Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Dia masih bocah, usianya belum genap 14 tahun. Tapi keganasan Yahudi telah menghantarkan jiwanya menemui Rabbnya. Bacah yang selalu mengusung cita-cita tanah airnya ini dibunuh dengan darah dingin oleh pemukim Yahudi. Dia adalah Ala’ Hani.

Tidak seperti biasanya, hari itu Ala’ bangun tidur pagi-pagi sekali. Beberapa saat kemudian dia menemui ibunya dan menciumnya. Kemudian dengan agak tergesa-gesa dia ganti pakaian. Sebelum keluar rumah, dia minta ibunya untuk mendoakannya dan menjaga adik-adiknya yang masih kecil. Dia juga minta kepada ibunya agar menyampaikan salam kepada sang ayah yang telah mendahuluinya pergi berangkat kerja pagi-pagi.

Selepas dzuhur, kerumunan massa telah berkumul di depan rumah keluarganya di desa Bitin sebelah timur kota Ramallah. Mereka memberitahu ibu Ala’ bahwa anaknya terluka dalam aksi demo yang memprotes pembangunan tembok pemisah rasial yang dibangun Israel di atas tanah warga Palestina di kawasan tersebut. Namun diluar dugaan, sang ibu justru menjawab, “Ala’ tidak terluka, saya yakin dia telah gugur syahid…”

Hari itu, setelah keluar dari pintu sekolah di mana dia belajar, Ala’ bertemu dengan sekelompok pemuda Palestina di antaranya mereka ada teman-teman sekolahnya. Mereka bertolak ikut demonstrasi menentang pembangunan tembok pemisah rasial yang menggusur tanah desa mereka, tidak terkecuali tanah keluarga Hani, yang telah diduduki penjajah Zionis Israel secara total.

Sejak kecil, menurut anak pamannya, Ala’ yang duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama, ini sering ikut berbagai kegiatan nasonal di kotanya. Dia memiliki semangat revolusi yang tinggi. Memiliki kepribadian yang kuat dan pemberani. Sampai-sampai seorang gugur yang hadir dalam ta’ziah menyampaikan sambutan, sungguh Ala’ lebih tua dari usia yang sebenarnya. Dia bisa memikirkan berbagai persoalan yang tidak pernah terpikirkan oleh orang dewasa sekalipun.

Khaled, salah seorang teman dan sepupu Ala’ mengungkapkan kata-kata yang mungkin sulit untuk dipercaya. Khaled mengatakan, “Tak seorang pun dari keluarga yang percaya bahwa kami tidak akan melihat Ala’ sekali lagi. Dia adalah bocah yang dicintai oleh semua keluarga. Sekiranya tidak demikian, pastilah dia tidak mendapatkan syahadah (mati syahid)…Dia kini telah di syurga dan Allah akan meneguhkan kesabaran kami serta mengantikannya dengan yang lebih baik, insya Allah.”

Kisah kesyahidan Ala’ bemula dari aksi demo hari itu. Menurut Khaled, saat tengah berlangsung aksi demo secara damai untuk menentang pendirian tembok pemisah rasial Israel, kewat seorang pemukim Yahudi dengan mengendarai mobil dan langsung melancarkan serangan tembakan secara tiba-tiba kepada para demonstran.

Akibat aksi brutal teroris Yahudi ini, seorang perserta demo bernama Ahmad terluka. Melihat hal itu, Ala’ langsung menolong rekannya itu. Namun tiba-tiba teroris Yahudi tadi kembali melancarkan serangan tembakan secara sengaja dan mengenai Ala’ yang syahid seketika itu juga, karena timah panas mengenai bagian tubuh yang mematikan. “Saya tidak tahu, bahaya apa yang bisa diciptakan oleh bocah semacam Ala’ terhadap keselamatan teroris Yahudi yang melengkapi dirinya dengan senjata pembunuh modern sementara dia sendiri di dalam mobil?!!”
Ala’ tinggal dalam keluarga yang terdiri dari 4 orang anak dan dua orang tua. Dia sendiri adalah anak tertua. Khaled mengatakan, “Setelah ditinggal Ala’, keluarganya hidup dalam Susana susah, ibunya mengalami shack dan tidak bisa berbicara dengan siapapun.”

Mengenai kalimat terakhir yang diucapkan putranya, Ummu Ala’ menuturkan bahwa setelah memakai pakain baru dan bersiap-siap, berbeda dengan biasanya, kemudian menciumnya. Saat itu Ummu Ala’ sempat bertanya kepada putranya, “Kenapa engkau melakukan itu? Ala’ menjawab, “Semua orang harus mencium ibunya di pagi hari, dan harus bersyukur kepada Allah kerena telah diberi seorang ibu…” Setelah itu, ungkap Ummu Ala’, putranya berpamitan pergi ke sekolah dan minta didoakan untuknya.

Impian terbesar bagi Ala’ adalah bagaimana membebaskan tanahnya yang dirampas pasukan penjajah Zionis Israel untuk mendirikan tembok pemisah rasial. Khaled mengatakan, “Dia selalu memimpikan tanahnya kemabli. Pada suatu kesempatan, kala itu musim petik buah zaitun, pagi-pagi dia berkata kepada ibunya dengan keras, kita dilarang punya zaitun sebagaimana yang dimiliki semua makhluk dan manusia. Alangkah buruknya selama saya masih hidup kondisinya seperti ini.”

Untuk itulah, setiap ada kesempatan demonstrasi yang dilakukan secara berkala di kotanya, Ala’ tidak pernah melewatkan kesempatan itu, guna memprotes pembangunan tembok pemisah rasial yang melibas lebih dari sepertiga tanah pertanian di desanya, Bitin, termasuk tanah keluarganya sendiri.

Akibat aktivitas pembangunan tembok pemisah rasial di timur kota Ramallah, Tepi Barat, ini sejumlah rumah warga terisolasi dari kota. Para pendudukanya dilarang mengunjungi kerabat mereka yang jaraknya beberapa meter saja, itu karena adanya tembok yang memisahkan bagian-bagian kota secara total.

Menurut Khaled, hal yang sangat menyakitkan bagi Ala’ adalah manakala dia tidak bisa mengunjungi sepupunya yang terisolasi di balik tembok rasial ini, yang belakangan ini hidup dalam tekanan yang luar biasa karena kondisi umum yang ada saat itu. Ala’ adalah seorang bocah yang memiliki empati tinggi dan tidak bisa menahan kedzaliman, meski itu dari orang-orang terdekatnya, terlebih bila kedzaliman itu dari orang-orang yang melibas tanah dan impianya…? (seto)

Suatu ketika, tersebutlah seorang pengusaha muda dan kaya. Ia baru saja membeli mobil mewah, sebuah Jaguar yang mengkilap. Kini, sang pengusaha, sedang menikmati perjalanannya dengan mobil baru itu. Dengan kecepatan penuh, dipacunya kendaraan itu mengelilingi jalanan tetangga sekitar.

Di pinggir jalan, tampak beberapa anak yang sedang bermain sambil melempar sesuatu. Namun, karena berjalan terlalu kencang, tak terlalu diperhatikannya anak-anak itu. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang melintas dari arah mobil-mobil yang di parkir di jalan. Tapi, bukan anak-anak itu yang tampak melintas. Aah..., ternyata, ada sebuah batu yang menimpa Jaguar itu. Sisi pintu mobil itupun koyak, tergores batu yang dilontarkan seseorang.

Cittt....ditekannya rem mobil kuat-kuat. Dengan geram, di mundurkannya mobil itu menuju tempat arah batu itu di lemparkan. Jaguar yang tergores, bukanlah perkara sepele. Apalagi, kecelakaan itu dilakukan oleh orang lain, begitu pikir sang pengusaha dalam hati. Amarahnya memuncak. Dia pun keluar mobil dengan tergesa-gesa. Di tariknya seorang anak yang paling dekat, dan di pojokkannya anak itu pada sebuah mobil yang diparkir.

"Apa yang telah kau lakukan!!! Lihat perbuatanmu pada mobil kesayanganku!!" Lihat goresan itu", teriaknya sambil menunjuk goresan di sisi pintu. "Kamu tentu paham, mobil baru semacam itu akan butuh banyak ongkos di bengkel kalau sampai tergores." Ujarnya lagi dengan geram, tampak ingin memukul anak itu.

Sang anak tampak ketakutan, dan berusaha meminta maaf. "Maaf Pak, Maaf. Saya benar-benar minta maaf. Sebab, saya tidak tahu lagi harus melakukan apa." Air mukanya tampak ngeri, dan tangannya bermohon ampun. "Maaf Pak, aku melemparkan batu itu, karena tak ada seorang pun yang mau berhenti...."

Dengan air mata yang mulai berjatuhan di pipi dan leher, anak tadi menunjuk ke suatu arah, di dekat mobil-mobil parkir tadi. "Itu disana ada kakakku. Dia tergelincir, dan terjatuh dari kursi roda. Aku tak kuat mengangkatnya, dia terlalu berat. Badannya tak mampu kupapah, dan sekarang dia sedang kesakitan.."

Kini, ia mulai terisak. Dipandanginya pengusaha tadi. Matanya berharap pada wajah yang mulai tercenung itu. "Maukah Bapak membantuku mengangkatnya ke kursi roda? Tolonglah, kakakku terluka, tapi dia terlalu berat untukku."

Tak mampu berkata-kata lagi, pengusaha muda itu terdiam. Kerongkongannya tercekat. Ia hanya mampu menelan ludah. Segera, di angkatnya anak yang cacat itu menuju kursi rodanya. Kemudian, diambilnya sapu tangan mahal miliknya, untuk mengusap luka di lutut anak itu. Memar dan tergores, sama seperti sisi pintu Jaguar kesayangannya.

Setelah beberapa saat, kedua anak itu pun berterima kasih, dan mengatakan bahwa mereka akan baik-baik saja. "Terima kasih, dan semoga Tuhan akan membalas perbuatanmu." Keduanya berjalan beriringan, meninggalkan pengusaha yang masih nanar menatap kepergian mereka. Matanya terus mengikuti langkah sang anak yang mendorong kursi roda itu, melintasi sisi jalan menuju rumah mereka.

Berbalik arah, pengusaha tadi berjalan sangat perlahan menuju Jaguar miliknya. Disusurinya jalan itu dengan lambat, sambil merenungkan kejadian yang baru saja di lewatinya. Kerusakan yang dialaminya bisa jadi bukanlah hal sepele. Namun, ia memilih untuk tak menghapus goresan itu. Ia memilih untuk membiarkan goresan itu, agar tetap mengingatkannya pada hikmah ini. Ia menginginkan agar pesan itu tetap nyata terlihat: "Janganlah melaju dalam hidupmu terlalu cepat, karena, seseorang akan melemparkan batu untuk menarik perhatianmu."

Teman, sama halnya dengan kendaraan, hidup kita akan selalu berputar, dan dipacu untuk tetap berjalan. Di setiap sisinya, hidup itu juga akan melintasi berbagai macam hal dan kenyataan. Namun, adakah kita memacu hidup kita dengan cepat, sehingga tak pernah ada masa buat kita untuk menyelaraskannya untuk melihat sekitar?

Tuhan, akan selalu berbisik dalam jiwa, dan berkata lewat kalbu kita. Kadang, kita memang tak punya waktu untuk mendengar, menyimak, dan menyadari setiap ujaran-Nya. Kita kadang memang terlalu sibuk dengan bermacam urusan, memacu hidup dengan penuh nafsu, hingga terlupa pada banyak hal yang melintas.

Teman, kadang memang, ada yang akan "melemparkan batu" buat kita agar kita mau dan bisa berhenti sejenak. Semuanya terserah pada kita. Mendengar bisikan-bisikan dan kata-kata-Nya, atau menunggu ada yang melemparkan batu-batu itu buat kita.

Akhirnya Boy nongol juga ke rumah Vivi 'n langsung langsung aja diboyong ke ruang belajar Seno, kakaknya Vivi.

"Assalamu'alaikum," sapa Boy.
"Walaikum Salam" Seno langsung nyalamin tangannya Boy.

Nggak banyak omong langsung aja komputer yang lagi ngadat itu dengan pasrah diacak-acak. Dinyalain, diliatin programnya. Setelah dikira-kira bad sector-nya dimana, seketika itu juga komputer yang dengan manisnya duduk di atas meja, dibongkar. Tutup CPU-nya dibuka. Isi perutnya yang mirip perut Robocop diutak-atik.

"Sirkuitnya ada yang longgar," jawab Boy waktu Seno tanya-tanya soal penggusuran eh pembongkaran komputer kesayangannya itu. Bener aja saodara-saodara, nggak sia-sia Boy waktu kecil suka ngrusakin mainan orang, ternyata komputer yang gegar otak itupun dengan lancar mengeluarkan program-programnya.

"Belajar betulin komputer dimana, Boy" tanya Seno sesudah ngeberesin bekas operasi.
"Belajar sendiri aja dari buku" jawab Boy sambil minum sirup. "Ditambah nekat bongkar komputer bokap di rumah" lanjutnya sambil cengengesan Karena udah sore, Boy buru-buru pamitan pulang sama Seno dan tentu juga sama Vivi.

"Pinter juga tuh anak" setelah Boy pulang, Vivi diam aja. "Baik lagi", tambahnya. "Kalau kakaknya?" tanya Vivi iseng.
"Si Erik? baik juga sih, cuman sok kece aja" Komentar Seno sambil ngeliat reaksi adiknya. Vivi cuman manyun.

"Apa si Boy baru aja maen ke rumah elu?" Erik nggak bisa nahan rasa sirik bin kagetnya waktu Seno nelpon ke rumah ngasih tahu kalo Boy baru aja pulang dari rumahnya.
"Tenang aja Rik, Boy kagak ngapa-ngapain, cuman betulin komputer gue doang" kata Seno sambil ketawa ngeledekin Erik. Sukses gue bikin jealous tuh anak!
"Oh, jadi dia nggak coba ngrayu-ngrayu Vivi kan?" Erik masih penasaran. Tawa Seno meledak.

