Tampilkan postingan dengan label Seri TAUZIYAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seri TAUZIYAH. Tampilkan semua postingan
Suatu ketika, tersebutlah seorang pengusaha muda dan kaya. Ia baru saja membeli mobil mewah, sebuah Jaguar yang mengkilap. Kini, sang pengusaha, sedang menikmati perjalanannya dengan mobil baru itu. Dengan kecepatan penuh, dipacunya kendaraan itu mengelilingi jalanan tetangga sekitar.

Di pinggir jalan, tampak beberapa anak yang sedang bermain sambil melempar sesuatu. Namun, karena berjalan terlalu kencang, tak terlalu diperhatikannya anak-anak itu. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang melintas dari arah mobil-mobil yang di parkir di jalan. Tapi, bukan anak-anak itu yang tampak melintas. Aah..., ternyata, ada sebuah batu yang menimpa Jaguar itu. Sisi pintu mobil itupun koyak, tergores batu yang dilontarkan seseorang.

Cittt....ditekannya rem mobil kuat-kuat. Dengan geram, di mundurkannya mobil itu menuju tempat arah batu itu di lemparkan. Jaguar yang tergores, bukanlah perkara sepele. Apalagi, kecelakaan itu dilakukan oleh orang lain, begitu pikir sang pengusaha dalam hati. Amarahnya memuncak. Dia pun keluar mobil dengan tergesa-gesa. Di tariknya seorang anak yang paling dekat, dan di pojokkannya anak itu pada sebuah mobil yang diparkir.

"Apa yang telah kau lakukan!!! Lihat perbuatanmu pada mobil kesayanganku!!" Lihat goresan itu", teriaknya sambil menunjuk goresan di sisi pintu. "Kamu tentu paham, mobil baru semacam itu akan butuh banyak ongkos di bengkel kalau sampai tergores." Ujarnya lagi dengan geram, tampak ingin memukul anak itu.

Sang anak tampak ketakutan, dan berusaha meminta maaf. "Maaf Pak, Maaf. Saya benar-benar minta maaf. Sebab, saya tidak tahu lagi harus melakukan apa." Air mukanya tampak ngeri, dan tangannya bermohon ampun. "Maaf Pak, aku melemparkan batu itu, karena tak ada seorang pun yang mau berhenti...."

Dengan air mata yang mulai berjatuhan di pipi dan leher, anak tadi menunjuk ke suatu arah, di dekat mobil-mobil parkir tadi. "Itu disana ada kakakku. Dia tergelincir, dan terjatuh dari kursi roda. Aku tak kuat mengangkatnya, dia terlalu berat. Badannya tak mampu kupapah, dan sekarang dia sedang kesakitan.."

Kini, ia mulai terisak. Dipandanginya pengusaha tadi. Matanya berharap pada wajah yang mulai tercenung itu. "Maukah Bapak membantuku mengangkatnya ke kursi roda? Tolonglah, kakakku terluka, tapi dia terlalu berat untukku."

Tak mampu berkata-kata lagi, pengusaha muda itu terdiam. Kerongkongannya tercekat. Ia hanya mampu menelan ludah. Segera, di angkatnya anak yang cacat itu menuju kursi rodanya. Kemudian, diambilnya sapu tangan mahal miliknya, untuk mengusap luka di lutut anak itu. Memar dan tergores, sama seperti sisi pintu Jaguar kesayangannya.

Setelah beberapa saat, kedua anak itu pun berterima kasih, dan mengatakan bahwa mereka akan baik-baik saja. "Terima kasih, dan semoga Tuhan akan membalas perbuatanmu." Keduanya berjalan beriringan, meninggalkan pengusaha yang masih nanar menatap kepergian mereka. Matanya terus mengikuti langkah sang anak yang mendorong kursi roda itu, melintasi sisi jalan menuju rumah mereka.

Berbalik arah, pengusaha tadi berjalan sangat perlahan menuju Jaguar miliknya. Disusurinya jalan itu dengan lambat, sambil merenungkan kejadian yang baru saja di lewatinya. Kerusakan yang dialaminya bisa jadi bukanlah hal sepele. Namun, ia memilih untuk tak menghapus goresan itu. Ia memilih untuk membiarkan goresan itu, agar tetap mengingatkannya pada hikmah ini. Ia menginginkan agar pesan itu tetap nyata terlihat: "Janganlah melaju dalam hidupmu terlalu cepat, karena, seseorang akan melemparkan batu untuk menarik perhatianmu."

