont di bawah ini:

  • Tidak berhutang budi pada siapapun, sehingga tidak takut ditelpon orang.
  • Tidak berhutang uang, sehingga tidak takut dikejar2 penagih hutang.
  • Tidak takut direpotin orang, sehingga bisa dibilang tidak sulit membantu orang lain.
  • Suka bernostalgia, berharap teman2 lama masih mencarinya walaupun telah lewat bertahun2 lamanya.


Dari beberapa poin, dapat dilihat 10 tahun lebih tidak mengganti nomer ponsel, hanya menggunakan 1 nomer saja, dan 24 jam ponsel selalu menyala, maka orang ini adalah orang yang dapat dipercaya.

Apakah anda termasuk dalam jenis orang seperti ini?
»»  Silakan baca kelanjutannya

Sunday, March 29, 2015

Menguak Citra Negatif Pehobi Fotografi

Setiap orang, kelompok, profesi atau grup apapun yang telah eksis selama satu periode waktu tertentu selalu secara otomatis menciptakan identitas-identitas dan atribut-atribut yang menempel pada kelompok atau perorangan tersebut. Ketika kita menyebut tentara, maka kata-kata seperti “tegas”, atau “disiplin” muncul. Ketika kita menyebut penegak hukum,kata-kata seperti “kaku”, “pungli” mungkin muncul. Begitu juga ketika kita menyebut profesi “seniman”, maka identitas “nyeleneh”, “anti kemapanan” dan bahkan “aneh” kerap menempel pada profesi ini.

Atribut-atribut yang mencerminkan identitas tiap orang, tiap profesi atau tiap kelompok tercipta secara alami atas tindak-tanduk orang atau kelompok tersebut, bukan hasil dari penilaian orang yang tanpa dasar atau berdasar tendensi tertentu. Proses ini yang dalam bahasa komunikasi dan marketing disebut sebagai pencitraan.

Proses persiapan pemilu legislatif dan pemilihan presiden bisa menjadi suatu pelajaran yang berharga mengenai bagaimana partai politik serta capres dan cawapres berusaha membentuk citra mereka. Setiap partai, capres dan cawapres boleh saja berusaha membentuk citra dengan pesan-pesan propaganda dalam iklan-iklan politik mereka. Namun harus diingat bahwa proses pencitraan bukanlah sebuah proses yang berlangsung dan selesai dalam waktu satu malam. Proses pencitraan adalah proses yang butuh waktu yang panjang. Di waktu yang tidak pendek itu audience berusaha menangkap tindak-tanduk yang secara konsisten dilakukan oleh partai-partai politik serta capres dan cawapres.

Bagaiamana dengan fotografi? Citra apa yang muncul dan identik dengan fotografer-fotografer Indonesia? Kami tertarik meluangkan waktu untuk mencari tahu mengenai pencitraan negatif yang terbentuk terhadap title “fotografer” terutama mereka yang belum lebih dari 10 tahun menekuni fotografi di Indonesia dengan melakukan survey kecil-kecilan terhadap orang-orang yang hidup di sekitar pelaku fotografi Indonesia. Tujuannya tidak lain adalah sebagai bahan evaluasi bersama mengenai tindak-tanduk kita semua sebagai para pelaku fotografi Indonesia.

Dan apapun hasilnya, semoga kita semua bisa menerima dengan besar hati dan lapang dada sebagai suatu fakta yang terungkap atas perilaku kita selama ini dan juga yang paling penting adalah niatan untuk berusaha menciptakan penciptaan yang lebih baik lagi.

Kami bertanya ke empat group yang berbeda.
Group pertama adalah orang awam yang hidup disekeliling fotografer.
Group kedua adalah orang yang pernah memakai jasa fotorgafer alias klien.
Group ketiga adalah para model yang pernah difoto oleh fotorgafer dari berbagai kelas.
Group keempat adalah orang yang dalam pekerjaannya bekerjasama dengan fotografer, seperti make up artis, food stylist, fashion stylist, dll.
Group kelima adalah mereka yang usahanya menjual peralatan fotografi.
Tujuan dari riset kecil-kecilan ini adalah untuk mencari informasi mengenai kesan atau citra atau identitas apa yang menancap pada diri fotorgafer dari tiap-tiap group tersebut.

Jawaban teratas yang muncul dari kategori pertama (orang awam) adalah Narsis.
Narsis yang artinya kelewat mengagumi diri sendiri di atas orang lain masih menjadi citra utama fotografer.

“Saya punya banyak teman fotografer, masalahnya kalau sudah ngomong soal foto, pasti selalu diri mereka sendiri yang jadi kiblatnya.” Ungkap Dita, seorang mahasiswi yang berpacaran dengan seorang fotografer.

Sebagian besar responden mengatakan bahwa ketika berbicara mengenai foto, walaupun memulai dengan foto karya orang lain dan bahkan karya fotografer terkenal sekalipun seringkali pada akhir pembicaraan pembahasannya menjadi usaha pengakuan kualitas foto sang fotografer yang berada di situ oleh fotografer itu sendiri.

“Banyak fotografer yang mendadak jadi tidak tertarik berbicara mengenai foto orang lain, walaupun pada awalnya sangat antusias ketika berbicara mengenai foto hasil karyanya sendiri.” Ungkap Endi, responden lain.

Di urutan kedua tentang citra seorang fotografer menurut orang awam, muncul jawaban “sombong”.

“banyak teman saya yang berubah menjadi belagu dan merasa paling tahu dan paling hebat dalam segala hal ketika mulai mendalami
fotografi.” Ungkap Endi.

Beberapa responden menduga bahwa profesi fotografer yang kerap berhubungan dengan mahluk-mahluk menarik (baca: model) membuat mereka merasa menjadi orang-orang yang memiliki posisi yang istimewa karena bisa berhubungan dengan model. Profesi fotografer yang diyakini sebagai “jalan instan” untuk menjadi seniman juga ikut berperan meningkatkan gengsi, harga diri dan kesombongan fotografer.