"Mana gue tau? emangnya gue musti ngawasin kemana adik lu pergi?" Erik bersungut-sungut.

"Ok, Rik, sekian aja informasi dari Seno, wassalam, bye" klik, Seno nutup teleponnya meninggalkan Erik yang masih panas ati.

Sialan si Boy, bener-bener kutu busuk alias musuh dalam selimut, beraninya maen belakang.

Bersaing sih boleh aja, cuman jangan maen belakang dong. udah minggu kemaren nggagalin kencan gue ama Vivi, eh sekarang malah ngedeketin Vivi. Memang benar, perlu dikasih pelajaran tuh anak, Erik geram.

Baru saja dia masuk ke kamar, suara kaki Boy kedengaran masuk ke dalam rumah. Erik nggak jadi masuk kamar. Boy ditungguin di depan kamarnya. Boy sempet kaget juga ngeliat kakaknya menghadang di depan pintu kamar.

"Jadi gitu cara elu bersaing maen curang?" Erik emosi. Boy bengong nggak ngerti maksud omongan Erik, tapi otaknya cepet mikir, pasti soal mobil kemaren. Daripada ribut, Boy cuek aja masuk ke dalam kamar. Bruk. pundaknya tubrukan ama pundak Erik. Erik panas ngerasa dicuekin. Pundak adiknya ditarik, tapi tangannya ditepis Boy, dan tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke wajah Boy, Duk!
Boy nggak sempat menghindar, badannya terhuyung ke dalam kamar. Tapi sebentar kemudian Boy melayangkan pukulan balasan ke pipi kiri Erik, giliran Erik yang terhuyung sampai terjengkang. Dia merasa ludahnya asin. Makin murka Erik langsung berdiri dan menerjang Boy. Keduanya bergerumul di lantai dan saling baku hantam.

"Berhenti" satu teriakan menghentikan keduanya. Papi sudah berdiri di belakang. Mami sesenggukan di balik punggung Papi. Pelan Erik dan Boy bangkit, pakain keduanya kusut. Darah mengalir dari sudut kiri bibir Erik. Sementara mata Boy lebam.

"Apa-apaan ini? kalian mau saling bunuh, hah?" tanya Papi dengan suara tinggi. Erik dan Boy tidak menjawab. "Sekarang kalian bereskan semuanya dan Papi tunggu satu jam di kamar Papi" Selesai memarahi papi menuju ke ruang tengah sambil menggandeng Mama yang masih sesenggukan. Tapi baru aja papi dan mama berjalan beberapa langkah, tiba-tiba, bruk! Boy ambruk, mama kaget dan menjerit "Boy!!"
Papi dan Mama berdiri di samping ranjang saat Boy membuka mata. Papa dan Mama membawa Boy ke rumah sakit. Kata dokter Boy terkena gegar otak ringan akibat terbentur tembok waktu berantem dengan Erik.

Wajah Papi sudah tidak segarang tadi. Kelihatan lebih tenang, hanya Mamanya yang masih nampak cemas. "Masih sakit, sayang?" tanya Mami penuh perasaan. Boy tidak menjawab. "Pi", kata Boy pelan, Papi mendekatkan telinganya pada Boy. "Boy minta maaf, Pi" pinta Boy pelan. Papi menggelengkan kepala. "Papi sudah maafkan. Papi sudah tahu semua duduk persoalannya. sekarang kamu istirahat saja. Kita bicarakan nanti aja kalau kamu sudah kembali ke rumah" Jawab Papi menenangkan Boy.

Sore itu Erik masih duduk-duduk di teras belakang rumah neneknya. Oleh Papi, Erik dilarang tinggal di rumah selama 2 bulan. Akhirnya dengan sangat terpaksa dia mengungsi ke rumah nenek. Tapi lumayan, dia nggak kesepian, karena mini componya boleh dibawa ke sana. Lamat-lamat lagu Paint My Love-nya Micheal Learns to Rock terdengar di sana. "From my youngest years till the moment here I've never seen such a lovely queen" begitu Erik menirukannnya.

Erik jadi teringat Vivi, sudah 2 minggu dia nggak maen atau nelpon ke rumahnya. Mungkin sudah tahu kejadian yang menimpa Boy, mungkin juga ia sekarang membenci dirinya dan makin simpati ama Boy. Erik menertawakan ketololannya sendiri, kenapa ia begitu emosi pada Boy, ia terbawa emosi setelah diberitahu Seno kakak Vivi, bahwa Boy baru aja ke rumah Seno. Padahal dalam kenyataanya, Boy hanya bentulin komputer, kalaupun pada Vivi, boy sebenarya juga naksir, tapi sebagai seorang muslim yang ngerti halal dan haram, maka Boy nggak melampiaskan rasa tertariknya pada Vivi dengan memacarinya, berbeda dengan Erik, dan belum tentu juga Vivi suka pada Boy ataupun erik.

Karena penasaran, Erik mendekati telepon neneknya. Masih dengan ragu-ragu jarinya menekan tombol telepon. Cukup lama Erik menanti telepon di seberang diangkat. "Hallo?, bisa bicara dengan Vivi?" Erik mulai pembicaraanya. "Saya sendiri, Ini siapa ya?" tanya Vivi di seberang. "Erik, ini Erik" sahut Erik. "Erik?Kak Erik Sugama?" tanya Vivi.

"Iya," Erik meyakinkan Vivi, yang diyakinkan malah terdiam. "Eh .. Vi, gue mau minta maaf. Gue lama nggak ngontak en maen lagi ke rumahmu, maklum banyak urusan" Erik mulai
Berdiplomasi. "Eng ..nggak apa-apa, emangnya sekarang ada perlu apa?" tanya Vivi. "Vi.. gimana kalo sabtu sore kita ke Rose Kafe?" Erik harap-harap cemas kalo Vivi menolak ajakannya. "Memangnya ada perlu apa sih?, kalo cuman mau minum kopi kan bisa di rumah Vivi?" tanya Vivi curiga.

"eee..Ada yang penting en kayaknya perlu serius deh. Lagian kan asyik kalau kita sore-sore maen ke sana. Kata anak-anak croissantnya enak lho, eh, kamu nggak lagi diet kan?" Erik mulai mengeluarkan jurus play boy-nya.

"Bukan soal diet sih, cuman penting banget nggak?" vivi masih curiga. "Penting dong" jawab Erik. "Harus?" tanya balik Vivi. "Harus!" kejar Erik. Hening, Erik ikutan diam, menunggu jawaban Vivi. "Ya udah, tunggu ajam empat sore ya?"
Akhirnya pekik Erik dalam hati. Yes you give me a big chance, God. "Ok, jam 4 sore en jangan lupa tunggu disana" sambar Erik cepat, Telepon Vivi ditutup. Klik
Jam 4 sore, Erik sudah duduk di kafe Ros. Kaos hijau Ocean Pacific dipadu dengan jins biru. segelas kopi krim sudah ada diatas meja. Jam 4 lewat lima menit Vivi muncul dari dalam taksi. What a beauty! puji Erik dalam hati. Bener-bener sekuntum bunga mawar merah. Erik melambaikan tangan, saat Vivi mendekati Erik menarik kursi untuk tempat duduk Vivi.

"Mau makan dan minum apa?" tanya Erik setelah Vivi duduk. Yang ditanya sibuk membuka daftar menu. "Pisang bakar keju, sama kopi krim" jawabnya. Pelayan yang berdiri di dekat Vivi segera pergi menyiapkan makanan. "Setengah porsi aja?" pesen Vivi lagi.
"Erik mau bicara apa sama Vivi?" tanya Vivi. Erik terkejut juga, jarang nih cewek berani mulai bicara pikirnya. "Nanti aja deh beres makan" jawab Erik bak gentlemen.
"Begini, Vi" kata Erik lembut, "Sebenarnya dari dulu, sejak pertama kali liat Vivi, Erik langsung suka sama Vivi, jadi Erik mau minta jawaban jujur dari Vivi" Suara lembut Erik terputus. "Mau nggak Vivi jadi pacar Erik?" sambungnya.

Vivi terdiam. Erik membuka lebar-lebar telinganya buat ngedengerin jawaban Vivi. Vivi menggeser tempat duduknya. "Vivi .."suara lembut khas Vivi akirnya keluar, terbata-bata. "Vivi... sebenarnya" Vivi masih ragu untuk ngejawab sementara Erik still waiting dengan cemas.

"Vivi sebenarnya nggak nyangka dan nggak mau kalau hubungan baik Vivi dan Kak Erik ... disalah artikan sebagai pacaran oleh Kak Erik. Sekarang ini ...Vivi nggak mau pacaran dulu. Dengan siapapun..." sambung Vivi pelan dan dengan putus-putus.

"Vivi ... minta maaf ... kalo jawaban Vivi menyinggung perasaan Kak Erik, bagaimana kalo sekarang kita berteman aja?" pintanya polos. Erik terhenyak ke sandaran kursi. Tak disangka ada juga gadis yang menolaknya, dan gadis itu adalah yang setengah mati diinginkannya. Erik terkesima dengan jawaban Vivi. Matanya setengah tak percaya kalau gadis dihadapannya adalah Vivi yang baru aja menolaknya. Ah, semoga kupingnya budeg dan salah denger. But its true!
Vivi jadi serba salah dipandangnya Erik dengan tatapan kosong. Beberapa menit mereka berdua terdiam.

"Vivi .. pamitan dulu, sudah mau maghrib, Mama pasti nyariin Vivi" akhirnya vivi memberanikan diri bicara. Gadis itu bangun sambil menyeka matanya yang basuh dengan sapu tangan merah jambu, berjalan menuju ke kasir, membayar ongkos makan mereka berdua, lalu pergi keluar dengan taksi biru.

Erik masih terduduk di kafe yang mulai rame di kungjungi remaja-remaja yang membawa pasangannya masing-masing. Lagu Ordiniry Love menggema dengan pilu dari sudut kafe. "This is not your ordinary, your ordinary love, I was not prepare enough to fall so deep in love.

Erik termangu sendiri di dalam kafe larut dalam kesedihannya.
Lima tahun kemudian. Boy sibuk menyiapkan kamar kosnya yang bakal dipake tempat pengajian. Hari itu dia harus sudah mulai membimbing adik-adik kelasnya untuk jadi aktivis Islam di kampusnya. Terpaksa kamar yang biasa berantakan dirapikan. Diktat, kertas-kertas, coretan, buku-buku agama disimpan rapi di rak. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sehelai foto yang jatuh dari buku agamanya. Foto dia dengan Erik di Pengandaran, sewaktu liburan SMP.

Dia jadi ingat Erik yang hampir lima tahun belum bertemu, semenjak perkelahian itu, Erik diminta agar sekolahnya pindah ke Surabaya, di rumah bibinya. Dan Erik belum pernah bertemu lagi dengan Boy, setiap Boy ke Surabaya, Erik menghindar dengan menginap di rumah temannya.

Begitu pula setiap Erik pulang ke Jakarta, selalu tidur di rumah Nenek. Boy hanya tahu dari mama kalo prestasi sekolah Erik, ancur-ancuran, untungya dia masih bisa kuliah. Terakhir mama cerita kalau Erik bekerja dan akan menikah dengan teman kerjanya. Tak terasa Boy meneteskan air mata mengingat masa-masa mereka yang manis waktu SMP, sampe akhirnya mereka bertemu Vivi. Tapi mereka berpisah bukan karena Vivi, tapi karena kebodohan dirinya dan Erik. Meraka hanya anak-anak SMA yang berandal.

Dug, dug dug, pintu kamar kostnya diketuk dari luar.
"Boy, ada surat nih" teriak teman kosnya, boy menyeka air matanya sebelum membuka pintu. "Jazakallah khairan" katanya sambil buru-buru ngambil surat itu dan cepet nutup pintu takut ketahuan nangis.

Ada dua surat di tangannya. Surat undangan berwarna biru dan merah jambu. Yang pertama dibuka: undangan pernikahan dari Erik. Boy nyaris jejeritan kesenangan, Erik menikah dan mengundangnya, ternyata dia tidak melupakan adiknya.

Giliran surat kedua dibuka, dia menahan nafas membuka surat itu, undangan pernikahan Vivi Erningpraja. Boy tersenyum, tidak lagi panas kepala seperti dulu. Alloh jualah yang menentukan segalanya. Erik dengan gadis lain dan Vivi dengan pria lain. Surat itu disimpannya baik baik. Surat dari orang yang masih dan pernah dicintainya dan ternyata tidak pernah melupakan dirinya. Erik dan Vivi, aku akan datang ke pernikahan kalian, Boy janji pada diri sendiri. Tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi cemburu.

Gorden kamarnya dibuka, Boy ingin menatap langit malam itu. Langit masih biru dan malam mulai gelap, tapi semuanya indah dalam pandanganya yang kini semakin dibukakan oleh Allah. (Iwan)
(Disarikan dari Permata 24/V Desember 1997\}[islamuda.com]

















Pagi-pagi Ogi udah dengerin jeritannya Axl Rose yang sendu lewat "Since I Don't Have You" dalam album Spaghetti Incident-nya Guns 'N Roses. Hari benar-benar masih pagi. Hal yang tak lazim bagi anak semanis Ogi untuk mendengarkan 'ceramahnya' para pengusung musik heavy metal itu. Lantunan syair yang dibawakan Axl Roses dan kelompok Bedil Karo Kembang-nya ibarat doa-doa indah yang manjur dalam telinga Ogi. Tak terasa bibirnya mengikuti bait-bait lagu itu. "I don't have anything. And I don't have hopes and dreams. I don't have anything. Since I don't have you..." Enak didengar? Lumayan. Maklum mantan vokalis grup band. Jadi nyetel aja ngikutin tembang kayak begituan mah.
Namun, omong-omong, kenapa Ogi bisa begitu sentimentil? Jangan-jangan ada udang di balik bakwan nih. Soal, nggak biasanya begitu sedih. Ogi masih menggenggam secarik kertas putih yang sudah belepotan dengan tulisan tangan yang rapi. Surat yang ia dapatkan dari pengurus rohis dua hari yang lalu.