Teman, sama halnya dengan kendaraan, hidup kita akan selalu berputar, dan dipacu untuk tetap berjalan. Di setiap sisinya, hidup itu juga akan melintasi berbagai macam hal dan kenyataan. Namun, adakah kita memacu hidup kita dengan cepat, sehingga tak pernah ada masa buat kita untuk menyelaraskannya untuk melihat sekitar?

Tuhan, akan selalu berbisik dalam jiwa, dan berkata lewat kalbu kita. Kadang, kita memang tak punya waktu untuk mendengar, menyimak, dan menyadari setiap ujaran-Nya. Kita kadang memang terlalu sibuk dengan bermacam urusan, memacu hidup dengan penuh nafsu, hingga terlupa pada banyak hal yang melintas.

Teman, kadang memang, ada yang akan "melemparkan batu" buat kita agar kita mau dan bisa berhenti sejenak. Semuanya terserah pada kita. Mendengar bisikan-bisikan dan kata-kata-Nya, atau menunggu ada yang melemparkan batu-batu itu buat kita.

Ada sebuah film yang sempat menarik perhatian saya. Ia berjudul Flat Liners. Di layar kaca HBO film ini sudah diputar lebih dari dua kali. Demikian tertariknya saya, sampai-sampai sempat menonton sampai dua kali. Film yang bertutur tentang eksperimen sejumlah mahasiswa kedokteran tentang kematian ini, cukup menggugah kesadaran saya akan makna hidup.

Betapa tidak menggugah, di gerbang kematian - sebagaimana dituturkan film ini - orang tidak membawa harta, nama besar, apa lagi pujian orang lain. Dan yang harus kita bawa adalah perbuatan-perbuatan kita selama hidup. Mengingat perbuatan setiap orang berbeda, maka dari lima mahasiswa kedokteran yang pernah mengalami kematian beberapa detik ini, pengalamannya amat berbeda.

Boleh saja sutradara film ini menyimpulkannya demikian. Namun, dari segi lain film ini menghadirkan makna berbeda bagi saya. Banyak orang sudah tahu, kalau gerakan alat pendeteksi jantung menunjukkan gerakan grafik yang berbeda, antara orang sehat dan sakit, apa lagi antara orang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Yang jelas, orang masih hidup memiliki gerakan grafik naik turun. Sedangkan orang sudah meninggal, bergerak datar tanpa siklus naik turun.

Ini memang pekerjaan teknologi. Tapi bagi saya ia menghadirkan perlambang makna yang tidak dangkal. Sebagaimana kita rasakan sendiri, setiap manusia hidup yang manapun selalu - sekali lagi selalu - menjalani siklus. Setelah suka ada duka. Sehabis gelap ada terang. Siang berganti malam. Masa berkuasa berganti masa pensiun. Tidak ada yang bisa melawan hukum ini. Kahlil Gibran bahkan menulisnya secara amat indah : 'ketika kita bercengkerama di kamar tamu dengan kebahagiaan, kesedihan sedang menunggu di kamar tidur'. Ini berati, kita hidup serumah dengan kebahagiaan dan kesedihan. Bagaimana kita bisa menghindar dan buang muka dari orang yang hidup serumah dengan kita ?

Tidak ada orang yang mengenal secara eksak apa yang terjadi setelah kematian. Namun, melihat paralel antara siklus gerakan alat pendeteksi jantung, dengan siklus hidup manusia yang mengenal naik turun, jangan-jangan kematian adalah awal dari kehidupan tanpa siklus. Dia datar dalam semua cuaca. Ini memang hanya sebuah spekulasi yang perlu pendalaman-pendalaman, dan pembuktian-pembuktian.

Pada sejumlah agama dan keyakinan yang saya tahu, kematian adalah awal dari proses pemurnian dan pembersihan. Atau dalam bahasa sebuah pilosopi timur, kembali ke titik nol. Di titik nol memang tidak ada positif maupun negatif. Tidak ada naik dan turun. Tidak ada besar dan kecil. Mirip dengan garis yang mendatar. Entah benar entah salah, inilah yang disebut sejumlah orang dengan terminologi seperti kemurnian, pencerahan, pembersihan jiwa.

Dalam posisi seperti ini, manusia tidak lagi memerlukan atribut-atribut seperti harta, kekuasaan, dan pujian. Semua ini menjadi tidak relevan, karena baik harta, kekuasaan, maupun pujian adalah angka-angka absolut yang mengenal siklus naik-turun. Lebih dari sekadar tidak butuh atribut, kemurnian dan pencerahan pada titik nol ini, juga menghadirkan kekebalan-kekebalan. Stres, penyakit, gangguan orang lain dalam bentuk apapun, tidaklah banyak pengaruhnya terhadap badan dan jiwa yang sudah sampai titik nol.