“Dulu nggak sembarangan orang bisa menjadi fotografer, biarpun dari dulu siapapun termasuk tukang becak sekalipun bisa membeli dan menggunakan kamera.” Ungkap TH, seorang fotografer professional. “Permasalahannya dulu fotografi masih mendapat banyak rintangan dalam hal teknis, terutama karena tidak bisa langsung jadi dan direview, sehingga asal jepret belum tentu jadi bagus. Kalau sekarang tidak lebih dari dua detik setelah menjepret, hasilnya sudah bisa dilihat dan direview kurangnya di mana, jadi kesempatan untuk membuat foto bagus jadi lebih cepat.” Sambungnya. TH melihat tingkat kesulitan yang cukup tinggi untuk menjadi fotorgafer di masa lalu akibat hambatan teknologi yang kini sudah bisa diatasi oleh masalah digital seolah-olah menciptakan euphoria bagi mereka yang ingin mencicipi title “fotografer” yang begitu bergengsi di masa lalu. “akhirnya, karena sudah merasa berhasil jadi fotografer, jadi merasa layak untuk sombong.” Ungkap TH.

Sementara pada kelompok klien, muncul citra “over confidence” atau dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai percaya diri yang berlebih pada jawaban pertama. Banyak responden yang mengeluhkan teman/kerabatnya yang memiliki hobby fotografi yang mendadak merasa bisa melakukan pemotretan apapun.

“Banyak teman saya yang setelah beberapa bulan memiliki kamera SLR mendadak menambahkan kata-kata photography di belakang nama mereka.” Ungkap AT, seorang responden. “waktu saya mau nikah dulu, ada setidaknya 5 orang yang menawarkan jasa foto pre wedding hingga liputan. Karena tidak mau mengecewakan teman, saya terima saja tawaran itu dengan bayaran yang juga telah disetujui. Sayangnya sejak pemotretan pre wedding saja sudah berantakan semua. Hasilnya pas-pasan. Fotonya nggak jauh beda dengan foto orang awam.” Ungkap Wina, seorang ibu rumah tangga.

Lain lagi dengan Beny, lelaki yang berprofesi sebagai brand manager di sebuah perusahaan farmasi ini mengaku sangat kecewa dengan pencitraan yang muncul pada diri fotografer.

“Pernah suatu saat saya harus mencari fotografer untuk produk baru yang akan saya luncurkan. Karena ini produk yang pertama kali saya tangani dari awal, atasan saya memberi kebebasan kepada saya untuk mencari dan memilih fotografer untuk melakukan pemotretan itu. Karena merasa memiliki banyak kenalan yang berprofesi sebagai fotorgafer, saya coba saja lempar informasi tersebut di milis dan facebook. Dan benar saja belasan fotografer mengajukan diri. Setelah melalui seleksi portfolio dan harga, didapatlah satu orang fotografer. Sayangnya ketika sesi pemotretan bos saya ikut mensupervisi sementara fotografer yang ditunjuk ini ternyata tidak bisa mengeksekusi pemotretan ini dengan baik, walaupun portfolionya cukup meyakinkan.” Ungkapnya.

Jawaban kedua terbanyak pada kelompok klien ini adalah perkataan “nanti di photoshop aja”. Jawaban ini masih menjadi identitas fotografer menurut para klien.

“sedikit-sedikit ngomong nanti di photoshop aja. Padahal waktu pitching nggak pernah ada omongan gitu.” Ungkap Rini, seorang marketing manajer sebuah produk makanan.

Memang kemudahan yang ditawarkan oleh teknoogi digital pada software editing foto membuat fotografer menjadi manja dan sangat bergantung pada software editing foto, disamping banyak juga yang memang terpaksa menggantungkan diri pada software editing foto karena keterbatasan kemampuan berfotografi.

Pada kelompok ketiga, yaitu kelompok model dan talent, jawaban terbanyak yang muncul adalah fotografer yang nggak berani satu lawan satu.

“Saya banyak ditawari job pemotretan, tapi hampir 70% dilakukan ramai-ramai.” Ungkap bunga, seorang model berusia 22 tahun. “Lucunya, ketika besok-besoknya ada pemotretan satu lawan satu, di mana fotografernya hanya seorang diri, si fotografer malah terlihat gugup dan canggung. Jangan-jangan memang beraninya keroyokan.” Sambungnya.

Bunga mengaku lebih menyukai sesi pemotretan satu lawan satu karena hasil yang didapatkan sudah pasti lebih baik karena komando datang dari satu orang fotografer sehingga ia bisa mencurahkan kemampuan atas komando yang jelas dari satu orang fotografer saja.

“kalau dikasih job pemotretan rame-rame biasanya saya terima karena uangnya saja. Kalau hasilnya jadi bosenin, selain nggak maksimal fotonya jadi mirip-mirip satu dengan yang lainnya.” Sambungnya. Yang lebih disesali lagi adalah ketika beramai-ramai permintaan dari fotografer yang terlibat terkadang macam-macam. “kalau motretnya rame-rame pasti mintanya mengarah ke yang aneh-aneh, suruh buka kancing lah, suruh angkat rok lah. Lucunya ketika satu lawan satu fotorgafernya malah nggak berani minta yang aneh-aneh.” Ungkapnya.

Hal selanjutnya yang juga dominan di kelompok model adalah ketidaktahuan sang fotografer akan apa yang ia inginkan.

“banyak fotografer yang nggak tahu maunya apa. Di suruh ini, di suruh itu, akhirnya disuruh terserah aja. Jadi fotonya jadi nggak jelas konsep dan arahannya.” Ungkap Nita, model yang berada dalam satu managemen dengan Bunga.

Di kelompok profesi pendukung fotografer, keluhan yang keluar adalah ketidak mengertian sang fotografer mengenai bidang pendukung fotografi tersebut sehingga menyulitkan komunikasi di antara mereka.

