Tampilkan postingan dengan label Forum Diskusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Forum Diskusi. Tampilkan semua postingan

03 April 2009

LOYALITAS SUPORTER HANYA UNTUK SEPAKBOLA

Written By : Mr_Smile94

Cyber News : Loyalitas suporter terhadap suatu tim yang didukungnya merupakan hal yang penting. Sifat loyalias itu menunjukkan bahwa supporter tersebut memang benar-benar setia memberikan motivasi buat tim maupun pemain. Berbagai cara bagaimana suporter itu menunjukkan jatidirinya sebagai pendukung fanatik. Fanatisme seorang suporter terhadap suatu tim adalah hal yang sangat wajar dalam gelanggang sepakbola tanah air. Mereka rela melakukan segala macam cara untuk menunjukkan fanatisme dan loyalitas yang nyata terhadap tim dan pemain idolanya.

Ketua Umum SNEX Edi Purwanto (Caleg)

Sepakbola tanah air, khususnya Semarang melahirkan puluhan ribu militan suporter sepakbola. Tongkat estafet fanatisme PSIS Semarang terus berlanjut sampai sekarang. Untuk menampung ribuan fans yang yang memiliki satu kesamaan minat dan tujuan maka didirikan suatu paguyubuan/komunitas/perkumpulan/organisasi yang menampung segala aspirasi fans PSIS Semarang. Salah satu organisasi suporter yang eksis di Semarang yaitu SNEX atau "Suporter Semarang Extreme".

Dimasa-masa Pilkada, Pilgub, Pileg, Pilpres, dan pil-pil lainnya, suporter merupakan magnet yang terlalu indah untuk dilalui. Bayangkan saja, di tiap pertandingan hampir 10 ribu-20 ribu maniak bola hadir di stadion. Andaikata semua suporter tersebut kompak mencontreng si caleg A misalnya, kursi di Gedung Berlian menanti. Nah, masa-masa inilah suporter (baca : pengurus) untuk memanfaatkannya sebagai salah satu lahan proyek 5 tahunan.

Dengan memiliki massa ribuan para elit partai politik dan politisi untuk berlomba-lomba menarik simpati suporter dengan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan sepakbola. Masih ingat JSM (Jateng Suporter Mania), atau POSJATENG pada waktu Pilgub Jawa Tengah tahun lalu, ini merupakan trik manis dalam menjaring suara suporter yang ada di Jawa Tengah. Berhasilkah ??? Ternyata TIDAK.


Mengapa demikian...seperti judul diatas "Loyalitas Suporter Hanya Untuk Sepakbola", memang BENAR. Ketika seorang suporter kembali komunitas asal (masyarakat), maka dia akan kembali pula mejadi merah, biru, kuning, biru, hijau bahkan putih alias golput. Organisasi suporter sepakbola tidak punya kekuatan untuk menggiring seorang suporter untuk memilih sesuai dengan keinginan pengurus. Mutlak di perlukan netralitas organisasi suporter seperti SNEX untuk menyikapi fenomena pemilihan langsung saat ini. Andaikata ada salah satu anggota atau pengurus SNEX yang terlibat dalam parpol, penggalangan massa, atau pencalegkan untuk sebaiknya (seharusnya) meninggalkan atribut dan logo SNEX.

Salah satu contoh di Solo dengan Pasoepatinya, kehadiran Maryadi yang lama menghilang, tiba-tiba muncul kembali di Stadion Sriwedari menimbulkan banyak cemoohan, hujatan, untuk si gondrong itu, namun ada juga yang memuji dan menantikan aksi-aksi. Alasan publik solo karena maryadi gondrong keluar dari sarangnya ketika pemilu telah tiba. berita lengkapnya disini.