Dalam kejernihan saya ingin bertutur ke Anda, semuanya berawal dan berakhir di sini (baca : titik nol). Mirip dengan cerita Miyamoto Musashi, ketika Musashi dalam kebingungan berat dan kemudian bertanya ke gurunya. Sang guru hanya menjawab dengan sebuah gambar lingkaran di tanah.

Saya pribadi memang kadang bertemu titik nol tadi, kadang juga tidak. Maklum, masih menyandang status manusia hidup yang biasa. Lebih-lebih dalam tekanan-tekanan pekerjaan dan tekanan hidup yang berat. Siklus naik turun bergerak dalam ritme yang lebih besar dari biasanya. Akan tetapi, pada saat kita bisa melampaui suka-duka, naik-turun, kaya-miskin (sampai di titik nol), maka badan dan jiwa ini terasa amat ringan tanpa beban sedikitpun.

Mungkin lebih ringan dari kapas dan udara. Tidak ada beban masa lalu yang berat. Tidak ada ketakutan hari ini yang mengganggu. Apa lagi kekhawatiran akan masa depan. Semuanya hilang dan lenyap ditelan kesadaran.

Tentu ada yang bertanya, mampukah setiap orang mencapai titik nol ? Beban dan bekal orang hidup memang berbeda-beda. Ibarat berjalan jauh, ada yang membawa tas gendong berat, ada juga yang ringan. Dan yang membuat semuanya jadi berat dan ringan hanyalah satu : kualitas rasa syukur kita pada sang hidup dan kehidupan. Dalam kualitas rasa syukur yang tinggi, kesadaran muncul seperti sayap yang membuat semuanya jadi ringan.

Boleh saja ada orang yang meragukan hubungan antara rasa syukur dengan kesadaran. Dan bagi saya, dua hal ini seperti hubungan ibu anak. Rasa syukur adalah ibunya kesadaran. Coba saja perhatikan sendiri di lingkungan masing-masing, bukankah orang-orang yang tidak puas dan tidak pernah bersyukur, kesadarannya terbungkus oleh banyak sekali hal ? Keserakahan akan harta, terlalu bernafsu pada kekuasaan, kecemburuan pada prestasi orang lain, ketakutan kehilangan kursi kekuasaan, terlalu bernafsu untuk segera duduk di kursi kekuasaan, hanyalah sebagian bungkus kesadaran, yang diakibatkan oleh keringnya rasa sykur. Titik nol - sebagai awal dari semua hal - tentu saja amat dan teramat sulit dicapai dalam kehidupan seperti ini.

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar
Semoga Allah Yang Maha Menatap, Maha Gagah , Maha
Menguasai segala-galanya
mengaruniakan kepada kita hati yang bersih sehingga bisa
menangkap hikmah
di balik kejadian apapun yang kita rasa dan kita saksikan,
karena
penderitaan dalam hidup bukan karena kejadian yang
menimpa tapi karena kita tertutup dari hikmah.

Allah menakdirkan apapun Maha Cermat, tidak pernah
mendzolimi makhluk-makhluknya, kita sengsara adalah
karena kita yang mendzolimi diri sendiri.

*)\"Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat Allah,
sesungguhnya ia telah membuka jalan hilangnya nikmat dari
dirinya. Akan tetapi barangsiapa yang mensyukuri nikmat
Allah, maka sungguh ia telah memberi ikatan yang kuat pada
kenikmatan Allah itu \"

Jadi setiap nikmat itu menjadi pembuka atau penutup pintu
nikmat lainnya, kita sering menginginkan nikmat padahal
rahasia yang bisa mengundang nikmat adalah syukur atas
nikmat yang ada , jangan engkau lepaskan nikmat yang besar
dengan tidak mensyukuri nikmat yang kecil.

Maka daripada kita sengsara oleh nikmat yang belum ada
lebih baik bagaimana
yang ada bisa disyukuri, "La in Syakartum
la-aziidannakum"(jika kalian
bersyukur, niscaya Aku akan menambah rezekimu)(QS. 14 ;
7), sayangnya kalau
kita mendengar kata syukuran itu yang terbayang hanya
makanan , padahal
syukuran itu adalah bentuk amal yang dahsyat sekali
pengaruhnya.