Sesekali ia membaca surat itu. Surat yang ternyata membuat gemuruh di dadanya semakin kencang dan tak tertahankan. Tersenyum, tapi lantas wajahnya tak bisa disembunyikan dari rasa kecewa.

"Jadi juga kamu pergi, Leony!" Ogi setengah bergumam. Lalu ia menyandarkan kepalanya pada lipatan kedua tangannya. Ia berbaring di kasur. Kupingnya tetap mendengarkan jeritan sindennya kelompok Bedil Karo Kembang, Axl Rose membawakan Since I Don't have You. Weleh, weleh. Ternyata surat yang ada dalam genggaman Ogi adalah surat dari Leony. Tapi, kok kenapa bikin Ogi jadi begitu? Ada yang aneh dalam suratnya Leony?


Ya, Leony ternyata harus kembali mengembara mengikuti tugas bapaknya ke luar jawa. Maklum, karir bapaknya sedang naik. Itu pun katanya sebagai syarat untuk promosi jabatannya. Leony terpaksa harus ikut, karena konon bapaknya nggak tega kalo anak perempuan semata wayangnya harus ditinggalin di Jakarta sendirian. \par
Tapi apa hubungannya dengan Ogi? Bukankah surat tersebut adalah surat kepada semua anggota rohis sebagai ucapan perpisahan karena nggak bisa berjuang bersama dalam waktu dan tempat yang sama? Dan surat itu kan surat biasa, ungkapan dari seseorang yang tidak hanya menganggap anak-anak rohis sebagai bilangan, tetapi juga diperhitungkan. Jadi, wajar kan kalo curahan hatinya dituangkan dalam surat kepada rekan-rekan seperjuangannya. Kedengarannya memang heroik dan bahkan romantis. Itu lah isi surat Leony kepada rekan-rekannya yang aktif di rohis.

"Kamu belum tahu apa yang sebenarnya ada di hatiku," Ogi kembali ngomong sendiri. "Hari-hari yang indah bersamamu, meski tak pernah mengungkapkan kata cinta, sangat membekas dalam diriku, Leony. Sepertinya terlalu manis untuk dilupakan. Aku membutuhkanmu, justeru di saat aku melupakanmu" ucapnya pelan. "Sebenarnya aku mencintaimu. Namun, kamu belum mendengar kata itu diucapkan dari bibirku," Ogi seolah menyesal. O, itu toh yang membuat Ogi jadi murung, dan mukanya tampak masam, persis nasi uduk yang udah nggak dimakan selama empat hari? Masam banget! Ternyata Ogi diam-diam mencintai Leony
Hari minggu yang cerah.


Matahari sebenarnya sudah mulai beranjak dari kaki langit. Mulai merayap seiring dengan berubahnya waktu. Sinarnya begitu hangat untuk mengusir embun yang sejak malam tadi menggelayut di dedaunan. Betul-betul suasana yang menyenangkan. Namun tidak untuk Ogi. Ogi kemudian menatap VCD yang ada di hadapannya. Sebuah film romantis, namun tragis, Message in a Bottle yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Nicholas Sparks. Ia tersenyum sendiri. "Ah, kadang-kadang memang kita harus menjalani hidup seperti dalam sebuah film. Ternyata cinta tak selamanya harus berakhir bahagia."
Aksi diamnya Ogi itu tak ada yang memprotes, soalnya papa dan mamanya sedang ke luar kota. Kalo pembantunya, Bi Iyam, nggak bakalan berani mengusik posisinya. Ogi benar-benar jadi pemuda melankolis pagi ini.

Senin pagi yang cerah. Dan hari pertama Leony resmi meninggalkan anak-anak rohis SMU Jingga. Kegalauan dalam hati Ogi semakin menjadi-jadi, ketika ia melewati tempat bersejarah saat ia harus berlama-lama ngerumpi bareng Jamil soal Leony. Sebuah bangku di sisi taman sebelah utara, yang biasa dipakai Ogi dan Jamil untuk ngetem sambil ngerumpi.

Ia duduk sendiri. Wajahnya menatap kosong pohon kembang kertas yang mulai tumbuh subur. Ogi belum bisa menghapus bayangan indah tentang Leony. \par
"Gi!" suara jelek yang sangat akrab di telinganya membuyarkan lamunan Ogi. "Mil, bilang salam dulu, kek. Bikin kaget aku aja!" Ogi setengah protes pada sahabat karibnya. "Sori. Sori. Kalo aku ternyata membuatmu terkaget-kaget. Tenang sobat!" Jamil menenangkan suasana. "Eh, Gi. Kayaknya enak juga nih kalo dengerin lagu ini. Cocok buat kamu!" Jamil menyodorkan walkman nyentriknya pada Ogi."Tumben kamu Mil, pake membawa-bawa benda keramat ini.

Ngomong-ngomong sumbunya udah dipasang belum nih?" Ogi malah ngeguyonin."Enak aja, emangnya kompor?" Jamil mendelik. Ogi segera menekan tombol play walkman-nya Jamil. Tapi sebentar kemudian Ogi melepaskan earphone-nya.

"Wah, kamu ngeledek, ya? Makin membuat aku terlena dong? Kamu tahu aja suasana hatiku. Pantesnya lagu Tommy Page ini dengernya malam-malam. Supaya bisa curhat." Ogi mengomentari lagu Shoulder to Cry On-nya Tommy Page di kaset Jamil. "Tuh, kan. Benar juga tebakanku. Pasti kamu lagi mikirin Leony. Terang saja selama ini kamu kan sniper ulung, cuma sayang belum teruji, karena belum pernah melepaskan tembakan jitu ke dalam relung hatinya. Baru sebatas ngincer doang!" Jamil tetap menggoda sambil tertawa terkekeh.
"Hush, sembarangan! Jangan kenceng-kenceng, Mil!" Ogi mendelik. Lalu sejenak kemudian, keduanya tertawa lebar sambil tunjuk-tunjuk hidung. \par
***
Kata orang, cinta itu memang indah. Cinta adalah energi yang mampu memberikan kekuatan yang dahsyat. Dalam tataran cinta antar lawan jenis, sering kali cinta membuat pelakunya tertawa sekaligus menangis. Cinta memang unik. Datang tanpa diundang dan pergi pun tanpa diminta. Tiba-tiba ada dan mengalir dalam jiwa. Kita pun hanyut dalam menikmatinya. Makanya nggak salah-salah amat kalau akhirnya Ebiet G. Ade, seniman yang puisinya sering dimusikalisasi ini bertanya: "Apakah ada bedanya, saat kita bertemu dengan saat kita berpisah?" Jawabnya, masih dalam lagu yang sama, sama-sama nikmat! Percaya atu tidak, terserah.

Kalau api cinta sudah membara kadang kala sulit untuk dipadamkan. Sam yang diperankan Tom Hanks yang begitu kesepian gara-gara ditinggal mati oleh istri tercintanya, mendadak jatuh hati kepada seorang wanita cantik dan keibuan yang berhasil diperankan dengan mantap oleh Meg Ryan dalam film Sleepless In Seattle. Munculnya pun sederhana saja. Anaknya Sam menelepon sebuah stasiun radio yang sedang menyiarkan acara semacam dari hati ke hati.

Si anak mengungkapkan bahwa ayahnya tak pernah bisa tidur sejak ditinggal mati ibunya. Tanpa sengaja, seorang wanita yang berhati lembut yang diperankan dengan cantik oleh Meg Ryan juga sedang mendengarkan siaran radio tersebut di mobilnya. Ia terenyuh dengan omongan si anak itu. Akhirnya ia mencari. Bertemu dan happy ending.
Pun cinta kadangkala tumbuh hanya karena merasa iba dengan curahan hati seseorang. Seperti Robin Wright Penn yang memerankan Theresa Osborne. Ia yang kesepian akibat perceraian kemudian jatuh cinta gara-gara menemukan sebuah botol yang terapung-apung di pantai. Setelah diambil, ia membuka botol dan didapatinya secarik kertas bertuliskan curahan hati seorang pria dengan begitu romantis--karena ditinggal mati istrinya--di botol itu hanya tertulis inisial "G". Yang belakangan ketahuan bahwa pria itu adalah Garret Blake yang diperankan dengan matang oleh Kevin Costner dalam film Message in a Bottle.

Ogi juga sedang dilanda kegalauan hati gara-gara sang dewi pujaan meninggalkan dirinya dan semua rekan-rekan rohis di sekolahnya, untuk pindah ke luar jawa. Yang, entah kapan bisa bertemu kembali. Sangat sulit bagi Ogi untuk membayangkan perpisahan itu. Maklum, ia punya kisah kasih, meski Leony sendiri mungkin tak pernah merasakannya. Tentu saja karena Ogi belum memberikan harapan pada Leony tentang keinginannya. Namun Ogi tetap merasa bahwa jiwanya hampa. Ogi merasa sudah kehilangan harapan dan mimpi sejak Leony pergi. I Don't Have Anything, since I don't have you, begitu katanya. Duh, betapa sentimentilnya Ogi. Love is Blind kata Tiffany. Ya, wajar, anak seumuran Ogi masih pantas untuk menilai cinta dari sudut egonya
Jamil sang sohib sempat dibikin pusing dengan tingkah Ogi yang nggak biasanya. Ogi jadi pemurung. Ibarat pemain sepakbola yang tak punya mental juara, baru kemasukan satu gol saja sudah pasrah. Ogi benar-benar menjadi tak bergairah.

Ibarat tanaman yang kekurangan air. Lemas dan loyo, meski Jamil selalu memberikan bodoran-bodoran khasnya. "Ah, aku kayaknya badut yang udah nggak lucu lagi," kata Jamil frustasi karena bodorannya nggak mampu membuat teman akrabnya ngakak atau sekadar senyum."Mil, ternyata anak pengajian juga bisa sakit hati, ya?" Ogi setengah nggak percaya."He..he.. lha iya. Namanya juga manusia. Pasti dong punya perasaan. Gimana sih kamu ini? Wajar, Gi!" Jamil ngeledekin. "Berarti wajar juga kan kalo aku begini?" Ogi mengajukan pembelaan.

"Lho, wajar sih wajar, tapi jangan keterusan sentimentil begitu," Jamil kali ini rada serius. "Kamu menuduh aku frustasi?" Ogi menuding Jamil."Kok, kamu jadi perasa banget, Gi?" Jamil heran. "Memangnya nggak boleh, kalau aku mencintai seseorang?" Ogi malah ngelantur. "Boleh-boleh saja. Itu hak kamu. Tapi kita juga mesti tahu diri, bahwa cinta jangan sampai mematikan akal sehat kita," Jamil kembali nasihatin Ogi. "Tapi, Mil.." Ogi memotong. "Tapi apa? Tapi aku nggak bisa melupakan begitu saja soal Leony. Itu kan yang akan kamu katakan?" Jamil menekan. "Mil, kamu kok bukannya memberikan solusi. Malah memojokkan aku, sih?" Ogi bingung."Justru aku memberikan yang terbaik buat kamu," Jamil nggak bisa nahan kekesalannya. \par
Kali ini dua sahabat itu terlihat tegang.

"Ah.. bilang saja bahwa kamu juga mencintai Leony. Iya kan? Dan kamu berusaha memalingkan aku tentang Leony, supaya kamu bisa mengejar Leony dengan bebas. Begitu kan?" Ogi malah tambah ngaco. "Gi, kamu sadar nggak sih dengan apa yang kamu katakan?" Jamil melotot. Ogi tertegun, ia menelan ludah. Matanya berkaca-kaca. Matanya menatap kosong pohon kembang kertas yang bunganya mulai berjatuhan ditiup angin. Pikirannya menerawang menembus mega-mega. Menembus dimensi ruang dan waktu.

"Gi, kamu memang punya hak untuk mencintai siapa saja, termasuk Leony. Tapi ingat bahwa Leony pun punya hak untuk mencintai siapapun yang dia inginkan. Lagi pula kamu ini aneh. Belum mengungkapkan kok sudah menganggap memiliki Leony. Kamu hanya mengejar bayangan, Gi. Bukan diri Leony!" Jamil kembali nasihatin Ogi."Tapi ini hanya soal waktu, Mil! Its a matter of time!" Ogi berargumen."Gi, kamu jangan menipu dirimu. Jangan-jangan kamu hanya bertepuk sebelah tangan.

Cinta itu harus diekspresikan. Harus diwujudkan dalam tingkah laku. Percuma saja kamu menyatakan cinta, namun tak diwujudkan dalam tindakan nyata. Cinta itu butuh pengorbanan, Gi. Cinta itu perjuangan!" Jamil panjang lebar.
"Jadi, kamu menganggap bahwa aku belum berjuang?" Ogi menatap lekat wajah sahabatnya itu. "Belum! Kamu belum bisa dikatakan telah berjuang. Kalo sudah berjuang pasti akan berani berkorban dan menghadapi kenyataan," "Tapi..." Ogi nggak ngelanjutin bicaranya."Tapi aku belum berani mengatakannya. Itu kan yang akan kamu sampaikan?" Jamil memotong. "Mil, tolonglah. Jangan kamu menambah beban," Ogi memelas.
"Gi, kamu nggak pantas melakukan ini.

Aku tahu betul gimana kamu. Aku ngerti suasana hati kamu. Aku berusaha empati terhadapmu. Tapi, tolong kamu jangan bermain dengan perasaan-perasaan yang cengeng dan konyol seperti itu. Aku berusaha untuk menolongmu. Asalkan kamu juga mau menolong dirimu sendiri," "Maksudmu?" "Aku tahu, masalah ini hanya aku dan kamu yang tahu. Aku sahabatmu, Gi. Aku nggak rela bila sohib sejak masa jahiliyah sampai udah hijrah ini harus menderita dan selalu menguber bayangan yang tak pasti. Lagi pula perjalanan kita masih panjang. Masih muda usia. Perjuangan dakwah juga masih memerlukan orang-orang seperti kita. Kita jangan hanyut dalam perasaan-perasaan yang justeru akan membuat kewajiban kita tak terlaksana.