“Seringkali saya memulai make up tanpa arahan dari fotografernya karena fotorgafernya nggak ngerti mau diapain modelnya. Akhirnya biasanya mereka cuma bilang,yang bagus deh, supaya kelihatan lebih muda, lebih cakep, lebih tirus, dll” ungkap JL seorang make up artist.

Lebih parah lagi, seringkali JL menemui fotografer yang justru salah memberi lighting kepada model tertentu yang pada akhirnya make upnya jadi hampir tidak ada gunanya atau malah bahkan ditabrak.

“seharusnya kalau mau motret, setidaknya fotografer komunikasi dengan make up artist hasil yang mau mereka dapatkan kayak apa sih, kalau perlu tunjukin referensinya, nanti kita yang Bantu.” Ungkap JL.


Di kategori terakhir (pedagang peralatan fotografi), muncul jawaban gadget mania pada para pehobi fotografi.

“Yang masih tanggung-tanggung senengnya diracunin soal lensa baru, kamera baru, asesoris baru. Dalam hitungan hari pasti dibeli.” Ungkap AH, seorang pedagang peralatan fotografi.

“Dari datangnya saja sudah kelihatan, kalau datangnya bawa tas kamera yang lumayan gede, dan biasanya bawa kamera atau bahkan lensa-lensanya biasanya itu para gadget mania. Sebagian besar fotonya biasa aja, tapi alatnya memang lengkap banget.” Sambungnya.

Akhirnya fotografer-fotografer semacam ini yang menjadi korban dari siasat bisnis pedagang peralatan fotografi.

Bagi kita semua, mungkin hasil temuan di atas bukan sesuatu yang mengejutkan lagi karena kita temui di sekeliling kita atau bahkan kita lakukan setiap harinya. Tanpa berusaha menghakimi, sebenarnya temuan-temuan yang sudah tidak istimewa ini diangkat dan disajikan sebagai upaya untuk sekali lagi mengingatkan pelaku fotografi di Indonesia untuk lebih mengedepankan kualitas foto di atas hal-hal lain yang tidak berhubungan langsung dengan kualitas fotografi itu sendiri.

Sumber: The Light Edisi 23
»»  Silakan baca kelanjutannya

Monday, February 10, 2014

Upgrade Skill

Seorang teman yang kebetulan seorang pengusaha, suatu hari bertemu dengan saya. Kebetulan beliau adalah pemilik authorized dealer salah satu merek kendaraan roda empat.

Beliau bercerita bahwa saat ini lagi berencana merenovasi tempat usahanya yang kebetulan berada di kawasan Undaan, Surabaya. Beliau bilang, dealer mobil miliknya itu sudah waktunya dirombak penampilannya. Model bangunan dan etalase depannya sudah terlalu kuno dan tidak terawat.

Tentu saja, saya ikut menimpali. Bila dibandingkan dengan showroom-showroom mobil lain yang belakangan bermunculan di kota ini. Jelas showroom milik teman saya ini tampak ketinggalan jaman. Belum lagi personel yang melayani calon pembeli di bagian depan, sudah lanjut usia, kuno dan kelihatan ogah2an.

Mendengar komentar saya, beliau kelihatan kurang terima. Mereka ini sudah ikut saya lama, sudah berjasa dan sudah bekerja belasan tahun, begitulah dia mencoba membela keberadaan anak buahnya.

Tetapi sayang, saya tetap berusaha memberinya pengertian. Coba seandainya kita letakkan posisi sebagai calon pembeli yang hendak membelanjakan uang untuk sebuah mobil. Sudah barang tentu saya akan memilih showroom yang nyaman, mewah, harga bagus, disediain kopi panas gratis barangkali dan disambut oleh sales executive yang berpenampilan menarik, supel dan mahir mengkomunikasikan harapan calon pembeli.

Teman saya baru tersadar, dan mengakui penampilan kurang menjual para karyawan lamanya yang berjajar di counter depan. "Mereka memang tidak lagi begitu memperhatikan penampilan, tidak lagi mengikuti perkembangan teknologi". Dan sudah pasti, mereka juga kurang mengupgrade kemampuan berkomunikasi dengan pelanggan.

Melihat kenyataan di atas rasanya kita baru sadar, banyak juga di antara kita yang juga terjebak dalam situasi tersebut; Usia yang sudah gak muda lagi, masa kerja yang cukup lama, tidak ada peningkatan karir, gaji yang mungkin saja pas2an, kerja hanya mengikuti rutinitas saja, malas untuk kembali belajar, malas mengikuti perkembangan jaman, malas mengikuti teknologi dan terakhir malas merawat penampilan.

Pada akhirnya, orang2 macam ini pasti akan tersingkir dengan mudah oleh yang muda2. Kunci utama untuk mempertahankan eksistensi kita adalah dengan meng-upgrade skill kita

Mungkin saja kita masih bisa terlena pengalaman hidup kita di masa2 lalu yang tentu lebih kenyang dibanding dengan para generasi muda, terlalu bangga dengan prestasi kita di masa-masa lalu ataupun posisi karir kita yang mungkin sudah cukup lumayan saat ini. Tetapi, tanpa meng-update pengetahuan, kemampuan dan motivasi dengan sesuatu yang selalu baru, maka bersiaplah untuk disingkirkan.
»»  Silakan baca kelanjutannya

Friday, February 7, 2014

Seberapa Besar Kapasitas-mu ?

Berapa penghasilan bulanan yang kamu peroleh? Cukupkah buat penuhi kebutuhanmu dan keluarga? Dan, apakah kamu puas dengan jumlah yang kamu terima itu?

Jujur aja, jelas kita semua gak ada yang puas dengan apa yang telah kita peroleh. Mungkin alasannya, gak sesuai dengan apa yang udah kita kerjakan. Tapi, coba kamu kalkulasi dengan daftar kebutuhan yang harus kamu penuhi..., meskipun kita bilang gak cukup, tapi toh musti dicukup-cukupkan juga. Dan memang cukup, walau dengan perjuangan.