Syarat yang PERTAMA menjadi ahli syukur adalah hati tidak
merasa memiliki ,
tidak merasa dimiliki kecuali yakin segalanya milik Allah
SWT.

Makin kita merasa memiliki sesuatu akan makin takut
kehilangan, takut kehilangan adalah suatu bentuk
kesengsaraan , tapi kalau kita yakin semuanya milik Allah
,maka diambil oleh Allah tidak layak kita merasa
kehilangan karena kita merasa tertitipi. Makin merasa
rejeki itu milik manusia kita akan merasa berharap kepada
manusia dan akan makin sengsara, senikmat-nikmat dalam
hidup adalah kalau kita tidak berharap kepada mahluk
tetapi berharap hanya kepada Allah SWT.

Rahasia yang KEDUA ahli syukur adalah \"orang yang selalu
memuji Allah dalam segala kondisi \", karena apa ? karena
kalau dibandingkan antara nikmat dengan musibah tidak akan
ada apa-apanya. Musibah yang datang tidak sebanding dengan
samudera nikmat yang tiada bertepi .

Apa yang harus membuat kita menderita ? adalah menderita
karena kita tamak kepada yang belum ada.


ciri yang KETIGA dari ahli syukur adalah manfaatkan nikmat
yang ada untuk
mendekat kepada Allah , alkisah ada tiga pengendara kuda
masuk kedalam belantara, ketika dia tertidur kemudian saat
terjaga dilihat kudanya telah hilang semua , betapa
kagetnya mereka dan pada saat yang sama dalam keadaan
kaget , ternyata seorang raja yang bijaksana melihat hal
tersebut dan mengirimkan kuda yang baru lengkap dengan
perbekalan , ketika dikirimkan reaksi ketiga pengendara
yang hilang kudanya itu berbeda-beda , si-A kaget dan
berkomentar \" wah ini hebat sekali kuda , bagus ototnya ,
bekalnya banyak pula !, dia sibuk dengan kuda tanpa
bertanya kuda siapakah ini\".

Si-B , gembira dengan kuda yang ada dan berkomentar \"wah
ini kuda hebat , sambil berterima kasih kepada yang
memberi , sikap C beda lagi , ia berkomentar \"lho ini
bukan kuda saya, ini kuda milik siapa ? yang ditanya
menjawab \" ini kuda milik raja \",si-C bertanya kembali
\" kenapa raja memberikan kuda ini ? dijawab \" sebab raja
mengirim kuda agar engkau mudah bertemu dengan sang
raja\". dia gembira bukan karena bagusnya kuda , dia
gembira karena kuda dapat memudahkan dia dekat dengan sang
raja.

Nah begitulah , si-A adalah manusia yang kalau mendapatkan
mobil, motor , rumah ,dan kedudukan sibuk dengan kendaraan
itu , tanpa sadar bahwa itu adalah titipan . Orang yang
paling bodoh adalah orang yang punya dunia tapi dia tidak
sadar bahwa itu titipan Allah , yang B mungkin adalah
model kita yang ketika senang kita mengucap Alhamdulillah,
tetapi ahli syukur yang asli adalah yang ketiga yang kalau
punya sesuatu dia berpikir bahwa inilah kendaraan yang
dapt menjadi pendekat kepada Allah SWT.

Ketika mempunyai uang dia mengucap Alhamdulillah , uang
inilah pendekat saya kepada Allah , dia tidak berat untuk
membayar zakat , dia ringan untuk bersadaqah , karena
tidak akan berkurang harta dengan bersadaqah.

Maka, jika sahabat ingin banyak uang ? sederhana saja
rumusnya , pakailah uang yang ada untuk berjuang di jalan
Allah, jangan heran jika rejeki datang melimpah , punya
rumah ingin nikmat bukan masalah ada atau tidak ada AC,
bukan masalah ukuran ,tetapi rumah yang nikmat adalah
rumah yang menjadi kendaraan untuk mendekat kepada Allah ,
bangunlah rumah yang tidak membuat kita sombong , belilah
acessories rumah yang membuat setiap tamu yang datang
menjadi dekat kepada Allah, bukan ingat kepada kekayaan
kita, pasanglah hiasan yang mebuat tamu kita ingat kepada
kekuasaan Allah bukan kekuasaan kita , itulah rumah yang
Insya Allah tenang dan barokah, tapi kalau rumah dipakai
untuk pamer dan menginginkan kursi yang amat mewah ,
potret-potretnya yang tidak membuat ingat kepada Allah ,
malah ujub, riya takabur , tidak usah heran rumah itu
semakin diminati pencuri, dan rumah yang diminati pencuri
itu membuat strees bagi yang punya, dia harus menyewa
alarm,menggaji satpam, di depan haru
s ada anjing,coba kalau rumahnya ingat kepada Allah dia
tidak akan sesibuk itu.