Anggap ini sebagai ujian dari Allah. Toh kembang tak hanya setaman, kan? Lagi pula cinta kepada Allah jauh lebih tinggi nilainya," Jamil panjang lebar meyakinkan Ogi. Ogi kembali tertegun. Ia melihat ke langit. Matanya asyik menatap sekawanan burung yang terbang gesit. Licah seperti tak memiliki beban.

"Gi, kamu bisa kirim surat dan mengatakan terus terang kepadanya," Jamil menyadarkan lamunan Ogi. "Aku belum berani!" "Ya, sudah lupakan!" "Tidak bisa, Mil!" Ogi ngotot.
"Jangan egois. Kamu bisa melupakannya ketika ada bunga lain yang mampu mencairkan dinding es yang kamu bangun. Aku yakin bahwa suatu saat seiring dengan perubahan waktu, kamu bisa melupakan Leony. Dan yang terpenting, kamu kan belum tahu tentang Leony. Siapa tahu ia malah memimpikan bersanding dengan Arya atau Koko atau arjuna lain di rohis ini. Atau malah ia sudah berencana dengan teman lamanya ketika di Bandung. Kita nggak tahu kan? Karena dalamnya lautan masih bisa diselami.

Tapi dalamnya hati manusia, nggak ada yang tahu kecuali Allah. Iya nggak?" Jamil nyeramahin Ogi.

"Tapi aku belum menemukan yang lebih dari dia.." "Bohong! Kamu sendiri pernah mengatakan kepadaku, bahwa Rosa adalah pilihan kedua kamu!" Jamil kembali memotong. Ogi tertegun. Ia bahkan tersentak. Ogi menatap lekat wajah Jamil seolah tak ingin melepaskannya. Dan Jamil pun balas menatap tajam wajah Ogi. "Gi, kamu pernah bicara bahwa kamu mencintai Rosa. Hanya saja kamu belum berani mengatakannya. Dan keburu datang Leony yang ternyata bayangannya mampu mengalahkan pikiran-pikiranmu tentang Rosa," Jamil nyerocos. "Sudah. Sudah Mil, kita pulang saja! Waktu sudah sore. Sekolahan sudah sepi," Ogi bangkit. \par
Jamil menjawab dengan mengangkat kedua bahunya. Akhirnya dua makhluk itu beranjak meninggalkan taman sekolah yang sejak selesai sholat dhuhur mereka tempati.

"Mil, boleh nggak sih aku mengkhitbah seseorang saat ini?" Ogi ingin keyakinan. "Eh, nggak boleh!" suara Jamil di ujung telepon. "Lho, kok nggak boleh?" Ogi heran."Iya, nggak boleh malah haram kalau yang kamu khitbah adalah aku," Jamil cengengesan. "Dasar!" Ogi nahan ketawa. "Boleh-boleh aja. Asal kamu serius mau menikahinya," Jamil meyakinkan. "Ya, aku mau menikahinya. Tapi nanti setelah kuliah. Kamu mau bantu?" "Huu....masih lama dong!" "Tapi kan ini proses, Mil!" Ogi beralasan. "Iya. Tapi kelamaan!""Aku serius, Mil!" Ogi ngotot. "Bene serius, nih?" Jamil setengah nggak percaya."Mengapa tidak?" Ogi nantang. "Leony?" Jamil pendek.

"Tidak. Tekadku sudah bulat: Harus melupakan Leony!" Ogi bertekad sambil menirukan slogan salah satu parpol peserta pemilu."Wah, hebat kamu, Gi. Aku nggak sedang bermimpi, kan. Dan aku nggak salah dengar, kan?" Jamil seolah nggak percaya dengan keputusan sohibnya yang tiba-tiba. "Kamu nggak mimpi, Mil. Bayangan Leony ingin kuhapus agar tak pernah menghantui kehidupanku. Mil, kadangkala kita harus mengubur segala keinginan. Keinginan yang tak tertahankan sekalipun. Aku sadar, bahwa tak selamanya hidup ini bisa memilih, kadangkala harus menerima apa adanya. Meski pedih sekalipun." Ogi panjang lebar. "Alhamdulillah!" Jamil bersyukur.

"Terima kasih, Mil. Kamu telah mampu membuka pikiranku tentang hidup, semalaman aku nggak bisa tidur memikirkan dia dan nasihat-nasihat kamu." "Dia, siapa? Jamil mengejar. "Ya, Rosa dan Leony. Siapa lagi?" Ogi tertawa. "Jadi kamu memilih Rosa?" Jamil meyakinkan tebakannya."Begitulah!" Ogi memantapkan."Mil. Halo, halo?" "Ya, aku masih ada di sini, Gi!" "Kenapa kamu diam? "Nggak, cuma kaget aja," Jamil beralasan."Ya, udah. Kalau begitu tolong ya, sampaikan sama Rosa!" "Hah? Aku?" Jamil keselek. "Lho, kenapa tidak? Kamu kan sohibku." Ogi kaget.

"Iya, iya. Aku siap bantu kamu, Gi!" Jamil sedikit grogi. "Aku tunggu kabar baiknya ya, Mil. Yuk Assalamu'alaikum!" Ogi nutup pembicaraan via teleponnya. "Ya, wa'alaikumsalam. Klik!"
***
Ogi deg-degan menunggu kabar itu dari Jamil. Ogi sudah bulat untuk mengkhitbah Rosa dan berencana menikahinya setelah lulus sekolah nanti, sambil kuliah. Ya, paling tidak setahun lagi. Ia berpikir mudah-mudahan bisa menjaga hubungannya sesuai syariat Islam bila sampai jadi dengan Rosa. Ogi menunggu Jamil di taman sebelah utara yang biasa dipakai mangkal kalau lagi santai.

Lama juga menunggu Jamil. Ogi gelisah. Maklum Jamil akan membawa keputusan paling bersejarah dalam hidupnya. Matanya menatap kembang-kembang kertas. Kadang-kadang berkelebat bayangan Leony. Tapi Ogi berusaha keras untuk menepisnya. "Gi! Melamun aja kamu!" "Eh, kamu Mil. Ngucapin salam kenapa sih? Bikin kaget orang saja." Ogi setengah kesal. "Gimana, berhasil?" Ogi nggak sabar. "Sabar kawan!" "Ayo dong, Mil!" Ogi makin deg-degan. "Gi, kamu benar-benar mau melupakan Leony?" Jamil pelan. "Kok, kamu bertanya itu lagi sih?" Ogi heran. "Baca ini!" Jamil menyodorkan surat dari Rosa. "Maksudmu, apa?" "Sudah, baca saja!" Jamil bikin penasaran Ogi. Ogi buru-buru membuka lalu membacanya.

"Yang terhormat, Saudaraku, Ogi Assalamu'alaikum wr. Wb. Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita semua, Nabi Muhammad saw. keluarga, sahabat dan umatnya yang setia meneladani beliau dalam seluruh aspek kehidupannya. Amin.

Langsung saja. Terus terang Aku kaget dengan ungkapan hatimu yang disampaikan Jamil. Aku sangat berterima kasih atas niat baikmu terhadapku. Aku merasa mendapat sesuatu yang sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Sulit diterjemahkan dalam sebuah rangkaian tulisan. Ogi, Aku sangat gembira mendengar niatanmu. Dan Aku pun sangat ingin untuk bisa memenuhi itu. Namun, Aku harap kamu juga mau mengerti perasaan wanita. Kaget, ya? Jadi, begini. Sebagai seorang wanita Aku sendiri sering merasa kesulitan bila harus menyakiti hati orang lain, apalagi teman sendiri. Kamu kenal Leony kan? Ia telah mengungkapkan isi hatinya kepadaku, bahwa ia berharap bisa hidup berdampingan denganmu di masa yang akan datang."

Glek! Ogi kaget setengah hidup. "Kenapa Gi?" Jamil heran. Tapi Ogi tak menghiraukan pertanyaan Jamil. Ogi kembali melanjutkan dengan hati makin deg-degan. Kali ini Jamil pun ikutan baca. "Ya, Leony sangat mencintaimu. Ia hanya berani mengungkapkan kepadaku. Tentu saja, karena perempuan tak seberani pria dalam mengungkapkan perasaannya. Lagi pula, aneh bila wanita duluan yang harus mengungkapkan perasaannya pada pria. Jadi, Aku juga tak ingin membuatnya menderita. Meski Aku sendiri sebenarnya bahagia menerima pinanganmu. Tapi menurutmu, kalau cinta harus memilih, pilihlah Leony. Ia berhak merasakan kebahagiaan itu.

Dari ufuk timur semburat merah mulai merayap naik dari balik gumpalan awan yang gelap. Suasana pagi itu masih diselimuti kabut dingin karena hujan baru reda beberapa saat. Hawa dingin masuk ke sel kami melalui celah diantara jeruji besi yang kokoh. Hawanya masih terasa menusuk tulang sumsumku. Ruangan berukuran 4 x 6 meter persegi yang kami tempati makin pengap dengan aroma lantainya yang lembab.

Sayup-sayup terdengar azan subuh dari mushola Lembaga Anak Nakal Tangerang.
"Daeng, bangun Daeng" suara Maman mengusik mimpiku.
"Jam berapa sekarang?" sahutku, seraya tanganku mengucek kedua belah mataku. "Kurang lebih setengah lima, Daeng" jawabnya. "Ayo sholat dulu" ajaknya.
Segera aku bangkit dari tidurku, lalu kulipat kembali tikar plastik pemberian kakakku sebagai alas tidur yang sudah kelihatan lusuh. Bergegas aku menuju kamar mandi lalu berwudhu dan begerak bersama kawan lain ke mushola untuk menghadap Sang Pencipta.
Sebagian besar teman-teman di lembaga ini memanggilku Daeng, sebutan anak asli Bugis, Makasar. Padahal nama asliku Syarifudin. Katanya sih panggilan itu lebih gagah, aku sih terserah mereka saja.

Hari ini adalah genap dua tahun aku menghuni Lembaga Anak Nakal, ini setelah suatu peristiwa tragis yang tak mungkin kulupakan dan telah menyeret diriku sebagai salah satu penghuni tempat ini.

Aku terpaksa pindah ke Jakarta dari daerahku untuk mengikuti kakakku yang berprofesi sebagai pedagang. Aku terpaksa ikut karena tinggal dialah angota keluargaku sepeninggal ayah dan ibuku karena suatu kecelakaan yang merenggut nyawanya. Semenjak aku ikut kakakku, aku bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padaku untuk melanjutkan sekolah atas biayanya.


Hari-hari pertamaku di SMA Bhineka agak merepotkanku. Ini karena bahasa daerahku yang masih kental. Maka tak jarang yang aku ucapkan kurang begitu dimengerti oleh kawan-kawanku.

Tetapi mereka cukup memaklumi dengan keadaanku. Maka tak heran kalau mereak jarang mengajakku bersendaru gurau, habis kadang suatu pembicaraan dianggapnya lucu tapi aku sendiri tidak merasa lucu.

Tapi bagaimanapun suka atau tidak suka aku tetap harus mengikuti kedaan karean aku berada di lingkungan orang lain yang notabene mereka akan menjadi kawanku kelak. Tinggal bagaimana aku menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut.

Suasana istirahat hari itu sangat riuh dengan berbagai tingkah laku anak-anak kelasku. Aku yang masih berstatus anak baru masih belum berani bergaul dengan yang lainnya, makanya aku cuma banyak bediam diri di kelas sambil memperhatikan tingkah laku mereka.
"Din, kamu lagi ngapain?" suara Ani sedikit menggetkanku. Ani adalah sahabatku yang pertama di SMA ini, dia pula yang pertama kali menawarkan tempat duduk buatku pada hari pertamku.

"Lagi duduk-duduk saja" sahutku seraya mempersilakan duduk. "Kok kamu nggak ikut gabung sama mereka?" tanya lagi, sesekali tangannya sibuk menyibakkan rambutnya yang selalu jatuh tergurai menutup wajahnya yang manis.
"Aku belum biasa dengan mereka, lagipula aku takut nanti cuma menggangu saja" sahutku perlahan.

Aku memang ingin juga bergaul dengan yang lainnya cuma sebagai anak baru harus tahu dirilah. Cuma Ani saja yang kadang mengajakku ngobrol, ngobrol apa saja, yaa tentang kehidupanku di Makasar, tentang lingkungan baruku dan macam-macam lagi. Namun kedekatanku dengan Ani dianggap lain oleh Rudi, kawan kelasku yang kabarnya dia naksir berat sama Ani, namun belum kesampaian. Habis Ani nya sendiri cuek bebek sama Rudi.

Sejak hari pertama aku masuk, aku sudah memperhatikan Rudi. Dia sepertinya termasuk siswa yang sedikit urakan, dari penampilannya yang gondrong dan tindikan anting di telinga kanannya. Khabarnya dia dari keluarga broken home. Ayah dan ibunya sudah lama bercerai dan kini ia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya.

Suatu ketika aku kebetulan aku lagi sendiri di kelas saat istirahat, tiba-tiba Rudi dan dua temannya masuk dan menghampiriku. Tanpa permisi sedikitpun dia langsung duduk di mejaku dan meletakkan kakinya di atas kursiku. Aku yang melihatnya sedikit gerah dengan sikapnya itu tapi aku coba untuk bersabar.