Sekarang, coba kamu bayangkan...
Gimana seandainya, tiba-tiba aja penghasilanmu naik 10 kali lipat dari jumlah sebelumnya. Entah itu disebabkan kenaikkan jabatan, kebanjiran job atau bahkan menang undian...

Apa yang terjadi...?
Mungkin kamu belum menyadari, bahwa duit tersebut bakalan abis juga akhirnya. Abis... dan bahkan kamu sendiri bingung kenapa bisa abis secepat itu.

Mengapa bisa begitu...?
Karena, ibarat diri kita ini sebuah gelas, kita telah dituangin air melebihi kapasitas, hingga meluber dan terbuang sia-sia. Hehehe.. Jangan keburu tersinggung yah.

Saya hanya pengin sharing tentang apa yang saya pikirkan mengenai rahasia ukuran berkat yang dilimpahkan Tuhan kepada masing-masing umatnya. Kadang kita melihat...

Ada sebagian orang yang memang beruntung dilahirkan dari keluarga kaya, dan seumur nidup akan terus kaya (pasti disekeliling kita banyak yang bisa dijadikan contoh).

Ada orang yang dilahirkan susah, tetapi lewat perjuangan keras maka dia mencapai kesuksesan dan menjadi kaya (yang ini bisa ditemui di biografi orang-orang sukses).

Ada juga orang yang dilahirkan susah, udah berusaha tapi tetap susah juga (ini terjadi di sebagian besar kita-kita. ampun deh...).

Apakah Tuhan sudah adil terhadap kita?
Jawabannya, jelas Tuhan maha adil dan pasti murah hati. Karena Tuhan menuangkan berkatnya berlimpah-limpah dengan jumlah liter yang sama untuk semua umat yang dikasihinya. Tetapi kapasitas kita buat terima berkat itulah yang berbeda-beda, satu sama lain.

Pengin menerima lebih banyak, perbesarlah kapasitasmu...
Apakah yang dimaksud kapasitas itu? Sulit sekali buat memahaminya bukan. Tapi saya ada satu pertanyaan yang jawabannya merupakan jawaban dari judul artikel ini, seberapa besar kapasitasmu?

Seandainya secara tiba-tiba kamu kejatuhan rejeki Rp.100juta, Apakah yang akan kamu perbuat?
»»  Silakan baca kelanjutannya

Sunday, June 2, 2013

Etika Sebagai Seorang Fotografer

Perkembangan fotografi yang pesat akhir-akhir ini seperti koin yang punya dua sisi berbeda. Di satu sisi, perkembangan ini menggembirakan karena ada semakin banyak orang yang memiliki akses pada kamera digital, baik kamera saku maupun kamera profesional DSLR. Namun, di sisi lain, banyak hal mendasar dalam memotret, termasuk etika, yang dilupakan. Semangat memotret membuat kita lupa bahwa, selain teknik untuk mendapat foto bagus, ada aturan tak tertulis tentang kesantunan.

Pentingkah pengetahuan tentang etika dalam memotret tersebut? Jawabannya, jelas sangat penting. Itulah sebabnya di media sosial begitu banyak kecaman terhadap para fotografer yang mengganggu jalannya upacara Waisak pada 25 Mei lalu di Candi Borobudur. Ribuan turis, baik lokal maupun mancanegara, memadati candi yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, ini. Ratusan fotografer siap dengan kameranya.

Saat itu, pelataran Candi Borobudur, yang sudah dialasi karpet kuning, dipenuhi pengunjung yang seharusnya menjadi tempat duduk bagi umat Buddha untuk melakukan ritual keagamaan. Saat para biksu memanjatkan doa di bagian atas candi, banyak sekali fotografer "masuk" ke area yang seharusnya "steril" dari segala macam kegiatan selain ritual itu sendiri.

Kegaduhan kian menjadi ketika para fotografer berebut angle terbaik. Sejumlah fotografer terlihat berusaha memotret sedekat mungkin dengan para biksu yang tengah berdoa. Kilauan flash membuat konsentrasi peribadaatan itu menjadi terganggu. Panitia sempat mengumumkan larangan untuk naik ke area pelataran dan tidak menggunakan lampu kilat atau flash, tapi tak digubris.

Peristiwa ini tak akan terjadi jika rekan-rekan fotografer memahami aturan dan etika dalam memotret, terutama upacara keagamaan. Ada beberapa aturan dan etika bagi fotografer dalam memotret agar santun, beretika, dan tidak asal-asalan saat hunting foto. Berikut ini di antaranya.

1. Meminta izin saat akan memotret orang lain
Hal ini sangat penting karena tidak semua orang dan properti bisa diambil gambarnya. Ada aturan yang berlaku di sini, meski kadang tak tertulis. Anda harus mempersiapkan model release atau property release jika tidak ingin tersangkut masalah hukum. Karena ini menyangkut privasi, terangkan pula penggunaan foto tersebut untuk kepentingan komersial, jurnalistik, atau sekadar dokumentasi pribadi. Ini juga berlaku bagi penggemar hunting foto di jalanan, atau sering disebut street photography.

2. Patuhi peraturan / larangan
Di sejumlah tempat, kerap tertera tulisan "Dilarang Memotret”. Dan biasanya tulisan tersebut terdapat di area publik, seperti pusat belanja, bank, museum, dan hotel. Larangan ini berkaitan dengan kenyamanan, keamanan, dan masalah hak cipta. Patuhilah larangan ini.

3. Penggunaan lampu kilat/flash
Penggunaan lampu kilat atau flash sangat menyilaukan dan dapat mengganggu konsentrasi, terutama jika terkena langsung. Pada area tertentu, penggunaan flash sering dilarang, seperti pada arena olahraga serta pertunjukan teater dan musik. Belajarlah tentang teknik pemotretan dengan available light, memakai sumber cahaya yang tersedia.