Fenomena ramainya pengurus manajemen PSIS dan ketua-ketua umum suporter yang ada di Semarang untuk menjadi caleg dalam satu bendera patut dicermati. Lagi-lagi suporter yang menjadi sasaran utama sebagai kantong suara di daerah masing-masing. Kecuali Yoyok Sukawi yang mempunyai banyak jaringan di luar suporter yakni dengan menggunakan link-link yang telah di bangun Bapaknya pada waktu Pilwakot dan Pilgub, yang lainnya hanyalah sebagai Vote Getter. Kita lihat saja apakah metode dengan merangkul suporter efektif untuk memperoleh hasilyang signifikan. Kita tunggu tanggal 9 bulan 4 besok. (03/04)

Selamat Mencontreng, Jadilah Suporter yang bijak. Jangan Golput.
Mari kita sepakat bahwa Pemilihan Calon Anggota Legilatif 2009 haruslah orang yang berkualitas dan mumpuni untuk membenahi kota kita kota Semarang tercinta.


[+/-] Selengkapnya...

24 September 2008

Konflik Multikultur di Balik Gemerlap Sepakbola

Sepakbola, sebuah olah raga yang berasal dari daratan Inggris, telah menempatkan dirinya sebagai olah raga paling populer di muka bumi ini. Popularitas olahraga ini nyaris berlaku di setiap negara, dengan pengecualian beberapa negara, seperti di Amerika Serikat di mana American football dan bola basket lebih populer dibandingkan dengan sepakbola, di India dan Pakistan di mana kriket menjadi olahraga yang paling banyak digandrungi oleh penduduknya. Namun, bukan berarti sepakbola di negara-negara tersebut kehilangan rohnya untuk menjadi olahraga nomor satu. Buktinya di tahun 1994, Amerika Serikat sukses menyelenggarakan Piala Dunia (World Cup) dan di luar dugaan penyelenggaraan Piala Dunia di Amerika Serikat mencatat rekor sebagai pertandingan Piala Dunia yang paling banyak ditonton oleh suporter yang datang membanjiri stadion yang menjadi venue dari babak penyisihan sampai final yang mengantarkan Brasil sebagai juara dunia untuk keempat kali.

Di tahun 2006, nyaris seluruh mata penggemar olahraga tertuju pada Piala Dunia yang diselenggarakan di Jerman. Tiket pertandingan terjual habis, bahkan jauh hari sebelum penyelenggaraan pertandingan. Berbagai stasiun televisi di seluruh dunia berusaha memperebutkan hak siar pertandingan Piala Dunia yang harganya tidak terbilang murah. Begitu pula dengan berbagai industri yang berusaha melakukan pemasaran produknya dengan menjadi sponsor Piala Dunia. Media massa, baik cetak, elektronik maupun cyber mem-blow up even ini dengan berbagai sudut pandang. Media olahraga menambah jumlah halamannya demi pemuatan pemberitaan Piala Dunia yang lebih komprehensif bagi pembacanya, media ekonomi memuat kajian ekonomi penyelenggaraan Piala Dunia dan koran harian umum menambah suplemen khusus Piala Dunia. Iklan-iklan saling berlomba-lomba untuk menjadi lebih bernuansa sepakbola walaupun produk yang diiklankan tidak menjadi sponsor resmi Piala Dunia.

Nonton bareng Piala Dunia marak di berbagai tempat, mulai dari nonton bareng yang resmi digelar oleh sponsor resmi Piala Dunia di kafe sampai lapangan luas maupun nonton bareng “tidak resmi” yang berlangsung di sudut-sudut gang yang sempit. Demam Piala Dunia tak pelak lagi menjalar secara cepat dan massif. Layaknya menjadi aneh jika tidak ikut demam Piala Dunia. Bagaimanapun juga sepakbola bukan lagi semata-mata olahraga, namun telah bergeser menjadi sebuah industri budaya ( Joseph dan LaRose, 1997 : 46).