Mohon maaf kepada saudara-saudaraku yang kaya tidak
apa-apa memiliki yang bagus , tapi usahakan setiap tamu
yang masuk ke rumah bukan ingat kepada kita tetapi ingat
kepada kekayaan Allah.Andai kita mempunyai jabatan , lalu
bagaimana cara mensyukurinya ? gunakanlah jabatan itu agar
karyawan kita dekat kepada Allah.

Kesungguhan kita untuk mendidik anak lebih baik daripada,
punya anak tetapi tidak tahu agama , lalu bagaimana anak
itu akan memuliakan ibu bapaknya ? ,ketika kita mati
mereka hanya berebut harta warisan jangankan mensholatkan
ibu bapaknya.

Maka orang yang bersyukur yang adalah orang yang mendidik
anaknya supaya dekat dengan Allah, di dunia nama orang
tuanya terbawa harum karena anaknya mulia , di kubur
lapang kuburnya karena doa anaknya , di akherat Insya
Allah akan terbawa karena barokah mendidik anak.

Kunci syukur yang KEEMPAT adalah berterima kasih kepada
yang telah menjadi jalan nikmat, seorang anak disebut ahli
syukur kalau dia tahu balas budi kepada ibu dan bapaknya ,
dimana-mana anak sholeh itu harum namanya , tapi anak
durhaka tidak pernah ada jalan menjadi mulia sebab kenapa
? karena mereka tidak tahu balas budi. Benar orang tua
kita tidak seideal yang kita harapkan , tetapi masalah
kita bukan bagaimana sikap orang tua kepada kita , tetapi
sikap kita kepada orang tua.

Saudara-saudaraku yang budiman negeri kita dikatakan
negeri bersyukur kalau sadar bahwa negeri ini adalah
titipan dari Allah , bukan milik sesorang , bukan milik
pahlawan , bukan milik siapapun yang membangun negeri,
tapi negeri ini tidak ada pemiliknya selain Allah tapi
kita episodenya hidup di Indonesia.

Maka syukuri , jangan minder jadi orang Indonesia yang
disebutkan negara koruptor, tetapi justru kita yang harus
bangkit untuk tidak korupsi ! dengan minder tidak akan
menyelesaikan masalah.Kita harus bangkit !!, negara ini
harus jadi ladang untuk mendekat kepada Allah.

Dengan ada perasaan dongkol, sakit hati itu semuanya tidak
akan menyelesaikan masalah tetapi justru akan menambah
masalah , sekarang justru kesempatan kita menjadi bagian
dari masalah atau menjadi bagian dari solusi , daripada
sibuk mempermasalahkan masalah lebih baik mari kita
sedikit demi sedikit menyelsaikan masalah, itulah namanya
syukur nikmat.

Dan sahabat-sahabat , salah satu tugas kita untuk
mensyukuri nikmat adalah kita harus memilih pemimpin kita
yang berakhlaq baik yang bisa membimbing kita , rakyat
seluruh negeri ini menjadi orang yang baik-baik , kita
membutuhkan suri tauladan yang baik , jangan pernah
melihat orang dari topeng duniawinya tetapi lihatlah orang
dari akhlaqnya karemna akhlaq adalah buah dari keimanan
dan keilmuan yang diamalkan, harta , gelar , pangkat,
jabatan dan kedudukan yang tidak menjadikan kemuliaan
akhlaq seseorang , berarti dia telah terpedaya, kita tidak
membutuhkan topeng , yang kita butuhkan adalah isi , dan
isi inilah milik orang-orang yang ahli syukur kepada
Allah.

Mudah-mudahan daripada kita memikirkan yang tidak ada ,
lebih baik mensyukuri yang ada Wallahu alam
Bishowab















eramuslim - 28 Februari 1993, di Waco, Texas, 82 orang --diantaranya 34 wanita dan 29 anak-anak-- pengikut Sekte yang merupakan bagian dari Gereja Advent Hari Ke-7 yang dipimpin oleh David Koresh, memilih mati dengan ikut terbakar dalam sebuah gedung yang menjadi pusat kegiatan mereka saat dikepung oleh FBI. Setidaknya itulah salah satu versi cerita tentang kejadian di Texas, AS tersebut.