4. Hentikan memotret jika mengganggu
Ini berlaku di mana saja, seperti contoh kasus di atas, saat pihak panitia merasa kegiatan keagamaan sudah terganggu. Atau, ada kesadaran untuk berhenti jika aktivitas memotret Anda sudah mengganggu. Tidak semua orang berkenan untuk diambil gambarnya. Walau tidak ada aturan baku, ada baiknya untuk membangun jalinan komunikasi, sehingga Anda bisa mengetahui area mana yang boleh diambil gambarnya.

5. Hati-hati eksploitasi
Di negara-negara maju, ada larangan untuk memotret anak-anak di area publik atau gelandangan yang tidur di pinggir jalan. Selain dapat dijadikan eksploitasi, hal itu berkaitan dengan “citra” negara tersebut di mata dunia.

6. Menjunjung kepentingan umum
Kepentingan umum adalah segalanya. Sebagai seorang fotografer, Anda dituntut untuk mengedepankan hal ini. Jangan berpikir kalau sudah membawa kamera, kita bebas untuk mengambil gambar apa pun dan di mana pun.
»»  Silakan baca kelanjutannya

Wednesday, May 1, 2013

Berkarir Sebagai Seorang Model

Dunia fotografi semakin maju pesat belakangan ini. Ditandai dengan semakin bertambah banyaknya penggemar yang mulai menggeluti hobi yang sebenarnya bukan tergolong baru ini. Berbagai event fotografipun sering digelar, baik oleh komunitas fotografi tertentu maupun oleh event organizer profesional dengan tujuan sekedar hunting bersama sampai yang bersifat lomba.

Kegiatan-kegiatan fotografi macam itu ternyata berdampak pada lahirnya model-model baru yang secara tidak langsung dibutuhkan sebagai obyek foto bagi para fotografer, terutama dari kalangan para gadis remaja. Tak jarang siapapun, bahkan seseorang yang tidak memiliki dasar modeling sama sekali tiba-tiba bisa saja tampil sebagai "model dadakan".

Tidak ada yang salah memang berprofesi sebagai model, terutama kalo kita berkaca kepada para model kelas dunia yang bisa kita saksikan di Fashion TV; Kehidupan glamour, ketenaran dan penghasilan yang cukup lumayan menjadi motivasi bagi para gadis remaja untuk berangan-angan menjadi seorang model. Namun yang perlu diingat, dunia modeling sangat kompetitif, bagaimana tidak dari ribuan atau jutaan gadis remaja, hanya beberapa orang saja yang survive dan menjadi seorang top model. Tetapi bagi seseorang yang benar-benar mencintai dunia modeling, ketenaran bukanlah sesuatu yang utama. Seni modeling, bagaimana membuat orang menyukai pose-pose kita dan foto-foto kita, itulah yang terpenting. Seorang model sejati tidak akan mementingkan apakah wajahnya tampil di majalah internasional, nasional, lokal atau bahkan hanya di halaman facebook.

Modeling adalah modeling. Banyak model yang tampil di majalah terkenal, tapi orang tidak suka dengan posenya. Sebaliknya, ada pula orang yang hanya dikenal lewat foto-fotonya di profil facebook, namun banyak yang suka dan tersebar luas di dunia maya. Walaupun namanya tidak dikenal, namun foto-fotonya banyak orang tahu. Sebenarnya dialah seorang model sejati. Namun demikian, bukan berarti bisa dilakukan dengan jalan pintas seperti tampil dengan foto-foto seronok.

Bagi yang serius ingin membangun karir sebagai model, ada beberapa poin penting yang dapat kita lakukan, diantaranya adalah:

1. Merawat Diri
Merawat diri bagi seorang calon model berarti merawat diri lahir dan batin. Tidur yang cukup, mengkonsumsi makanan sehat serta menjaga keindahan dan kesehatan tubuh adalah hal yang sangat penting.

2. Terus Belajar
Belajar adalah sesuatu yang sangat penting di dunia model. Hal kecil seperti cara berpose di depan kamera haruslah sudah kita ketahui. Jangan sampai kita hanya bercita-cita menjadi seorang model, tetapi membuat para fotografer berkeringat mengarahkan ita, calon model seperti ini sulit berkembang. Rajinlah baca artikel dari majalah maupun internet dan pelajari berbagai macam pose yang pas untuk kita peragakan.
Sadarlah bahwa dunia model adalah dunia penuh dengan ribuan gadis-gadis cantik yang mungkin lebih cantik dari kita, untuk itu kita harus membuat sebuah keunikan dan terobosan agar kita mempunyai sesuatu yang lebih dari mereka. Hal ini hanya dapat kita peroleh dengan belajar dan ketekunan.

3. Membangun Popularitas
Mulai perkenalkan dirimu di hadapan public. Sekarang banyak sekali sarana untuk mempublikasikan profilmu agar dikenal banyak orang, melalui media internet seperti media sosial, blog atau bahkan website jika memang diperlukan. Perkenalkan dirimu beserta semua data yang mungkin diperlukan seperti tinggi/berat badan, ukuran kostum, ukuran sepatu atau data-data yang lebih pribadi seperti lingkar pinggang, lingkar dada dan sejenisnya jika dirasa perlu. Gunakan nama yang wajar dan mudah diingat, Nama asli jika memungkinkan (nama alay semacam Anissa Chibi Girl dan sejenisnya, kayaknya gak pantas untuk digunakan). Beberapa media internet yang layak untuk dipertimbangkan: Facebook, Model Indonesia, Model Mayhem dan masih banyak lagi.

4. Menyiapkan Portfolio
Mulai siapkan foto-foto terbaikmu untuk dijadikan portofolio. Jika memang telah memiliki pengalaman menjadi model dalam acara hunting, coba seleksi foto-foto yang memang layak untuk ditampilkan. Kalau memang belum ada, usahakan undang seorang fotografer yang memang memiliki kemampuan untuk mengabadikan pose-pose terbaikmu.