Sepakbola dan Isu Multikultur


Menariknya, isu-isu politik dan budaya kembali menghangat dalam penyelenggaraan Piala Dunia kali ini. Isu politik yang terutama adalah wacana pencekalan tim nasional (timnas) Iran yang banyak disuarakan oleh Amerika Serikat dan para sekutunya karena keengganan Iran untuk menerima inspeksi dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dalam industri uraniumnya yang dituduh oleh Amerika sebagai pengayaan uranium sebagai sarana pembunuh missal. Isu politik ini kemudian merembet ke isu kultural, tatkala para pendukung Neo Nazi mengungkapkan rencana mereka untuk mendukung timnas Iran dalam setiap pertandingan yang mereka lakoni, terutama setelah pernyataan Presiden Iran, Ahmajinejad bahwa holocaust yang menimpa kaum Yahudi semasa Perang Dunia II oleh Adolf Hitler adalah omong kosong belaka. Statemen yang tentu saja mengundang simpati para pendukung Neo Nazi yang memendam kebencian dan prasangka terhadap kaum Yahudi.

Ancaman kaum Neo Nazi ini mengingatkan kita pada Liga Italia (Seri A) yang di tahun 2005/2006 semakin sering diwarnai rasisme. Pemain-pemain berkulit hitam seringkali menerima teror suporter yang meneriakan suara-suara monyet. Bahkan, Zorro, pemain klub Mesina yang kebetulan berkulit hitam pernah mogok bertanding saat menerima teror rasis dari pendukung Inter Milan saat kedua klub bersua di San Siro, Milan dalam putaran Seri A tahun 2005/2006. Spanduk-spanduk dengan kalimat rasis berdampingan dengan spanduk bernada fasis yang seringkali dihiasai gambar Benito Musolini, pemimpin fasis Italia di tahun 1930-an sampai akhir Perang Dunia kedua, menjadi alat teror bagi pemain non kulit putih kerap dijumpai di tribun suporter . Fenomena simbol-simbol kultural yang meresahkan otoritas sepakbola Italia (FIGC) ini kemudian memaksa FIGC mewacanakan pelarangan suporter membawa spanduk ke dalam stadion.

Di La Liga Spanyol dan Premier League Inggris fenomena serupa juga marak terjadi dengan beberapa fenomena yang bersifat khusus. Di Spanyol misalnya, konflik orang-orang Catalan dengan pemerintah pusat Spanyol terjadi dalam pertarungan simbol budaya antara Barcelona dan Real Madrid. Begitu pula saat Real Madrid bersua dengan Barcelona. Pemain kedua kesebelasan papan atas di tanah Spanyol ini nyaris tidak pernah lepas dari peseteruan dan drama yang menghebohkan di lapangan dan juga di media, bukan hanya media massa di Spanyol namun juga di seluruh dunia. Salah satu klimaksnya adalah tatkala Luis Figo, yang selama bertahun-tahun menjadi pahlawan Catalan, memutuskan hijrah ke Real Madrid, suporter Barcelona segera mengutuknya dengan mentasbihkan Figo sebagai pengkianat. Ludah suporter di Nu Camp acapkali menghampiri Figo yang tengah bersiap melakukan tendangan pojok ke arah gawang El Barca ketika ia yang telah berbaju Los Galaticos bermain di atas rumput Nu Camp. Puncaknya adalah ketika kepala babi dilemparkan ke arah Figo yang bersiap menendang bola dari pojok lapangan. Klimaks yang lain adalah saat Barcelona merayakan kemenangannya sebagai juara La Liga tahun 2005, Samuel Eto’o striker Barcelona yang dulunya disingkirkan dari skuad Los Galaticos, mengumpat mantan klub yang telah menyingkirkannya. Umpatan yang kemudian mengharuskannya meminta maaf dan berbuah denda dari Federasi Sepakbola Spanyol.

Di Inggris, beberapa pemain asli Inggris kerap menjadi santapan empuk media karena sering berurusan dengan polisi melalui tindakan rasial yang mereka lakukan, bahkan di luar pertandingan, seperti yang dilakukan oleh Lee Bowyer pemain kontroversial asal Newcastle United yang melakukan penyerangan terhadap pemuda imigran Asia di tahun 2005.