Kejadian itu sendiri kemudian menimbulkan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang paling banyak muncul dibenak siapapun yang mendengar berita tersebut adalah, Mengapa ada orang-orang yang rela mati untuk sesuatu yang diyakininya?

Di Jepang hingga kini masih ada orang-orang yang melakukan harakiri, atau bunuh diri karena merasa harga dirinya hancur. Bagi mereka, mati jauh lebih terhormat daripada hidup menanggung malu. Caranya bisa beragam, ada yang menjatuhkan diri dari gedung berlantai, merobek perutnya dengan hunusan samurai atau dengan cara-cara lain yang penting bagi mereka adalah bisa secepat mungkin menemui ajal tanpa harus berlama-lama merasakan sakit.

1400 tahun sebelumnya, meski dengan semangat dan idealisme yang berbeda (tentu lebih mulia), para sahabat Rasulullah telah terlebih dahulu melakukan suatu tindakan dimana bagi mereka kematian bukanlah akhir dari kehidupan mereka, karena mereka begitu teramat yakin akan kehidupan sesudah mati yang jelas-jelas diyakini keabadiannya. Mereka rela mempertaruhkan kehidupan (mati syahid) untuk mempertahankan keimanan dan hidayah yang sudah mereka dapatkan -dimana tidak semua mendapatkannya- sebagai nikmat tertinggi yang diperoleh manusia dari Tuhannya.

Manusia, sebagaimana makhluk Allah yang lain mendapatkan nikmat untuk mencicipi kehidupan di dunia. Oleh karena itu, hinalah manusia yang semata melakukan segalanya untuk mempertahankan nikmat hidup ini, karena sesungguhnya hal seperti itu juga dilakukan oleh hewan atau makhluk lain selain manusia. Manusia-manusia yang sadar akan betapa rendahnya nikmat hidup itu, tentu akan rela kehilangan nikmat tersebut jika harga diri, kemerdekaan, hak-ahak azasinya diinjak-injak atau diinvasi. Sebagai muslim, tentu juga akan merasa terusik jika saudara muslim yang lain hak-hak nya terjajah sebagai perwujudan bahwa muslim bagaikan satu tubuh. Maka bagi mereka, mati adalah jalan terhormat karena kebebasan merupakan nikmat yang lebih tinggi dari sekedar nikmat hidup.

Tidak sampai disitu, pada satu kesempatan ada masa dimana nikmat kebebasan tidak lagi bermakna terlebih jika masih mengkedepankan indahnya kebebasan disaat keimanan -disadari ataupun tidak- tergerus oleh kekejaman kebebasan itu sendiri. Maka kemudian ada orang-orang yang lebih memilih berada dibalik jeruji-jeruji penjara menggadaikan nikmat kebebasannya untuk mempertahankan nikmat tertinggi mereka, yakni nikmat Iman. Hal ini pernah dicontohkan oleh Nabi Allah, Yusuf alaihi salam yang dengan tegas mengatakan, "Penjara lebih aku cintai daripada melakukan sesuatu yang membuat Allah murka" saat setelah ia digoda Zulaikha.

Sebagai makhluk yang oleh Allah diciptakan dengan bentuk yang sempurna dengan keutuhan akal, ruh, dan jasad dan dipilihnya manusia sebagai khalifatu fil ardh, Tentu Allah tidak salah memilih manusia untuk mengemban tugas terhormat di bumi setelah sebelumnya langit, bumi dan bukit-bukit bergetar ketakutan menolak ketika diamanahkan tugas yang sama oleh Allah. Pilihan itu jatuh kepada manusia karena pada manusia lah didapatkan dua sifat Allah, sifat keagungan, kebesaran Allah dan sifat Keindahan, Kasih Sayang, Kemahapemurahan Allah.

Menurut Ibnu Arabi, semua makhluk Allah -selain manusia- hanya membawa satu saja dari dua sifat Allah swt. Halilintar, misalnya, hanya membawa dalam dirinya sifat Kebesaran dan Keagungan Tuhan saja. Sementara yang lainnya, hujan, hanya membawa sifat Kasih Sayang atau Kemahapemurahan-Nya. Tapi pada diri manusia ada potensi untuk menggabungkan kedua dimensi itu. Karena, manusia bukan saja khalifah, melainkan juga seorang abdi. Dalam posisinya sebagai hamba, manusia sama seperti makhluk-makhluk Allah yang lain. Pada posisinya sebagai khalifah, ia menonjol dibanding makhluk-makhluk yang lain. Manusia memiliki berbagai keistimewaan.