5. Gunakan Jasa Agen Model
Di beberapa kota besar biasanya ada agen-agen yang terkemuka dan biasanya mereka mengadakan perekrutan calon-calon model untuk diorbitkan. Mungkin ada beberapa agen yang mengharuskan para anggotanya membayar beaya registrasi dan mendapatkan sekian persen dari fee yang diterima oleh sang model. Namun, agen model yang bonafit, seharusnya juga memberikan pelatihan yang diperlukan untuk meningkatkan skill para model yang berada di bawah manajemen mereka.

6. Bersikap Profesional
Apabila ada panggilan, atau anda telah menjadi seorang model, bersikaplah profesional, jangan pernah terlambat atau mengingkari sebuah janji pertemuan atau pengambilan gambar. Anda harus tahu keterlambatan atau pembatalan adalah kerugian besar bagi user, mereka telah membayar sewa lokasi, fotografer, make up dll. Anda membuat rugi semua orang termasuk anda sendiri. Tetapi yang lebih mendasar dari semua hal di atas adalah, belajar untuk bersikap sopan dalam menghadapi semua pihak.

7. Yang terakhir adalah
Berpikir dua kali sebelum menerima permintaan untuk berpose vulgar (nude, bikini, lingerie dan sejenisnya). Ada pendapat bahwa seorang model profesional harus berani untuk secara total dalam mencoba segala tema dan konsep yang ditawarkan kepadanya. Tetapi, akan sangat disayangkan jika pada akhirnya kamu hanya dikenal sebagai model vulgar saja.
»»  Silakan baca kelanjutannya

Thursday, January 3, 2013

Olah Digital Pada Sebuah Karya Foto

Sedikit uneg2 yg saya kaji dan telaah, kemudian riset ke rekan2 saya para pakar dan guru di bidang photography di Jogja : semoga membawa wacana tersendiri...amin....tulisan ini sudah saya share juga ke sahabat saya di Jogja....

“Foto yang bagus itu ya foto yang dihasilkan langsung dari kamera, tanpa olah digital lanjutan dengan software semacam Photoshop, Lightroom, dan lainnya. Sehingga muncul anggapan bahwa fotografer yang hebat itu ya yang motret tanpa pake olah digital segala…”

Dulu ketika mula-mula menekuni hobi fotografi di tahun awal tahun 1997an (berbekal kamera SLR film merk Ricoh sederhana dan kemudian sempat mencicip kamera pocket digital generasi awal), saya pun memiliki pola pikir yang sama, hasil dari pengaruh “senior-senior” yang sebenarnya juga tak punya dasar yang kuat tentang anggapan itu. Seolah-olah, olah digital dari hasil jepretan adalah sesuatu yang tabu dan menunjukkan betapa gak “hebatnya” kita dalam menekuni bidang fotografi. Sehingga kadang merasa malu untuk mengakui kalau beberapa foto saya dulupun pernah melalui proses olah digital.

Namun lambat laun saya pun terbuka seiring bertambahnya jam motret dan juga interaksi saya dengan dunia fotografi, termasuk diskusi dengan orang- orang yang giat di dalamnya ataupun membaca berbagai tulisan mengenai salah kaprah anggapan tentang olah digital (digital editing) dalam foto.

Ternyata, justru mereka yang mengatakan bahwa foto yang bagus itu adalah foto yang dihasilkan langsung dari kamera tanpa olah digital adalah kelompok yang sebenarnya masih sangat PEMULA dan LEMAH dalam pemahamannya tentang fotografi. Dalam dunia fotografi digital… olah digital itu sudah dimulai sejak pertama kali kita menekan tombol shutter dan sensor kamera menangkap gambar yang kita foto. Jadi, mau tak mau… foto yang kita hasilkan itu adalah hasil olah digital di DALAM KAMERA. Belum lagi jika kita memakai berbagai macam fitur tambahan dalam kamera digital itu: ISO, WB,Metering, Picture Style, Filter, dan lainnya… maka olah digital tak bisa terhindarkan, karena hasil foto dari kamera digital pastilah satu paket dengan proses olah digital di dalam kamera. Olah digital yang dilakukan melalui software hanyalah proses lanjutan utk “mengoreksi” kekurangan yang tidak bisa dilakukan oleh sistem kamera digital yang kita gunakan.

So… kalo masih ada aja yang beranggapan bahwa foto yang dihasilkan dari hasil olah digital itu “Gak Pro”… perlu ditanyakan lagi ke dianya…dia motret pake kamera digital atau apaan?

Salah kaprah lainnya… yang mungkin sepele adalah penggunaan istilah Professional (Pro) dalam dunia fotografi untuk membedakan dengan para “beginner” atau pemula. Kita cenderung mengadaptasi istilah professional untuk digunakan sebagai sebutan bagi mereka ahli di bidangnya, mereka yang hebat, atau mereka yang berada di tingkatan master dengan bidang keahliannya. Padahal… dalam terminologi bahasa… istilah Professional itu berasal dari kata dasar Profesi atau pekerjaan. Sehingga kata professional itu sebenarnya lebih tepat untuk menunjukkan bahwa seseorang itu menghasilkan uang/pendapatan dari bidang yang ia geluti.

Fotografer professional itu ya jadinya adalah seorang tukang foto yang mendapatkan penghasilkan dari aktivitas potret-memotret… hebatkah dia? ahlikah dia? Sebenarnya ya gak selalu berkaitan dengan istilah profesional. Siapa saja yang mampu menghasilkan uang dari aktivitas yang ia tekuni (seberapapun tinggi/rendah level kemampuannya atau seberapapun bagus/jelek foto yang dihasilkannya) yang penting ia bisa menghasilkan uang darinya… maka ia bisa dikategorikan profesional

Istilah untuk mereka yang memang ahli dan berpengalaman di dunia fotografi sebenarnya lebih tepat diistilahkan dengan kata: Expert. Banyak yang expert di bidang fotografi tapi tak menjadikannya sebagai pekerjaan untuk menghasilkan uang. Makanya mereka yang ahli itu jarang disebut Profesional…

Kembali ke masalah editing and no editing… para fotografer profesional dan expert justru merupakan sosok-sosok yang paling banyak “bergantung” dengan proses olah digital lanjutan di komputer. Mereka berusaha menghasilkan foto yang terbaik untuk para klien-nya ataupun untuk kepuasan pribadinya, oleh karenanya proses olah digital lanjutan tak luput dari aktivitas mereka.