Konflik multikultur yang diawali oleh perang simbol ini juga merambah ke Liga Indonesia (Ligina). Setiap pertandingan antara Persija Jakarta melawan Persebaya Surabaya bisa dipastikan atmosfer pertandingan menjadi jauh lebih panas jika dibandingkan dengan pertandingan-pertandingan lain yang dimainkan keduanya melawan klub-klub lain. Panasnya suhu di tengah lapangan hijau tidak jarang memancing pemain kedua klub untuk saling jegal kaki dan dorong-mendorong. Lebih ganas lagi adalah perseteruan antara pendukung kedua kesebelasan yang dikenal militan dan fanatik. Jakmania dan Bonek sempat beradu fisik bahkan sebelum pertandingan antara kedua klub yang mereka dukung dalam pertandingan delapan besar Liga Indonesia tahun 2005 di Stadion Gelora Bung Karno. Dengan alasan untuk menghindari benturan kedua suporter yang akan menyebabkan bonek disinyalir akan di sweeping oleh Jakmania bahkan telah menyebabkan manajemen Persebaya mundur dari pertandingan penyisihan delapan besar, dan dampaknya Persebaya harus turun ke kasta divisi satu sebagai bentuk hukuman PSSI terhadap tindakan Persebaya.

Satu musim sebelumnya, manajemen Persebaya menolak kedatangan Jakmania di Stadion Gelora Sepuluh November dalam pertandingan paling menentukan antakedua kesebelasan. Di bawah tekanan bonek, Persija yang datang ke Gelora Sepuluh November, Tambaksari Surabaya tanpa dukungan Jakmania lengkap dengan simbol-simbol Betawi yang dibawa oleh Jakmania dalam berbagai spanduk yang mereka rentangkan saat pertandingan, harus bertekuk lutut dan menyaksikan pemain dan suporter Persebaya bersorak menjadi klub pertama yang mampu dua kali merebut Piala Presiden.

Konflik antara Viking dengan The Jak juga tidak bisa dilupakan begitu saja. Jarak yang dekat antar kedua kota bukannya membuat pendukung kedua kesebelasan rukun, namun justru malah semakin membuat konflik diantara keduanya menjadi membara. Film dokumenter berjudul The Jak yang diproduksi Bogalakon Pictures bahkan secara jelas menampilkan provokasi suporter dari ibukota terhadap Viking. Adegan teatrikal sekelompok pendukung Persija yang menyiksa ”seorang berbaju Persib” sesaat sebelum pertandingan Persija menjadi salah satu bentuk provokasi yang nyata, begitu juga adegan penyerangan yang dilakukan The Jak terhadap Viking di tribun stadion dan belum lagi kata-kata yang secara agresif menyerang Viking.Tidak aneh jika kemudian suporter sepakbola selalu diidentikan dengan segerombolan anak muda yang suka berbuat onar, pengangguran dan tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi (Suyatna dkk, 2007:46).

Rivalitas Pusat Versus Daerah
Kedua rivalitas klub sepakbola di Indonesia dan Spanyol ini memiliki kesamaan. Real Madrid, sebagaimana juga Persija, adalah representasi dari pusat (core) yang selalu mengganggap dirinya harus menjadi lebih dengan yang lain dan jangan sampai terkejar oleh daerah, atau dengan kata lain pusat acapkali dihinggapi sindrom superioritas. Sedangkan Barcelona, sebagaimana pula Persebaya, merupakan bentuk representasi dari daerah yang lebih maju dibanding daerah-daerah yang lain, namun bagaimanapun juga tetap nomor dua setelah pusat atau dengan kata lain tetap menjadi “pinggiran” (periphery). Daerah dianggap sebagai subkultur yang berbeda dengan budaya yang berasal dari pusat (Gamble dan Gamble, 2005 : 37).

Pusat memandang daerah nomor dua, dan daerah pun tidak akan terima jika selalu dianggap sebagai nomor dua. Tak ayal, motivasi daerah seringkali sangat membara untuk mengejar pusat. Bara yang seringkali membakar rumput stadion dan tribun penonton melalui permainan yang keras dan saling umpat antarsuporter. Secara politik maupun ekonomi, daerah boleh nomor dua, namun tidak dalam ranah sepak bola, demikian kata orang daerah.