Namun, meski berbagai keistimewaan dimiliki manusia dengan kelebihan penciptaan yang lebih sempurna oleh Allah swt tersebut, uniknya masih saja banyak saja manusia yang lebih rela menggadaikan nikmat yang jauh lebih tinggi sekedar untuk menikmati hidup didunia yang fana ini, sementara mereka tidak menyadari keimanan mereka terus tergerus, sementara saudara-saudaranya dibelahan bumi yang lain berlomba-lomba menjual nikmat hidup tersebut untuk menebus kemerdekaan mengusung keimanan. Mereka, tentu sudah sangat mampu mengendalikan kehidupan dan bukan dikendalikan oleh hidup.

Maka tidaklah salah ketika Rasulullah mensinyalir bahwa ada satu masa dimana musuh-musuh Allah tidak merasa takut dan gentar dengan ummat muslim yang jumlahnya begitu banyak. Hal itu karena ummat saat itu dihinggapi penyakit al-wahnu, cinta dunia dan takut mati. Yang demikian ini tentu berlawanan dengan cerita yang juga dari Rasulullah tentang Nabi Ibrahim as ketika nyawanya mau diambil. Ibrahim bertanya kepada Malaikat Maut, "Apakah seorang Kekasih akan mematikan kekasihnya?" Lalu Tuhan menjawab melalui Malaikat Maut, "Apakah engkau berpikir bahwa seorang pecinta tak ingin berjumpa dengan kekasihnya?" Ibrahim kemudian berkata, "Kalau begitu, sekarang ambillah nyawaku!" Karena itulah, dalam Al Qur'an surat Al Jumu'ah ayat 6 disebutkan: Maka harapkanlah kematian jika kalian betul-betul cinta. Kematian adalah tanda cinta yang sejati. Kalau orang sudah mencintai kematian, itu artinya ia sudah memiliki kecintaan kepada kepada Allah swt. Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu Gautama)

eramuslim - Namanya Hambali, 25 tahun, kakak dari enam adik itu sudah tiga hari ini selalu terlambat datang ke masjid untuk sholat shubuh berjama’ah, namun meski terburu-buru ia masih menyempatkan diri menjadi masbuk atau bahkan setelah jama’ah lainnya sudah mengucapkan salam. Tak apalah, katanya, yang penting ia dan adik-adiknya tak absen ke masjid untuk berjama’ah. Sebelumnya ia tak pernah begitu, wajar karena empat hari yang lalu, dini hari sekitar pukul 03.00 ayahnya yang tukang angkut sampah di perumahan sekitar tempatku tinggal, meninggal dunia. Makanya, kalau dulu ada yang membantunya membangunkan adik-adiknya untuk bersiap-siap shubuh di masjid, kini ia harus melakukannya sendiri. Pasalnya, dua belas tahun lalu, ibunya telah terlebih dulu meninggalkan mereka saat melahirkan si kecil, Salma.

Hambali dan semua adiknya, memang bersedih ketika ayah mereka meninggalkan mereka saat tengah terlelap. Tak dinyana, perjumpaan sesaat sebelum tidur semalam adalah terakhir kali mereka bercanda dengan ayah mereka. Namun Hambali tetap tegar, sebagai kakak tertua dari enam adiknya, ia merasa harus menunjukkan bahwa bagaimanapun kesedihan melanda, mereka tak bolah larut. Tetap tegak menatap hari esok, sambil berpikir bagaimana berjalan tanpa pegangan kokoh yang keduanya telah hilang sekarang, tanpa bimbingan orangtua, tanpa ada lagi tempat mengadu, apalagi minta uang saku sekolah bagi adik-adiknya.

Pagi ini di depan gang sambil menunggu kendaraan, aku bertemu Hambali. Ia sudah kembali bekerja –menjadi pesuruh di sebuah lembaga tinggi negara-. Ia tersenyum melihatku, padahal masih ada kegetiran didadaku merenungi nasib Hambali dan adik-adiknya. Namun pagi itu Hambali memberi pelajaran terbaik buatku ketika ia mengatakan, “Allah menyayangi anak-anak yatim, kalau dulu sewaktu ibu meninggal, masih ada bapak yang menyayangi. Saya yakin selama ini Allah sudah menyayangi kami. Tapi kini, keyakinan saya bertambah bahwa Allah semakin sayang kepada kami. Cara Dia mengambil bapak dari tengah-tengah kami, menumbuhkan keyakinan didiri kami kalau Allah ingin lebih total mencurahkan cinta dan kasih sayangnya, tinggal bagaimana kami tetap tawakal dan bersyukur atas segala kehendak-Nya, seraya bersegera membalas cinta-Nya”.