"Gua liat lu kayaknya suka sama Ani, ya?" tanyanya dengan logat Jakarta seraya tangannya memainkan sebatang rokok.
"Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Ani" jawabku tegas. "Kagak ada hubungan gimane?"sergahnya.
"Udah ngaku aja, kalau elu emang suka sama Ani!" cerocosnya dengan nada yang makin tinggi. Matanya yang tinggal segaris sedikit dipaksakan untuk memelototiku.
Aku yang melihat perubahan pada omongannya sedikit terpancing emosi, segera aku berdiri dari tempatku. Kutatap matanya dengan tatapan yang tajam. Tanganku menegapal erat hendak menghajar mulutnya yang congak.

Namun belum sempat hal itu terjadi tiba-tiba bel berbunyi. Anak-anak segera berhamburan masuk ke dalam kelas. Bersamaan dengan itu Rudi dan temannya ikut bergerak meninggalkanku, namun dengan sedikit ancaman.

"Kalau lu masu dekat-dekat sama Ani, awas!!! ancamnya sambil mengacungkan tinjunya ke arahku. Ani yang kebetulan masuk terakhir sempat melihat kejadian itu mulai mengorek keterangan dariku setelah dia sudah duduk di sampingku.
"Mau ngapain dia dekatin kamu?" tanyanya penuh selidik. "Nggak ada apa-apa!" jawabku sangat singkat.

Jawabanku yang sedikit ketus itu membuat Ani diam, dia tak berani ajukan pertanyaan lagi. Wajahku masih memerah dan degup jantungku masih berdetak kencang, sepertinya aku hampir tidak dapat mengendalikan emosiku. Namun secara perlahan aku sudah mulai dapat mengendalikan emosiku. Akupun sadar kalau aku masih anak barudi sekolah ini.
"Aku tak ingin studiku kacau cuma karena masalah sepele" pikirku.

Ani yang melihat perubahan pada diriku kembali mengintograsiku bak maling ayam yang baru ketangkap basah. "Bener kamu nggak ada masalah dengan Rudi?" tanyanya sedikit berbisik, takut kalau-kalau Pak Tobing, guru Fisika ku yang galaknya minta ampun mendengar percakapan kami. Kalau dia sempat dengar ada yang berbisik waktu mata pelajaran dia, jangan heran kalau penghapus kayu itu bisa landing dengan sempurna ke kepala.

"Cuma masalah sepele, kok "
"Sepele gimana?"
Aku cuma terdiam dan tidak menjawab lagi, habis Pak Tobing menoleh ke arahku sedikit curiga setelah dia merasa ada suara seperti tawon kumpul. Ani kelihatan kesal dengan sikapku. Akupun jadi tidak tega melihatnya cemberut.
"Kamu janji tidak marah kalo aku ceritakan masalahnya?" bisikku yang disambut dengan anggukan kepalanya.

Lalu kuceritakan ihwal permasalahannya dari awal sampai akhir. Pelajaran Fisika yang saat itu kami hadapi tidak begitu kami hiraukan. Ani kelihatan antusias sekali.
"Trus tanggapan kamu bagaimana? tanyanya ketika aku mengakhiri ceritaku.
"Tanggapan bagaimana?" aku balik bertanya. "Ya mengenai ancaman itu"
"Kalau itu sih aku tidak terlalu ambil pusing, lagian aku sama kamu memang tidak ada apa-apa, iya khan?"
Ada sedikit perubahan pada wajah Ani ketika aku menjawab pertanyaan itu.
"Dan kalau dia marah lagi, apa urusannya" jawabku sedikit diplomatis.
"Tapi kalau bisa, kamu jangan sampai bentrok fisik sama Rudi, ya? pintanya sedikit berbisik nyaris tak terdengar olehku."'Dia itu anaknya brengsek dan kalau ribut suka bawa teman-temannya, makanya aku khawatir kalau kamu sampai ribut sama dia" pintanya lagi.

"Aku janji untuk tidak melayaninya lagi kok" jawabku untuk mengurangi rasa khawatir pada diri Ani.
Ani tersenyum tatkala aku mengatakannya sebersit senyum manis terpancar dari bibirnya yang mungil. Lesung pipitnya yang aduhai makan menambah manis wajahnya yang memang sudah manis. Aku yang memperhatikannya tidak melewatkan saat-saat itu sampai aku sedikit grogi dan tidak memperhatikan Pak Tobing yang siap melayangkan penghapusnya. Untung saja bel berbunyi dan selamatlah daku.

Waktu terus bergerak laksana roda pedati yang terus berputar. Banyak hal-hal yang baru aku temui sejak aku tinggal di Jakarta, sama halnya dengan kejadian-kejadian yang aku alami di SMA Bhineka.

Tak terasa aku sudah satu bulan menjadi siswa di SMA Bhineka. Hubungaku dengan teman-teman satu kelas sudah mulai dekat meskipun belum begitu akrab. Namun untuk sedikit ngobrol, mereka suka mengajakku, walaupun kadang logat daerahku masih sering muncul.

Ada satu hal yang belum aku bisa lepaskan dari diriku. Yaitu kebiasanku membawa badik. Badik pemberian pamanku tatkala ku hendak meninggalkan kampung halamanku. Katanya sih untuk jaga diri di negeri orang. Akupun sering dinasehati oleh kakakku untuk tidak membawa badik itu.

"Tapi bagaimana dengan pesan paman?" jawabku yang hanya ditanggapi oleh diam seribu bahasa kakakku pada suatu malam selepas kami sholat maghrib.
Ada satu hal lagi yang belum bisa aku selesaikan, yaitu Rudi.Ya, Rudi anak lama yang masih menyimpan dendam amarah padaku. Padahal aku sendiri merasa tidak punya masalah dengannya. Sudah beberapa kali dia berusaha memancing aku untuk duel, cuma aku tanggapi saja dengan dingin.

Dan terkadang kawan lainya ikut melerai, aku pun berusaha untu tidak melayaninya selama kehormatanku tidak diinjak-injak. Namun puncak kesabaranku akhirnya pecah pada suatu pagi tepat pukul 09.15 tatkala Pak Martomo, guru kimia kami tidak bisa mengajar. Ketika aku lagi asyik ngobrol dengan Ani menunggu Faisal sang ketua kelas yang baru mengambil tugas kimia di ruang guru, tiba-tiba saja Rudi masuk ke kelas dengan sedikit sempoyongan.

Aroma alkohol menyebar bersamaan masuknya Rudi ke dalam kelas. Matanya tampak merah akibat kebanyakan minum. Di tangannya tergenggam sebatang pipa besi. Aku dan kawan lainya heran, apa yang akan diperbuatnya.

"Hai banci!" teriaknya sedikit terhuyung seraya pipa itu ditunjukkan ke arahku.
"Kalau lu bukan banci, lawan aku sekarang!" teriaknya lagi dengan sedikit parau. Aku yang merasa ditunjuk jadi emosi. Belum pernah aku dibuat semalu itu di depan umum. Rasa kehormatanku seakan tertohok oleh kata-katanya. Sebagai Putra Bugis pantang bagiku untuk dibuat malu di depan umum.
"Siapa yang banci!" jawabku lantang tidak mau kalah dan berdiri di depannya sambil menatap matanya yang makin sayu karena pengaruh alkohol. Ani dan yang lainya segera menghindar berlarian menuju ruang guru. Namun aku tetap berusaha untuk menjaga emosi jangan sampai aku terpancing olehnya, karena aku memang nggak ada masalah dengannya.
Baru saja aku hendak menarik nafas sebagai cara menenangkan diri, tiba-tiba Rudi mengayunkan pipa besi itu ke arah kepalaku. Segera aku menghindar dan secepat kilat aku meraih sesuatu dari bajuku, dan ....
"Cressss"
Badik pemberian pamanku itupun menancap tepat di dada Rudi. Mulutnya mengerang kesakitan, matanya terbelalak, tangannya memegangi badikku yang telah menancap di dadanya. Darah segar mengalir deras dari dadanya membasahi baju putihnya. Seiring dengan itu ia pun goyah seketika. Kedua kakinya seperti tak kuasa meopang tubuhnya lalu ambruk ke lantai.

Rupanya tusukanku tepat megenai jantungnya. Dia tak begerak sedikitpun. Darah mengalir dari bekas tusukanku. Suasana kelasku jadi kacau, anak perempuan berteriak histeris seakan tidak percaya dengan semua ini. Aku yang barus saja menikamnya berdiri menatap wajah Rudi. Tidak ada lagi keangkuhan lagi di wajahnya. Hilang sudah kesembongannya yang selama ini dia agungkan. Namun tiba-tiba saja ada rasa gejolak yang memberontak dalam relung kalbuku. Ada rasa penyesalan dan rasa kasihan yang timbul, tapi ....
"Daeng lagi ngapain?" suara Maman kembali mengagetkanku dari lamunan masa laluku yang kelam. "Ingat kejadian dual, ya?" tanyanya lagi sambil ikut duduk di sampingku. "Orang seperti Rudi itu memang harus diberi pelajaran biar tidak kurang ajar" ujarnya, sambil mulutnya asyik mengunyah sepotong roti dan tangannya memegang secangkir kopi yang masih hangat.

"Kamu nggak usah pikirkan lagi, lagian kamu kan membela kehormatanmu sebagai orang Bugis" ujarnya lagi lalu menyeruput kopi hangatnya. Nikmat.
"Tapi ....."
"Ala ... sudahlah nggak usah dipikirkan" sahutnya sambil menarik tanganku untuk menikmati saran pagi di ruang makan. Namun bagaimanapun aku tetap menyesali perbuatanku, karena aku telah menghilangkan nyawa seseorang.
Seseorang yang sebenarnya masih ada pertalian darah dengaku, karena Rudi adalah saudara tiriku yang telah lama berpisah denganku sejak bayi. Rudi diasuh oleh ibunya yang hijrah ke Jakarta setelah bercerai dengan ayahku. Rahasia ini aku ketahui setelah kakakku yang menceritakannya padaku setelah aku menghuni lembaga ini.

Tapi penyesalan tinggalah penyesalan. Nasih sudah jadi bubur. Biarlah aku menjalani sisa masa tahanku yang entah berapa lama lagi akan aku selesaikan. Aku berjanji untuk menemui keluarga Rudi selepas masa tahananku untuk meminta maaf akan kesalahanku. Dan harapanku semoga kesalahanku ini dapat dimaafkannya.

Ditulis Oleh : ACI, Jatibening Desember 1996.

Langit tampak kelabu pagi itu dan belum banyak yang datang, ketika Badi memasuki pekarangan kantor Pemda dengan motor bututnya. Seorang lelaki tua sedang sibuk membersihkan lantai. Ia tersenyum ramah dan segera menghampiri Badi begitu mengenalinya.

"Assalamualaikum, Mang Lili " sapa Badi sopan.
"Waalaikumussalam Kang Badi, rajin benar. Sudah janjian sama pak Maman, ya?" Orang yang dimaksud adalah kepala bagian Humas.
"Ya, begitulah, Mang. Belum datang ya?"
“Biasalah, Kang, pejabat mah doyan telat atuh " sahut lelaki tua itu sambil melanjutkan pekerjaannya, tanpa merasa terganggu.
"Kalau mau ngeteh mah ambil saja di belakang, ya Kang "
"Mangga, hatur nuhun, Mang"

Entah sudah berapa lama dia bekerja di sini, tanpa naik jabatannya. Hanya sebagai pegawai rendahan, honorer, gumam Badi. Untuk sesaat ia jadi melamunkan kehidupan getir yang harus dijalani lelaki tua itu tanpa sanak saudara. Tak lama, karena ia pun dibetot kembali pada persoalan dirinya. Kira-kira apa yang akan dikatakannya kepada Pak Maman, kaitannya dengan misinya kali ini? Apakah dia akan berani bilang; "Seperti yang sudah kita bicarakan via telepon itu, Pak "

"Ini berita yang akan kami muat di media Warta Tanah Air besok. Tapi kalau Anda tak setuju, kita deal saja "
Atau langsung sodok saja dengan, "Berapa Anda berani bayar untuk membatalkan berita ini, Pak Maman?"
"Begini, Pak Maman sebaiknya Anda borong seluruh koran kami yang bakal terbit besok!" ya, mestinya begitu saja!
Pak Maman tentu akan menawar, "Berapa tirasnya? Berapa yang harus kami bayar?"
"Yaah, nggak seberapa jika dibandingkan dengan jatuhnya nama baik Pak Bupati.

Proyek fiktif yang kami temukan itu kan dalam bilangan triliun. Hmm, bisa dibayangkan! Bagaimana hebohnya masyarakat kita kalau tahu para pejabat yang selama ini dihormati dan dipercayai, eeh ujung-ujungnya megakoruptor?!"
Tentunya Pak Maman tanpa banyak bicara lagi, demi nama baik sang atasan, terpogoh-pogoh menghubungi bagian keuangan. Urusan dengan Pak Bupati belakangan. Yang penting, selamatkan dulu beliau!

Beberapa bulan terakhir ini dirinya bekerja di koran ecek-ecek. Mulai dari modal, kualitas pengelolanya, wartawan, redaksi yang tugasnya dicampur aduk, sampai soal peras memeras!

Setiap kali rapat wartawan diadakan, Badi akan menerima pembekalan-pembekalan itu. Intinya bagaimana cara mendapatkan aib para pejabat, memeras dan memanfaatkan kelemahannya. Demi meraup keuntungan bersama, begitulah istilah Bang Harap, pemrednya.