So… kalau masih ada saja yang beranggapan bahwa para fotografer profesional dan expert itu tak pernah memakai olah digital lanjutan…kayaknya yang bersangkutan kudu kita minta untuk kembali belajar tentang fotografi secara lebih dalam

“Lha… kalau foto bagus selalu bisa dihasilkan dengan olah digital… berarti skill dan pemahaman dasar fotografi seorang fotografer gak terlalu penting buat menghasilkan foto dong?”

Well… Skill dan pemahaman mendasar tentang fotografi itu tetap sangatpenting, apalagi jika ditambah dengan pengalaman (experience). Seperti yang saya singgung sebelumnya; olah digital itu digunakan untuk “mengoreksi/ memperbaiki” kekurangan elemen foto yang dihasilkan dari hasil kamera. Komposisi, cerita, konsep, dan makna sebuah foto itu tetap tak bisa diambil alih oleh digital editing, itu semua berasal dari skill, pemahaman, dan juga pengalaman dari fotografernya.

Olah digital itu dalam masa fotografi film disamakan dengan proses kamar gelap (dark room), dimana rol film mengalami proses “pencucian” dengan zat kimia untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Komposisi zat kimia, lama waktu, dan lainnya itulah yang kemudian di era digital menjadi jauh lebih sederhana dengan proses digital editing melalui software.

Batasan olah digital sebenarnya juga tak pasti… namun para sesepuh fotografi menggunakan istilah kewajaran sebuah foto dalam mengolahnya. Misalnya foto-foto jurnalistik, tentu bukan keindahan yg jadi nilai utamanya, tapi seberapa bagus dan wajarnya foto itu mewakili sebuah peristiwa sehingga penikmatnya bisa menangkap berita yang disampaikannya. Namun sekali lagi… tak ada batasan yang jelas untuk masalah olah digital… dikembalikan kepada masing-masing fotografernya

Nah… kalau masih ada yang keukeuh “ngotot” bahwa foto yang bagus itu ya yang langsung dihasilkan dari kamera dan TANPA proses olah digital lanjutan…. well… tak perlu kita berdebat lebih panjang siapa yang salah dan siapa yang benar…

Mending kita motret lebih banyak dan sering, menambah pengalaman, bertukar ilmu, dan saling memberikan kritikan membangun/masukan mengenai hasil fotografi masing-masing…

Sumber: Facebook
»»  Silakan baca kelanjutannya

Tuesday, July 3, 2012

Pujian Semu di Facebook

Diakui atau tidak, saat ini Facebook sudah menjadi akun wajib yang harus dimiliki oleh semua orang, khususnya bagi para penggemar fotografi. Karena, salah satu fitur yang dimiliki social media tersebut memungkinkan kita untuk mengupload karya foto kita agar bisa dinikmati semua orang.

Tahukah anda, ada lebih dari jutaan foto yang diunggah di Facebook setiap jamnya.
Foto yang terpampang di wall Facebook bisa dilihat oleh orang-orang yang memang "terhubung" dengan si pengupload. Mereka bebas memberikan komentar atau sekedar memberikan "like" terhadap foto-foto tersebut. Jika memang diperlukan, si pengupload bisa memberikan "tag" kepada teman-temannya.

Fitur "tag" yang belakangan saya sebut tadi sebenarnya berfungsi untuk memberikan tanda bahwa seseorang yang di-tag dalam sebuah foto memang ada di foto tersebut. Tetapi, agaknya oleh kebanyakan pengguna Facebook, fitur tersebut dialih fungsi untuk "memaksa" orang lain melihat foto yang bersangkutan, syukur-syukur kalau berkenan meninggalkan komentar.

Mungkin kebanyakan kita tidak menyadari bahwa kita secara tidak sengaja telah mengganggu orang lain dengan memberikan tag-tag yang kadang tidak ada kaitannya secara langsung dengan orang yang bersangkutan. Ada seorang teman yang setiap harinya harus membuka satu-persatu puluhan notifikasi Facebooknya, hanya karena tag-tag foto seperti yang telah saya sebut di atas. Sabaliknya, saya pernah memperhatikan tingkah seorang fotografer yang memberikan tag kepada lebih dari 50 orang setiap dia mengupload karya fotonya, tidak peduli apakah orang-orang itu teman dekat atau sekedar teman Facebook. Bayangkan...

Bagi sebagian fotografer yang gemar memberikan tag-tag di setiap karya-karya fotonya, langkah tersebut mungkin bertujuan untuk sekedar memamerkan sekaligus mendapatkan kepastian agar orang lain memperhatikan karya-karyanya dan yang terakhir, berharap sebuah komentar atau pujian.

Tetapi, sadarkah kita bahwa tidak semua orang berkenan dan bisa menikmati karya-karya kita. Bahkan pujian dan komentar positif yang kita terima dari korban-korban tag tersebut sebenarnya tidak lebih dari sekedar pujian semu yang kadang diberikan karena rasa sungkan terhadap si fotografer yang sudah repot-repot memberikan tag.

Mungkin kita bisa berdalih, bahwa tag-tag tersebut bertujuan untuk mengharapkan kritikan, masukan, saran atau yang sejenisnya. Tapi kalau mau jujur, apa yang ada di benak kita saat kita mengupload foto karya kita dan memberikan tag ke banyak orang adalah rasa bangga atas karya foto tersebut dan rasa percaya diri untuk memamerkannya kepada orang-orang yang telah kita tag. Nah, dalam keadaan seperti itu, siapkah kita jika komentar negatif atau bahkan kritikan pedas yang kita dapatkan?