Dengan memakai semiotika Roland Barthes sebagai sebuah kaca mata analisis, rivalitas ketat antarkesebelasan yang merepresentasikan resistensi daerah terhadap dominasi dan hegemoni pusat sebagaimana terlihat dalam rivalitas Real Madrid dengan Barcelona dan Persija dengan Persebaya, dapat dilihat sebagai sebuah petanda (signifier) adanya sebuah resistensi kultural, sebuah perlawanan yang dilakukan daerah terhadap melalui simbol-simbol kultural yang berbentuk sepakbola dengan segala atributnya. Resistensi yang menunjukan adalah strategi pemisahan (separation strategy) daerah dalam relasi budayanya dengan pusat (Gamble dan Gamble, 2005 : 37)

Resistensi kultural daerah melawan hegemoni pusat melalui sepakbola tidak hanya terjadi dalam sebuah tatanan negara-bangsa (nation-state), namun juga terjadi dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu lokalitas. Perseteruan abadi antara Persebaya dan Arema yang sering menyebabkan Bonek dan Aremania susah untuk berjabat tangan merupakan contoh konkret rivalitas daerah dengan pusat dalam ruang lingkup sebuah propinsi. Surabaya yang dalam tataran nasional duduk sebagai kota nomor dua setelah Jakarta, berada di urutan yang sama dengan Jakarta dalam tingkatan propinsi Jawa Timur. Setelah Surabaya, barulah Malang yang berhak menyandang nomor dua. Ketika Aji Santoso memutuskan hijrah dari Arema ke Persebaya di pertengahan tahun 1990-an, Aremania segera memahatkan namanya sebagai pengkianat. Sebuah kutukan yang sama yang diterima Figo ketika murtad dari tanah Catalan.

Bentrokan antara pendukung PSIS Semarang dan Persijap Jepara dalam derby Jawa Tengah yang panas membara di awal bulan Maret 2006 adalah petanda lain yang menunjukan rivalitas yang kuat antara Semarang sebagai pusat Jawa Tengah dan Jepara sebagai daerah yang tidak mau selalu dianggap sebagai inferior. Bentrokan berdarah yang membawa banyak korban berjatuhan karena bentrokan antarkedua pendukung kesebelasan merembet keluar lapangan dengan memakai pentungan dan senjata tajam.

Di Yogyakarta, kota yang terkenal dengan sopan santun budaya Jawa, konflik antara Brajamusti, pendukung setia PSIM Jogjakarta, dan Slemania, pendukung PSS Sleman juga tidak bisa dilupakan. Saat PSS belum memiliki stadion yang representatif di bilangan Maguwoharjo, Slemania terpaksa melintasi wilayah Kota Yogyakarta untuk mendukung PSS bertanding di Stadion Mandala Krida. Akibatnya sungguh fatal, provokasi Brajamusti di wilayah Brajamusti garis keras seperti di Gayam yang notabene merupakan salah satu akses utama ke stadion acapkali menimbulkan bentrokan fisik diantara warga Ngayogyakarta Hadiningrat ini.

Konflik ini kemudian diwariskan oleh Brajamusti kepada Paserbumi, pendukung Persiba Bantul, yang sebelumnya lebih mendukung PSIM daripada PSS. Bentrokan antara Slemania dan Paserbumi pecah tatkala kedua tim bertemu di Coppa Indonesia 2006 di Stadion Pacar, Bantul tatkala PSS bertamu ke Persiba.

Dengan memakai pendekatan Louis Althusser yang memandang ideologi sebagai sesuatu yang terdiri atas relasi imajiner (imaginary relationship) dan keberadaan material (material existence) sebagai perwujudan nyata sebuah ideologi, agaknya sepak bola telah menjadi sebuah ideologi resistensi orang daerah yang selama ini selalu dianggap nomor dua oleh pusat dan publik secara lebih luas (Payne, 1996 : 225). Ada relasi imajiner yang selalu menjiwai kesebelasan yang berada di daerah untuk tampil lebih fight saat berhadapan dengan kesebelasan yang berasal dari pusat. Ada juga pertandingan keras antarkedua kesebelasan yang acapkali diikuti bentrokan-bentrokan antarpemain di lapangan hijau dan suporter, yang berlangsung bukan hanya di tribun penonton namun juga di luar stadion yang menjadi bentuk nyata dari ideologi resistensi kultural daerah terhadap pusat melalui sepak bola.