"Sudah tahu, Bung, kalau Wakapolsek itu bininya ada dua ?"
"Tahu kan Kang, tambak udang hasil rampasan anggota dewan di desa Burujul itu "
"Ternyata sudah sepuluh tahun Pak Dandim kerja bareng Pak Hakim kelola klub malam "
"Klub malam yang mana?"
"Evergreen, tempat judi dan transaksi narkoba terbesar di kota kita!"
"Waah, enak tuuuh, tinggal teror dan peras saja!"
"Bagaimana, Bung Badi, apa sudah dapat banyak objekan?"
Kemarin Bang Harap melakukan pendekatan pribadi dengannya. Tentu ia ingin tahu, sejauh mana kreativitas dan loyalitasnya pada terhadap koran mereka.
"Belum, Bang " sahut alumni Institut Keagamaan yang nyasar ke dunia persuratkabaran itu.
"Sudah hampir tiga bulan kan kerja bareng kami di sini?"
"Eeh, iya, Bang " Badi mulai gugup dan berkeringat.
"Bung ini kurang berani sih!" untuk beberapa menit lelaki yang mengaku lulusan PTN terkenal di medan itu memberikan pembekalan khusus; kiat dan triknya yang aneh dan nyeleneh. Badi hanya manggut-manggut.
Dalam hatinya, terjadi perang sabil yang luar biasa. Betapa ingin Badi menyatakan ketaksetujuannya dengan politik bisnis yang dijalankan lelaki itu. Namun, betapa kerdil dirinya, karena naluri mulai dikalahkan oleh tuntutan kehidupannya. Ibu yang tua dan sakit-sakitan, lima adik yang harus dibiayainya.
"Seharusnya ini tanggung jawabmu, Bapak! Tetapi, entah ke mana lelaki yang tak bermoral itu!"
Lalu, harus dikemanakan nurani yang halus, sarat moral dan nuansa keagamaan itu? Adakah nurani hanya akan mengapung ke awan, mewarnai langit dengan rona kelabunya?
"Bagaimana, Bung, mengerti apa yang sudah saya katakan?"
"Eng, ya ?" gamang hatinya.
"Giatkan lagi cari berita aktual!" tekannya bernada mengancam.

Kelihatannya Bang Harap kehabisan toleransinya memiliki anak buah tak bernyali. Tak pernah berhasil memberikan kontribusi besar pada korannya. Kalau tak ingat akan jasa Badi menyelamatkan nyawanya pada suatu insiden, di mana dirinya dikeroyok abang-abang becak Bah!

Cari berita aktual, apa bongkar aib seseorang? Di lapangan terbukti, tidak ada kasus apapun kok dicari-cari, diada-adakan, kalau perlu dibikin, diwujudkan menjadi nyata. Badi sering melihat rekan-rekannya tanpa rasa malu lagi mendatangi para pejabat bermasalah. Mulai dari meneleponnya secara pribadi, kalau belum mempan langsung disambangi ke kantor. Atau disusul ke rumah peristirahatannya. Dikomfirmasikan kepada istri, anak, keluarga bahkan para pembantu dekatnya. Pada akhirnya, mereka yang mengaku wartawan itu hampir tak pernah menulis berita. Karena tulisan mereka segera dibeli oleh para pejabat bermasalah. Disimpan di kantong celana dan raib begitu saja.
Persetan dengan kode etik, idealisme, dan tetek bengeknya itu!

"Inilah kerajaan kita, Bung!"
"Hahaha dan betapa nikmatnya zaman reformasi!"
"Iya, sekarang segalanya bisa ditransparankan, ditelanjangi!"
"Bukan pihak kita lagi yang diintimidasi, ditekan habis, tapi sebaliknya!"
"Betul itu! Kitalah yang berperan sekarang!"
"Inilah nikmatnya punya sarana media cetak. Bisa dipakai menarik gaji dari para pejabat bermasalah "
"Bahkan tunjangan pensiunan, huahaha " suara bahak kesenangan rekan-rekannya menyayat telak nurani Badi
"Kang Badi, sekarang beliau sudah datang. Ditunggu di ruangannya".
"Ooh, begitu Terima kasih, Mang Lili!"Badi bangkit dari bangku yang telah memakunya dengan tingkah polah rekan-rekan, termasuk dirinya belakangan ini.
"Kok belum diminum tehnya, Kang?"
"Eeh, hatur nuhun Mang, nanti sajalah "

Sekejap mata Badi bersirobok dengan sepasang mata di depannya. Bening, polos, dan lugu. Mata tua yang mengingatkannya pada mata mendiang kakeknya, seorang pejuang '45. Kakek yang suka menuturkan kisah-kisah kepahlawanan di masa kecilnya dulu.
"Tak pernah terbesit sedikit pun untuk memperoleh keuntungan dari perjuangan kami. Semuanya rela kami korbankan demi kemerdekaan Tanah Air, kehormatan bangsa dan kemualiaan agama " Terngiang lagi ucapan kakek. Dan sekarang setelah Tanah Air merdeka, berkali-kali diguncang, hingga kini semakin carut-marut ?"
"Nah, jadi begitulah duduk persoalannya. Bagaimana? Bung Badi, apa Saudara sudah mengerti penjelasan saya?" Suara berat Pak Maman membuat keberadaanya kembali di sebuah ruangan AC dan sederhana sekali. Ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk, tergagap menyahut."Ya, ya, saya mengerti, Pak " Ha, apa yang telah dipahaminya dari uraian lelaki itu mengenai kejujuran sang atasan? Bahwa Pak Bupati hanya menjalankan perintah dari seorang mantan pejabat tinggi di pusat, itukah yang dipahaminya? Bagaimana dengan tekanan pemrednya, agar mengorek tuntas kasus proyek fiktif itu?
"Ini alamat rumah beliau di Bandung "
"Beliau siapa?" cetusnya rikuh, gamang.
Pak Maman mengerutkan alisnya, tapi kemudian ia tersenyum maklum.
"Investor proyek fiktif itu, tentu saja. Bung akan mengkonfirmasikannya kesana, bukan?"
"Oh, ya, tentu saja Baiklah, Pak, kalau begitu saya pamit!" gegas ia menyambar secarik kertas di hadapannya.

Pak Maman tergopoh-gopoh mengejarnya. "Ini, jangan ditinggalkan lho Kang uang perasaan," bisiknya sambil menyelipkan amplop ke telapak tangannya. Ada yang membakar ubun-ubunnya seketika, hingga hawa panasnya merambah ke wajah, dada, ke mana-mana. Ia tergesa-gesa meninggalkan ruangan yang terasa mendadak gerah.
"Sudah beres, Kang?" Mang Lilih menyapa di tempat parkir.
"Eeh, ya, ya "Aduh, kenapa dirinya mendadak merasa seperti maling yang kepergo?
"Ada yang ketinggalan, Kang?"
"Tidak ini buatmu, Mang!" diselipkannya selembar puluhan ribu ke tangan lelaki tua itu.
"Apa ini?"
"Lumayanlah Mang, buat rokok "
"Oh jangan Kang, jangan beri apa-apa!"

Mang Lili begitu cepat mengembalikannya ke saku kemeja pemuda itu. Lantas begitu cepat pula ia berlalu, meninggalkannya dalam perasaan gamang yang menyiksa. Sadarlah Badi, sejak saat ini nuraninya telah terpasung. Dan langit di atasnya tampak semakin merona kelabu.

Oleh : Pipiet Senja

Oleh: Sigit Nur Setiyawan

Bel masuk sekolah membuat suasana menjadi ramai, sebagian anak-anak kelas 2 B mempersiapkan catatan kecil yang ditulis di meja untuk nyontek karena konon kabarnya pagi itu akan diadakan ulangan matematika Pak Budi yang super killer itu. Tetapi sebagian yang lain seperti tidak takut akan adanya ulangan matematika, malahan mereka pada ngerumpi masalah aktual seputar film, hiburan dan terutama cowok dan cewek mereka.
Wawan salah satu makhluk penghuni kelas 2 B yang termasuk anak yang rajin dan selalu dapat ringking itu kelihatan santai kayak tidak akan terjadi apa-apa saja pagi itu. Dia malah sedang asyik mencorat-coret buku tulisnya dengan beberapa huruf yang dirangkai menjadi sebuah nama. Ya mungkin dialah nama yang menjadi pujaan hati Wawan. Ya Anggi nama gadis imut-imut bendahara Rohis yang terkenal ulet dan pantang menyerah dan berpenampilan cool itu ternyata telah berhasil mengisi renung hati Wawan.

"Kamu sungguh manis Nggi, manis orangnya dan manis kepribadiannya" gumam Wawan dalam hati.

"Anggi, andai saja kau tau perasaanku padamu, apakah kamu akan menerimanya?" Wawan terus-menghayal tanpa memperhatikan Pak Budi yang sudah berdiri di depan pintu Kelas 2B.
Lamunan Wawan pada pagi itu mendadak menjadi hilang ketika Pak Budi The Killer Man itu datang ke kelas dan membagikan soal ulangan harian.

Ya pagi yang berat telah dilalui oleh naka-anak kelas 2 B SMU Biru itu. Rasa lega dan gembira dilukiskan dengan berbagai ekspresi. Ada yang meloncat kegirangan dan ada yang biasa-biasa saja termasuk Wawan. Ulangan itu ternyata tidak menggoyahkan konsentrasinya tuk ngebayangin wajah nan manis dengan kedua lesung di pipi ketika tersenyum. Bel istirahatpun berbunyi. Anak-anak pada bubar berhamburan di halaman. Ada yang segera ke kantin tuk memberi makan ayam yang di piara di perut yang sudah dari tadi berkokok terus meminta jatah makan pagi itu. Tetapi ada sebagian yang malahan pergi ke musholla tuk sholet Duha. Wawan, Indar, Paras dan Taufiq adalah sebuah gank anak Rohis yang keliatan kompak banget. Kalau istirahat pertama gank itu saling berebut shof pertama tuk sholat duha. Begitu juga halnya dengan Anggi sang idola di Rohis itu, juga hadir tuk njalanin sholat duha. Seperti biasa setelah sholat, makhluk penghuni musholla itu tidak langsung pulang ke kelas masing-masing, mereka biasa ngetam di Perpus musholla tuk ngejaga buku, kali aja ada yang mo pinjam atau mo ngembalikan buku perpustakaan rohis.

Sembari jaga ternyata mata Wawan yang udah terkenal dengan sebutan mata elang itu mengawasi gerak-gerik Anggi dengan senyum yang begitu mempesona yang sedang asik bercerita didepan ruang Rohis yang kebetulan memang jadi satu dengan Musholla itu. Anggi mungkin tidak menyadari kalau dia sedang diawasi oleh cowok keren Ketua Rohis SMU Biru itu.

"Anggi-Anggi, kenapa aku tidak berani ngungkapkan isi hati ini pada dirimu ya Nggi????" lamunan Wawan seolah tak percaya akan nasib yang dialaminya.

"Nha!!!!, mikirin siapa hayooo??!!!!" sapa Paras secara tiba tiba sehingga membikin Wawan jadi terperanjat dari duduknya.

" Salam dulu kek, jangan main sentak donk .kayak gak pernah ikut pengajian aja!!!" Wawan nerocos memprotes perlakuak sohibnya yang paling setia itu.
"Baru melamunin Anggi ya ?" Tebak Paras membut Wawan tersentak.

"Yeeee siapa yang baru ngelamunin orang, wong kita tadi baru ngelamunin ummat Islam kok pada loyo , eeee dikira melamunin orang " bela Wawan seolah gak mau kalau sohibnya itu ikut terlibat dalam persoalan yangsatu ini.

" Ah jangan gitu Wan, aku tau kok kamu suka ama Anggi, kan aku gak sengaja pernah baca buku kamu yang ada coretan-coretan tinta pink nama Anggi pas aku pinjam buku Fisika kemarin" Paras njelasin ke Wawan.
Seketika itu Wawan tak bisa berkutik, soalnya rahasia yangselama ini ia pendam ternyata diketahui oleh Paras sang sohib yang perhatian banget ama dia.

"Eh Ras! Akupercaya kamu bisa nyimpen rahasia ini, soalnya aku belum berani tuk ungkapkan cinta ke Anggi, takut nih" minta Wawan seolah agak memaksa.

"Beres Wan, jamin aman deh." Jawab Paras meyakinkan Wawan.
Akhirnya tak terasa bel masuk pun berbunyi, mereka bergegas kembali meninggalkan Musholla ke kelas masing-masing. Tapi kayaknya ada yang gak beres, soalnya baju belakang Wawan keliatan gak rapi, padahal Wawan terkenal anak yang rapi banget di SMU Biru itu. Akhirnya dia bergegas menuju kamar kecil sebelah utara musholla. Tetapi sayang didalam ada orang yang pakai. Wawan menunggu beberapa lama, dan akhirnya.

"Klek" bunyi pintu kamar mandi itu terbuka.

Tak lama kemudian muncullah sesosok tubuh yang tidak asing lagi bagi Wawan. Y, Anggi keluar ruangan itu dengan melemparkan senyuman khasnya yang membuat jantung Wawan berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

"Serrrr . Dak Dik Duk ."begitu mungkin suasana jantung Wawan melihat senyum Anggi dengan begitu manis.

"Kok belon masuk Wan, kan udah bel .??" Tanya Anggi

"Iy iy iyya, Nggi, Maklum baju belakang keluar nih, takut entar gak lkeliatan rapi" jawab Wawan agak gerogi

"Ooo, gitu ya.. Ya udah duluan ya Asalamualaikum" Pamit Anggi smbil melempar senyum mautnya kembali kepada Wawan yang membuat Wawan jadi salah tingkah kembali.

"Waalaikum salam" sahut Wawan.

Hampir dua bulan Wawan memendam rasa ke Anggi, tetapi tidak berani mengungkapkannya. Dia hanya bisa curhat ke Paras kalau dia itu cinta ama Anggi, tapi gak berani ngungkapin ke Anggi. Ya tanggal 31 Maret 2001, Wawan mengetahui bahwa hari itu adalah hari spesial bagi Anggi, ya hari Ulang tahun yang ke 17, Wawan berpikir keras tuk ngungkapin rasa cintanya secara non verbal. Yaitu dengan hadiah di hari spesial itu. Wawan meminta pendapat ke Paras, soal hadiah apa yang cocok diberikan ke Anggi tuk hadiah Ultahnya.

"mo kasih apa ya Ras????" tanya wawan minta pendapat Paras.