Sebuah karya foto yang bermutu tidak memerlukan tag-tag apapun yang sebenarnya tidak sepantasnya. Kita tidak perlu memaksa orang lain untuk memperhatikan karya kita. Jika kita percaya bahwa kita telah melakukan yang terbaik untuk menghasilkan sebuah karya foto yang bagus, upload saja di wall, maka komentar dan pujian akan datang dengan sendirinya.
»»  Silakan baca kelanjutannya

Monday, July 2, 2012

Komersialisasi Lokasi Untuk Pemotretan

Pernah suatu sore, kami sekeluarga maen ke Mall Eastcoast yang terletak di kawasan Laguna (Surabaya Timur). Kita semua tau kan' Laguna Indah tuh kawasan perumahan kelas atas yang tertata rapi, asri dan tentu saja memiliki view yang indah. Sebagai penggemar fotografi, tentu saja tangan saya gatal untuk jeprat-jepret. Apalagi, saat itu kami bawa beberapa keponakan yang masih kecil-kecil, bisa jadi obyek foto gratis yang sayang untuk dilewatkan. Tetapi, pas lagi asyik-asyiknya memotret, tiba-tiba muncul security yang berniat mengusir kami dengan memperingatkan bahwa di lokasi perumahan tersebut dilarang memotret tanpa ijin. Walah, baru tau!!!

Di hari lain, pas kebetulan ada janji ama seorang teman di pusat perbelanjaan Supermal, saya sengaja parkir di area rooftop. Saat itu senja hari, lampu-lampu di kawasan Bukit Darmo Boulevard udah mulai menyala, sementara langit belum gelap meskipun matahari udah tenggelam. Seperti biasa saya mulai tergoda untuk menjepret dengan kamera DSLR saya. Sayapun segera bersiap-siap pasang tripod dan mengarahkan lensa ke kawasan Lenmarc yang ketika itu tampak gemerlapan. Eh, tiba-tiba muncul satpam yang berlari-lari kearah saya. Dengan tergopoh-gopoh, satpam itu meminta saya untuk tidak memotret tanpa ijin. Sedikit lebih sopan dibanding cara satpam yang di Laguna, tetapi tetap saya sangat tersinggung.

Belakangan saya baru tau, bahwa ada lokasi-lokasi tertentu di mana kita tidak diijinkan memotret kalo gak bayar. Wow, heran juga... Gimana bisa kita diharuskan membayar hanya untuk memotret, apalagi memotret dengan kamera milik sendiri.

Ketika iseng-iseng browsing di internet, saya menjadi lebih tau banyak, ternyata banyak banget tempat-tempat di pelosok kota Surabaya ini yang sudah dikomersialkan. Artinya, kita harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mengabadikan gambar dengan kamera. Dan tarifnya tentu saja gak bisa dianggap sepele. Mahal banget...., ratusan ribu bahkan jutaan.

Saya gak tau pasti, sejak kapan trend tersebut dimulai. Karena hobby fotografi saya kambuh juga baru-baru aja. Tetapi mari kita telusuri asal-usulnya...

Seperti yang kita tau, bisnis fotografi akhir-akhir ini sedang subur-suburnya. Kebutuhan orang untuk mengabadikan momen-momen penting seperti wedding, pre-wedding, ulang tahun bahkan hanya untuk sekedar foto single maupun couple sedang tinggi-tingginya. Banyak perusahaan maupun fotorafer perorangan penyedia jasa fotografi bermunculan, dari yang ecek-ecek sampai yang pro. Beberapa dari mereka memang memiliki skill dan naluri fotografi yang extra-ordinary dengan hasil karya yang menakjubkan.

Kalo kita simak, nilai honor yang dipatok sang fotograferpun dari masa ke masa semakin fantastis. Dulu waktu jamannya saya menikah, budget beaya dokumentasi mencapai 10% dari keseluruhan total beaya pernikahan sudah termasuk lampu merah. Sekarang, belasan bahkan puluhan jutapun orang mau bayar hanya untuk mengabadikan momen-momen tertentu ke dalam bentuk foto.

Akan tetapi, kalo kita mau jujur, keindahan sebuah foto tidak bisa lepas dari yang namanya lokasi pemotretan yang menjadi latar belakang sebuah hasil karya foto. Menurut opini saya, pihak pemilik venue yang biasa dijadiin lokasi pemotretan tentu saja merasa gak rela si fotografer meraup untung yang jumlahnya dari masa kemasa semakin gak masuk akal, sementara meraka hanya gigit jari aja. Tentu saja mereka juga merasa, lokasi pemotretan juga memliki nilai yang harusnya include pada hasil karya sebuah foto. Maka, lahirlah bisnis komersialisasi lokasi umum untuk acara pemotretan.

Namun yang sangat disayangkan, gerakan komersialisasi ini udah sangat mengkhawatirkan. Saya pernah coba survey di sebuah coffee shop kelas rata-rata yang terletak di sebuah lokasi perbelanjaan kecil di kawasan Surabaya Selatan. Mereka mematok Rp.500.000,- bagi para tamu hanya untuk sekedar memotret.

Saya warga Surabaya, saya cinta kota Surabaya ini dan tentu saja saya memiliki keinginan untuk mengabadikan keindahan setiap sudut kota saya ini ke dalam sebuah foto lewat kamera saya sendiri. Ada kebanggaan saat kita melihat hasil karya foto kita sendiri, meskipun tidak seindah karya para fotografer terkenal dan tentu saja jauh dari yang namanya komersialitas.

Tetapi, apa jadinya jika nanti setiap tempat indah di kota ini memiliki price list masing-masing?
»»  Silakan baca kelanjutannya