Subhanallaah … aku tak menyangka Allah berikan kekuatan hati melebihi ketegaran batu karang di lautan, lebih kokoh dari gunung-gunung yang berdiri menjulang kepada seorang anak yatim piatu. Nampaknya, keyakinannya terbukti, bahwa kasih sayang Allah tengah tercurah kepada mereka, Hambali dan semua adiknya. Saat itu juga aku menengok ke dalam hati ini yang begitu kerdil, cengeng, sering tidak kuat ketika menerima cobaan hidup, dan terkadang memaki-maki Allah menganggap Ia tak adil memberikan keputusan-Nya kepadaku. Padahal, aku disampingku masih ada dua orangtua yang sehat dan bugar, keadaan ekonomi keluargaku pun masih lebih baik dari Hambali.

Nampaknya falsafah air semakin ditekan kebawah semakin besar dorongannya keatas, menjadi pelajaran tersendiri buatku. Hambali, juga semua anak-anak yatim di negeri ini jauh lebih tegar, hati mereka sekokoh gunung, justru karena setiap hari mereka ditempa cobaan yang tak henti-hentinya, sehingga mereka menjadi terbiasa menghadapi semua cobaan, ujian hidup seberat apapun. Jika anak-anak yatim itu melihat kecengenganku ketika tertimpa cobaan kecil saja misalnya, mungkin mereka akan tertawa terbahak-bahak dan menganggap aku seorang yang tidak bakal mampu bersaing melawan kerasnya kehidupan.

Padahal dengan semua kelebihan yang kumiliki, seharusnya aku jauh lebih kuat dari mereka, jauh lebih tegar menghadapi cobaan hidup. Toh aku masih punya tempat berpegang ketika merasa tak kuat, atau setidaknya kedua orangtuaku akan memapahku seraya membangunkanku ketika aku jatuh. Lagi pula, seharusnya juga aku bisa menjadi kaki-kaki kokoh yang membantu Hambali dan anak-anak yatim itu tegak berdiri. Dengan kelebihan yang kupunya, seharusnya kuberikan sebagiannya kepada mereka, agar senyum keceriaan menikmati hidup tak hanya milik orang-orang berpunya.

Lalu apa artinya sholatku selama ini jika keberadaanku tak berarti apapun bagi anak-anak yatim dan orang miskin di sekitarku. Padahal Allah menempatkan urutan diatas sebelum memperbaiki sholat seorang mukmin adalah memperhatikan anak-anak yatim dan orang miskin (QS. Al Maa’uun).

Tentu bukan hanya Hambali dan Salma anak yatim di negeri ini, tengoklah kesamping kanan dan kiri kita, masih banyak anak-anak yang tak dapat menikmati sarapan pagi, sementara kita santai menghabiskan uang untuk makan di tempat mahal. Tidak sedikit dari mereka yang tak memiliki pakaian layak, sementara kita sibuk setiap hari membeli model terbaru untuk penampilan kita. Kita merasa puas dan senang jika bisa mengajak beberapa teman untuk makan bersama, tapi tak pernah bergetar menyaksikan mulut-mulut ternganga yang memperhatikan kita dibalik kaca restoran. Padahal sesungguhnya saat itu juga, kita tengah mengesampingkan kunci surga yang tergeletak dihadapan kita. Tak semestinya, kita membiarkan kunci surga itu terbuang begitu saja atau diambil orang-orang selain kita yang memang berlomba mendapatkannya.

Hmmm, aku tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya Hambali, Salma dan seluruh anak-anak yatim di negeri ini di bulan ramadhan yang akan segera tiba ini. Karena bukankah salah satu kebahagiaan ramadhan adalah sahur dan berbuka bersama dengan seluruh keluarga. Mungkinkah masih ada keceriaan di hari raya nanti bagi mereka, saat tak ada lagi pakaian baru dan makanan enak di rumah mereka, ketika tak ada lagi tangan-tangan hangat yang harus mereka kecup di hari fitri itu. Jawabnya ada pada diri kita, yang Allah titipkan rezeki mereka pada sebagian dari harta yang kita miliki. Kalaulah si Anak Yatim Baginda Rasulullah begitu memuliakan anak-anak yatim, kenapa kita yang mengaku sebagai pengikutnya tidak meniru? Wallahu’a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)