" kasih bunga aja, biar romantis!" jawab Paras

"gak ah, takut gak ada manfaatnya, gimana kalau aku berikan Khimar?" Wawan minta pendapat ke Paras

"wah, hebat kamu Wan, bagu banget tuh " Paras mendukung

"Tapi Pas " Wawan Menyela.

"Aku gak berani ngasihkan ke dia, tolongin aku ya kan kamu temen setia aku! Ya ras ya Please!!!!!!" Rengek Wawan seolah memaksa paras tuk menurutinya.

"Wah kok aku sih, napa gak kamu sebndiri aja yang nyampaiin, kan yang suka ama dia kan kamu kok suruh aku sih?" ledek Paras.

"Iya deh Wan, jangan kuatir pasti aku sampaiin ke dia"Jawaban Paras melegakan.

Pagi yang cerah dia awal bulan April. Seperti biasaanak-anak pada berkerumun ke gank nya masing-masing. Termasuk Wawan yang udah ngetam ama Paras di taman Sekolah depan kelas 2 B. Tema pembicaraanyynya apa lagi kalu enggak masalah Anggi. Tetapi pembicaraan mereka terhenti sejenak karena ada sesosok tubuh berjalan dihadapan mereka. Ya Anggi berjalan dengan lamem menuju kelas 2 A.

"Subhanallah, Ras itu khimar yang kemarin aku kasih ke dia " ucap Wawan seolah enggak percaya akan apa yang ia saksikan.

"Haa.. yang bener Wan ?" tanya Paras

"Iya, bener itu yang aku kasih ke Anggi Subkhanallah, tau berterimakasih bener dia.."gumam Wawan

"Wah beruntung kamu Wan, berarti hadiah kamu special baginya" ledek paras.
Kedua sahabat itu masih enggak percaya akan perlakuan Anggi pada pagi itu yang membuat Wawan seperti diatas angin.

Bel istirahatpun tiba. Seperti biasa gank rohis itu pergi ke musholla tuk ngejalanin sholet duha. Tetapi entah mengapa Anggi udah duluan sebelum bel tadi ke musholla. Entah apa yang dilakukan Anggi di musholla itu, tetapi perlakuannya tidak begitu digubris oleh anak-anak lainnya. Mereka sholet seperti biasanya. Dan sudah menjadi kebiasaan juga sehabis sholet ya 5 menitan-lah anak-anak pada istirahat sambil nongkrong di ruang rohis disebelah selatan musholla. Pas mo balik ke kelas karena udah bel. Wawan menemukan sepucuk surat yangditujukan kepadanya dilaci yang biasa tuk nyimpan pecinya kalau mau masuk kelas. Ya sebuah surat dengan sampul biru muda dengan tulisan yang sudah tidak asing lagi bagi Wawan.

"Hah surat dari Anggi????" batin wawan seolah gak percaya

"Eh Wan surat dari siap tuh?" tanya Paras pingin tau

"Dari Anggi "jawab Wawan..

"Kok jadi berdebar gini ya Ras "sahut Wawan sedikit gerogi.

"Udah lah Wan, jangan terlalu dipikirin berat-berat. Lagian udah bel tuh" nasehat paras sambil mengajak sohibnya itu masuk ke kelas.

Tetapi langkah mereka berdua tidak semulus yang ia duga. Mereka dihadang oleh sesosok tubuh yang kini sedang mengisi renung hati Wawan. Ya Anggi. Anggi menghadang perjalanan mereka. Biasa sebelum dia mengucapin kata-kata, Anggi menebarkan senyum yang begitu mempesona.

"Wah, makashi banget ya Wan ya enggak ada hadiah sebagus yang udah Wawan sampain ke Anggi, sekali lagi makasih ya ." Kata Anggi sembari meneber senyum kembali membuat hati Wawan berontak.

"iya deh Nggi, selamat Ulang tahun ya " jawan Wawan

"makasih lho Eh udah dibaca Surat Anggi?" tanya Anggi.

"Belon, mungkin nanti siang aja ba'da sholat Duhur" jawab Wawan

"Iya deh. Anggi tunggu ta jawabannya " Jawab Anggi

"Insya Allah, Nggi" Jawaban Wawan meyakinkan.
Setelah Anggi pergi, paras yang dari tadi cuman dijadiin obat nyamuk protes.

"Busyet kamu Wan, kalau udah ketemu ama yang cocok gak inget ama temen kambali" protes Paras

"Sory deh Ras, habis mo gimana lagi? "jawab Wawan
Setelah Anggi pergi, paras yang dari tadi cuman dijadiin obat nyamuk protes.

"Busyet kamu Wan, kalau udah ketemu ama yang cocok gak inget ama temen kambali" protes Paras

"Sory deh Ras, habis mo gimana lagi? "jawab Wawan.

Kedua sahabat itu akhirnya lenyap dilorong laboratorium biologi yang mereka lewati.
Selama pelajaran berlangsung, bukannya pelajaran yang dipikirkan oleh Wawan tetapi dia mencoba membayangkan berbagai kemungkinan isi surat Anggi siang itu. Ya, hampir 3 jam penuh dia menciummi surat bersampul biru muda itu dengan penuh perasaan. 3 jam bagi Wawan amatlah lama dan membosankan. Tanpa sadar ia kembali terhanyud dalam lamunan yang memang membuat bibirnya senyam-senyum sendiri. Walaupun begitu dia masih bisa nyembunyiin ketergelisahannya itu sehingga tidak sempat menjadikan perhatian Pak Pardjo yang sedang mengajar Momen Gaya. Dan bel yang begitu indah pun terdengan dengan diiringi jerat jerit anak-anak SMU Biru itu. Rasa lega dan bimbang menyelimuti perasaan Wawan yang sudah sejak dari tadi tidak bisa konsentrasi kepada pelajaran dari guru-guru yang mengajar. Ia bergegas menunaikan sholet duhur dengan berjamaah di musholla sekolah. Setelah cukup berdoa dan berdzikir Wawan segera bergegas menuju ruangan Rohis yang menang sudah mulai rame dengan anak-anak kelas 1 dan 2 yang sedang asyik membaca buku perpustakaan. Tanpa diketahui oleh merek, Wawan berhasil mengambil sepucuk surat yang memang sudah menjadikannya gak lagi bisa berfikir jernih. Ya surat dari Anggi. Ia segera menuju gudang musholla yang memang dia yang memiliki kuncinya dan segera membaca surat itu. Tak ketinggalan Paras yang sudah dari tadi menyertai Wawan ikut menyimaknya.

"Assalamualaikum Wr. Wb.
Untuk Akhi Wawan yang Dirohmati Allah
Sebelumnya Anggi mengucapkan terima kasih banyak kepada Akhi Wawan yang udah memberikan perhatian lebih kepada Anggi. Anggi merasa bahwa hidup ini adalah perjuangan. Siapa yang mau berjuang dialah yang akan mendapatkan sesuatu yang ia impikan. Akhi Wawan . Anggi sebenarnya mengerti bahwa akhi Wawan menyukai Anggi. Perlu diketahui saja sebenarnya Anggi juga gak bisa menmbohongi hati Anggi sendiri bahwa Anggi juga menyukai Wawan ya memang suka tak harus memiliki. Mungkin Akhi Wawan bisa faham maksud hati Anggi .Teruslah berjuang tuk mengapai cinta ..
Wassalamualaikum Wr Wb
Anggi"

Itulah surat yang diberikan Anggi kepada Wawan. Singkat, Padat dan penuh dengan makna.

"Wah gimana nih Ras???" tanya Wawan seolah gak percaya.

" Lho kok gimana sih, nha ini kan tyang sebenarnya kamu inginkan ." Ledek Paras.

"Serius atuh!!!, Wawan butuh pendapat nih ." Rengek Wawan

" kalau aku sih ya ungkapin aja ama dia ." Jawab Paras.

Diskusi singkat itu akhirnya membuahkan keputusan yang bulat. Ya sebelum bel masuk wawan akan ungkapkan isi hati Wawan kepada Anggi. Memang hari itu keberuntungan wawan. Belum juga dia nyari Anggi, eee Anggi-nya udah nongol di depan musholla. Kontan aja wajah Wawan jadi berseri-seri dan akhirnya dia mengejar tuk mendapatkan kepastian hidup .

"Ngi! Aku pingin ngomong nih ."

"Apa Wan yang tadi ya ..?" jawab Anggi .

"Iya " jawab wawan

"Gimana Nggi' Sumpah deh aku cinta mati ama kamu bener .terimalah cintaku ini ya Nggi!"
Rengek wawan.

"Wah gimana ya benarnya Anggi belum berani tuk mengatakannya tapi apa boleh buiat anggi juga cinta kok ama wawan ."ungkapan yang begitu indah terdenganr dari mulut Anggi seolah-olah telah mampu menghancurkan kebekuan hati Wawan selama ini.

Seiring dengan waktu dan seiring dengan perkembangan situasi kedua pasangan serasi Rohis SMU Biru itu semakin dekat aja. Walaupun mereka melakukan aktifitas pacaran tetapi tetap tidak diketahui oleh teman-temannya. Ya karena mereka adalah anak-anak Rohis. Wawan adalah ketua dan Anggi adalah Bendahara. Jadi ketika kedua pasangan itu bercakap-cakap dianggap oleh teman-temannya adalah koordinasi kegiatan.

Ya genap sudah 4 bulan mereka berpacaran tanpa diketahui oleh siapapun, kecuali Paras. Sudah menjadi kebiasaan ketika cawu 3 Rohis SMU Biru mengadakan sarasehan mengenai pelajar dan masalah lain yang menyangkut langsung dalam dunia pelajar.

"Gimana Fik, udah kelar bigraundnya?" tanya Wawan dalam sebuah rapat pengecekan akhir.

"udah kok Wan .tapi ada yang belon beres nih mengenai moderator tuk acara besok.."

"jadi gimana sudah ada belon kalau belon ada Wawan juga bisa kok jadi moderator" tawaran Wawan, serius

"bener Wan..apa gak aneh entar ?" Tanggapan Taufik

"Lho kok aneh sih..emang kalau dah jadi ketua gak boleh jadi moderator ya , enak aja..kalau gitu mendingan gak usah jadi ketua yeeee" Sahut Wawan penuh semangat.

Akhirnya acara sarasehanpun diadakan. Dengan dihadiri oleh hampir seratus orang siswa SMU Biru dan beberapa guru yang memang diundang oleh pihak panitia. Temanya pun tidak tanggung-tanggung. Ya Peran pelajar dalam mengubah dunia". Walaupun temanga agak berat tetapi karena yang membawakan sarasehan itu adalah ustadz yang agak gaul jadi para peserta bisa menangkap dengan baik. Bahkan karena merasa cocok beberapa siswa menginginkan ada follow up dari kegiatan itu. Dan Rohispun mengsepakati. Setelah disepakati oleh Mas Ardiansyah ustadz gaul yang belakangan mulai naik daun namanya itu akhirnya setiap pekannya akan mengisi kajian Rohis. Hari Rabu siang jam 14.00 WIB.

Seiring dengan berjalannya pengajian yang mulai membahas tema-tema cinta dan pacaran. Sedikit banyak Wawanyang memang sedang ada "main' dengan bendahara Rohis ini mengalami kegelisahan batin. Antara mencintai nya (Anggi) dengan mencintai-Nya. Tetapi seiring dengan waktu akhirnya pemahaman mereka telah menuntun kepada jalan yang benar. Akhirnya merekapun kemudian saling menjauh walaupun sebenarnya dekat. Dan saling mendekat walaupun mereka jauh. Ya akhirnya mereka lebih mencintai Allah dari pada mencintai sesama makhluknya

Ya Bila Cinta harus Memilih maka kan ku pilih tuk mencintai-Nya




Teriakan Raka dari bawah balkon terdengar. Gadis tujuh belas tahun itu buru-buru meraih sepatu ketsnya. Kalau dia tidak turun ke bawah dalam lima menit, bisa-bisa si Bangor itu ngomel panjang lebar.

“Tikaaa .!!!”

Yang punya nama melongokkan kepalanya ke bawah. Satu telunjuknya menempel di bibir. Sekali lagi Raka teriak, Papa yang lagi sakit gigi bakal ngedamprat cowok satu itu habis-habisan.

“Mam, pergi dulu, ya?”Tika mencolek bahu Mama. Wanita setengah baya yang masih cantik itu mengangguk.

“Sama Raka kan?”Tika membenarkan.
Mama menarik nafas lega. Kalau Tika jalan dengan kawalan Raka yang berbadan besar itu, rasa-rasanya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka sudah berteman baik, tapi mereka pacaran! Namun, kala disinggung, Tika selalu mengelak.

“Ihh.. Mama kita kan cuma temenan!”
Begitu dalih putri tunggalnya itu setiap Mama dan Papa meledek. Lalu apa benar hubungan keduanya tak lebih dari itu? Mama tak bisa menebak.

***
“Tika, hari Minggu mau ke mana?”

Raka menjawil bahu Tika. Saat itu mereka lagi nongkrong di kantin. Asyik menikmati air kelapa muda.

“Enaknya ke mana ya, Ka? Gue lagi malas joging. Eh kita ngamen, yuk?”

Raka mengucek poni Tika gemas. Ini anak ada saja ide gilanya!

“Katanya mau mulai alim, biar kayak Mbak Ratna!? Masa sekarang pengen ngamen sih?”

Tika kena batunya. Yang disebut Mbak Ratna itu kakak kelas mereka, aktivis rohis yang dihormati Tika karena keanggunan dan sikap bijaksananya. Tapi lagi-lagi Tika selalu bisa berkelit.

“Eh, emangnya kenapa? Sekali-kali punya kegiatan berbeda dong! Lagian, ngamen hari Minggu kan enak. Kagak ada pelajarnya. Namanya juga cari nafkah. Yang penting halal! Kali aja dapat uang lebih gede!”dengus Tika cuek.

“Ah .. mending lo gue kasih noban deh, gratis daripada ngamen! Gue aduin Mama,lho!”

“Aduin aja! Paling doi minta ikutan! He he he!”Gadis kelas dua es em u itu malah menantang.

Raka lagi-lagi geleng kepala. “Gue serius, soalnya gue mau naik gunung hari Sabtu. Mau ikut?”

“Sama siapa lagi? Lo ajak si Koko sama Ari deh. Nanti gue ajak si Laras. Gue ingin kenalin, tuh anak, sama ulet bulu! He he he ..”Raka memandang Tika serius.

“Kalo berdua memangnya kenapa? Gue kan cowok baik-baik lagi!”suara Raka tegas. Tika menghentikan kesibukannya mengunyah kelapa muda.

“Tapi .. kayaknya nggak bisa Ka, anak-anak rohis mau bikin acara rujakan sambil silatulrahmi dengan anak kelas satu. Eh, lagian, kalau jauh gitu jangan cuma berdua Ka, nggak enak. Entar kita dikira pacaran lagi!”
Deg! Dada Raka berdetak. Pacaran?

Sejauh ini memang banyak yang mengira mereka berdua pacaran. Hampir nggak ada yang percaya sama penjelasannya bahwa dia dan Tika cuma teman baik.

Si koko misalnya, berkali-kali dia meledeknya sebagai cowok yang setia.”Setia nih ye.. lo nggak bosen bareng Tika doang selama bertahun-tahun ini?”

Atau..

“Gile lo Ka, awet ama sih sama si Tika!”

“Apa sih resepnya bisa nggak putus-putus selama lima tahun lebih?”

Resepnya? Waktu itu Raka cuma menyahut asal, “Supaya nggak putus-putus? Jangan jadian dong! Pasti nggak bakal putus!”

Tapi, tetap nggak ada seorang teman pun yang percaya. Setelah beberapa kali mencoba menjelaskan, akhirnya Raka menyerah. Membiarkan orang-orang sekitar mereka yang menganggap mereka pacaran. Hal serupa menimpa Tika. Gadis imut itu juga sering mendapat pertanyaan serupa. Tapi bukan Tika kalau tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya dengan baik.

“Tik, lo benar ya, pacarnya Raka?” Waktu Nona nanya begitu, Tika langsung pasang muka misterius.

“Nona pengen tahu?”

Dan si gadis hitam manis itu pun mengangguk. Tika langsung menadahkan tangannya, sambil pasang muka melas, “Cepek dulu dong!”

Kali yang lain si rese Laras yang penasaran. “Tik, serius nih. Gue naksir sama Raka. Jadi gue perlu tahu dia pacar loe apa bukan?”

Tika sengaja diam. Dan Laras harus mengulang pertanyaannya tiga kali sebelum mendapat jawaban dari gadis itu.

“Nngg .. jawabannya multiple choice. Lo pilih sendiri aja, ya? a. pacaran b. hampir pacaran c. tunangan d. suami-istri, e. bukan salah satu di atas. Nggak usah buru-buru jawabnya Ras. Soalnya nggak ada hadiahnya, kok!”

Begitulah, baik Tika maupun Raka membiarkan orang sekitar mereka bingung dengan kedekatan keduanya. Sebetulnya, dahulu mereka sudah pernah menjelaskan, kalau Tika dan Raka cuma sohib baik doang. Eh, begitu mereka menjelaskan yang benar, justru banyak yang nggak percaya. Capek, akhirnya kedua anak muda itu malah jadi suka asal kalau ada yang menanyakannnya.

Mereka memang bukan sepasang sejoli. Setidaknya belum. Tapi , entah mengapa, baik Tika maupun Raka belum ada yang kecantol orang lain. Jadi sebetulnya, gimana sih perasaan keduanya?

Ide itu akhirnya muncul begitu saja. Anehnya, bukan dari Tika yang biasanya suka mengeluarkan ide-ide aneh, tapi justru dari Raka. “Tik, kita pura-pura pacaran aja, yuk?”
Tika sempat bingung.

“Kamu kenapa sih, Raka? Kok, tiba-tiba aneh begitu?” Raka mengangkat bahu.

“Ya, kita coba saja, cuma pura-pura ini. Masalahnya, kayaknya cuma kita doang, deh yang belum pacaran. Temen-temen yang lain sudah punya gandengan.”

Tika yang akhir-akhir ini dekat dengan Mbak Ratna, ketua keputrian mereka sebetulnya merasa agak nggak enak. Nggak pacaran saja sudah sering mendapat tausiyah karena bersahabat dengan Raka.

“Biar bagaimanapun Tika ”ucap Mbak Ratna suatu hari padanya, “sulit sekali menemukan persahabatan yang tulus dengan lawan jenis. Percaya deh, sama Mbak!”

Waktu itu Tika berdalih,”Sulit bukan berarti nggak bisa kan Mbak? Siapa tahu Raka termasuk sahabat yang sulit dicari itu!”

Dan Mbak Ratna harus menarik nafas panjang menghadapi sikap keras kepala adik kelasnya itu. Buat Tika, dibalik sikapnya yang cuek bebek itu, sebetulnya dia menghargai anak-anak rohis, dia bahkan ingin suatu hari bisa benar-benar menjadi salah satu diantara mereka. Tetapi, kalau itu berarti harus menjauhi Raka, kayaknya kok, nggak adil.

Agar tidak memutuskan hubungan persahabatannya dengan Raka, belakangan dia menyuruh cowok itu ikutan aktif di rohis. Minimal datang sebulan dua kali bertepatan dengan acara pengajian gabungan. Dan Raka menuruti permintaan Tika. Nah, kalau sekarang mereka pura-pura pacaran? Kan berabe?
Raka masih menunggu jawabannya.

“Mau, ya? Cuma pura-pura ini!”

Meski masih ragu, Tika akhirnya mengiyakan. Mungkin nggak buruk-buruk amat kali, ya?
Maksud Tika, seneng juga kan bisa ngerjain temen-temen mereka yang selama ini suka ingin tahu. Wajah kocaknya muncul.

“Sebetulnya .. kenapa sih, orang harus pacaran, Ka?”

Raka menggeleng lagi. Gimana, setuju nggak?! Dan sore itu mereka akhirnya sepakat pura-pura jadian. Pacaran!

Berita peresmian hubungan mereka berdua, memang tidak terlalu mengejutkan. Banyak teman yang mengira selama ini mereka memang pacaran. Cuma masalah waktu sebelum diproklamirkan. Dan mereka gembira, karena Tika dan Raka amat kelihatan serasi. Satu-satunya yang bersedih adalah kelompok anak-anak rohis. Termasuk mbak Ratna.

Sebetulnya Tika mau menjelaskan, bahwa semua itu cuma pura-pura. Bahwa persahabatannya dengan Raka masih sebening dulu, tetapi Raka melarangnya.

“Nggak usah deh, Tik! Nanti malah bocor sama teman-teman yang lain!”

Ya sudah, akhirnya dia memilih diam.
Terus, adakah yang berubah dalam hubungan mereka berdua? Sebagai pacar (pura-pura), Raka merasa harus melakukan apel alias wakuncar tiap malam Sabtu. Juga mengajak Tika ke tempat-tempat yang lebih romantis. Nonton misalnya.

Di hadapan teman-teman lain, Raka juga berusaha agar terlihat lebih mesra. Sesekali dilingkarkannya tangannya ke bahu Tika, atau menggandeng tangan gadis itu.
Sebetulnya sih, sebelum perjanjian ini, Tika merasa biasa-biasa saja jika terjadi kontak fisik dengan Raka, tapi sekarang rasanya kok, jadi beda. Apa Raka merasakan hal serupa? Tika nggak tahu.

Buntut-buntutnya, Tika merasa agak malas jalan bareng Raka yang lebih romantis itu tidak membuat perasaannya nyaman. Bahkan, seakan mereka tidak lagi cuma pura-pura. Tidak ada lagi dialog-dialog santai. Raka juga memintanya tampil lebih feminin jika mereka bepergian, katanya biar nggak dikira jalan sama teman atau adik.

Gadis tujuh belas tahun itu akhirnya merasa terikat dan banyak diatur oleh Raka. Dan sekarang Raka menunggunya di bawah. Apa yang sebaiknya dia lakukan, ya? Menghilang?
Hus! Tika kan bukan nenek sihir! Panggilan Mama berkali-kali tak dihiraukannya. Dan, ketika Mama muncul dikamarnya, dia tak bisa menghindar.

“Aduh .. anak manis! Ditunggu Raka di bawah kok, diam saja! Katanya mau ke ulang tahun teman?!”

Tika tak bergerak. Masih meringkuk di bawah kemulan hangat selimutnya.

“Tik .. Tika.. kamu nggak apa-apa kan?”

Pertanyaan Mama malah memberi ide padanya,”Kayaknya Tika nggak enak badan deh, Ma!”katanya.

Lho? Gantian Mama yang bingung. Sebab seharian ini, anak itu kelihatan lincah-lincah saja. Jangan-jangan ada hubungannya dengan Raka sebelum cowok itu datang, putri tunggalnya itu kelihatan sangat sehat dan bersemangat.

“Tik .. kalau kamu memang sakit, nggak masalah. Mama bisa kasih pengertian kepada Raka. Tapi .. kalau kamu melakukan ini karena punya masalah dengan Raka sebaiknya diselesaikan. Jangan dihindari!”

Hmm .. tampaknya pendapat Mama ada benarnya. Berpikir begitu, membuat Tika bangkit dari tempat tidurnya. Gadis manis itu mulai bersiap.
Pesta ulang tahun teman sekelas Raka sama sekali tidak menarik minat Tika. Gadis itu lebih banyak melamun selama acara berlangsung. Hatinya sebal karena sikap Raka yang jadi berlebihan dimatanya. Berlagak mesra, ihh!

Kenapa ya, si Raka seperti menjiwai banget? Padahal mereka kan cuma pura-pura pacaran?
Syukurlah, akhirnya Raka ikut menyadari dan mengajak Tika pulang lebih cepat. Meski sebetulnya dia lebih suka berada di sana lebih lama dengan Tika.

“Tik, mampir ke Pak Kumis dulu, ya? Mama tadi nitip bakso.” Suara Raka diselingi getaran mesin mobil. Tika yang sudah tidak bersemangat hanya mengangguk.

Sambil menunggu pak Kumis membuatkan bakso, baik Raka maupun Tika tak banyak bersuara. Mereka menikmati kediaman yang tiba-tiba terjadi. Lalu, tanpa ditebak sebelumnya, Raka meraih kedua tangan Tika dan menatap gadis itu tajam. Mau nggak mau Tika jadi salting!.

“Ka .. kenapa sih?”suara Tika heran.

Raka tak menjawab keheranan Tika. Cowok itu sendiri tak mengerti kenapa dia bersikap demikian. Yang dia lakukan cuma menuruti dorongan hati. Tiba-tiba saja dia merasa ingin dekat dengan Tika, ingin menyentuhnya. Lalu sekali lagi, dorongan hati itu pula yang membuat Raka mendekatkan wajahnya ke wajah Tika.

Mendapat agresi yang tiba-tiba .. Tika hampir menjerit.
Wahh, kacau, Raka seperti kehilangan kontrol dan ketenangan yang selama ini dimilikinya. Sekuat tenaga gadis manis itu mendorong Raka. Langkah berikutnya? Tika kabur, berlari menjauhi mobil sohib baiknya itu. Meninggalkan Raka yang termangu di dalamnya. Masa bodoh! Lebih baik dia naik bis pulang, daripada bersama Raka dengan sikap anehnya itu!

Di dalam bis patas AC, gadis itu merayapi jalan-jalan yang dilaluinya. Sementara hatinya merenungi jalinan persahabatan yang telah dibinanya sekian tahun bersama Raka. Seharusnya mereka cuma bersahabat, selamanya sahabat. Kenapa jadi begini?

Tika mengoreksi dirinya. Benarkah mustahil bersahabat dekat dengan lawan jenis tanpa pamrih? Tanpa harus menjurus-jurus dalam kedekatan antara cowok dan cewek? Sepenuhnya persahabatan yang bening?

Ahh barangkali perkataan Mbak Ratna benar. Hal itu amat sulit ditemui! Buktinya, Raka yang telah tahunan dikenalnya bagai mengenal telapak tangannya sendiri bisa berubah. Bisa kehilangan kendali. Bisa tergoda setan?!.

Kalau hal serupa terjadi lagi, akan cukup beruntungkah dia menyelamatkan diri? Menjaga kehormatannya sebagai Muslimah seperti sering didengarnya dalam kajian-kajian rohis?
Saat kata Muslimah itu bergaung di telinganya, Tika melihat bayangan dirinya di kaca jendela.

Muslimah! Mulianya kata itu! Sungguh amat tak pantas disandangnya setidaknya saat ini.
Tika melirik bajunya yang minim memperlihatkan jenjang kakinya yang telanjang. Lalu belahan dada yang rendah. Rambutnya yang dirangkai ke atas, membuat leher jenjangnya terlihat jelas.

Barangkali tidak sepenuhnya salah Raka! Cowok itu cuma memanfaatkan kesempatan! Tapi Dia? Dia merencanakan seluruh detail penampilan yang menggoda ini. Layak kah dia berjejer bersama Muslimah lain dengan keanggunan mereka? Dengan jilbab rapi membalut tubuh?

Ahh tiba - tiba Tika ingin menangis.
Bis yang ditumpanginya tetap bergerak, seiring dengan malam yang terus merayap pelan. Sementara itu Tika membiarkan air mata kesadaran membasahi kedua pipinya. Mulai besok dia akan berubah. Ya, dia akan menjadi Muslimah yang lebih baik. Batin Tika berkali-kali dengan wajah basah air mata.

Ketika akhirnya bis yang ditumpanginya berhenti di depan rumah, butiran bening itu masih mengalir deras. Tika sama sekali tidak berusaha menghapusnya. Karena dia tahu, tiap butir air mata yang jatuh .. menyiratkan hasrat dan semangat untuk hijrah!!!