”Etnosentrisme” dalam Perang Simbol
Suporter sepakbola pada umumnya berusaha menampilkan simbol kedaerahan mereka masing-masing. Sebagai sebuah keragaman budaya hal ini tentu wajar-wajar saja, namun yang menjadi menggelisahkan adalah simbol-simbol yang digunakan kerap diwarnai etnosentrisme (Lewis dan Slade, 1994 : 131). Pendukung Barcelona misalnya, selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Catalan yang lebih superior. Identifikasi inilah yang kemudian membawa semangat etnosentrisme. Bagi pendukung Real Madrid, merekalah yang layak mengklaim dirinya sebagai nomor satu, karena bagaimanapun juga secara prestasi lebih monumental dibandingkan dengan Barcelona. Namun, pendukung Barcelona dapat berkilah bahwa prestasi Real Madrid tidak lepas dari “pilih kasih” pemerintahan pusat, terutama di masa Jendral Franco yang terkenal sebagai pendukung berat Real Madrid. Jendral inilah yang mengobarkan perang saudara di Spanyol di tahun 1930-an. Perang ini banyak memakan korban orang-orang Catalan sebagai akibat kebijakan Jendral Franco.

Partai Lazio dan Livorno di Seri A Italia adalah partai yang kerap diwarnai etnosentrisme Italia Utara yang lebih makmur dan Italia Selatan yang lebih miskin. Perseteruan yang kemudian merembet dengan melibatkan ideologi politik yang berseberangan, yaitu antara fasisme yang banyak dilekatkan dengan pendukung Lazio dan sosialisme-komunis yang banyak dilekatkan kepada pendukung Livorno. Tidak aneh jika kedua kesebelasan bertemu, ancaman bentrok antar tifosi (suporter) lebih besar kemungkinannya daripada jika mereka bertemu dengan kesebelasan lain.

Etnosentrisme ini juga mewabah di Ligina yang notabene diselenggarakan di negara yang jauh lebih multikultur dibandingan dengan Spanyol ataupun Italia. The Jak, nama lain suporter Persija selain Jakmania, selalu membawa spanduk besar bergambar Benyamin dengan baret ala Che Guevara saat mendukung Persija bertanding di Stadion Lebak Bulus, Jakarta. The Lassak (Laskar Sakera), pendukung Persekabpas Pasuruan juga tidak mau kalah dengan menampilkan spanduk bergambar Sakera yang mengidentifikasi mereka sebagai orang Madura, walaupun Pasuruan sebenarnya secara geografis berada di Pulau Jawa namun kebanyakan penduduknya adalah pendatang dari Pulau Madura.

Tokoh dalam legenda lokal seperti Sakera memang kerap dipakai untuk menunjukan eksistensi subkultur daerah sebuah klub sepakbola di Indonesia. Persitara Jakarta Utara berusaha menunjukan eksistensi mereka sebagai keterwakilan budaya Betawi mengalahkan Persija, setidaknya mengalahkan Persija dalam klaim sebagai wakil subkultur Betawi, dengan menyebut diri mereka sebagai Laskar Si Pitung, sosok legendaris kaum Betawi yang berani mengangkat senjata melawan pemerintahan kolonial Belanda.

Persijap Jepara juga tidak mau ketinggalan dengan menyebut diri mereka sebagai Laskar Kalinyamat. Kata “Kalinyamat” mengingatkan pada sosok Ratu Kalinyamat seorang legenda lokal yang ditindas oleh rezim Sultan Trenggana pada masa peralihan Demak ke Pajang di masa awal kerajaan Islam di tanah Jawa. Jika demikian, bisa jadi jika dulu Ratu Kalinyamat berontak pada pusat yang bernama Demak, maka sekarang suporter Persijap saat ini mempersonifikasikan pusat sebagai PSIS. Tak heran pula jika terjadi kerusuhan saat kedua klub tersebut bertemu di lapangan hijau. Yang kemudian menjadi kian mengkhawatirkan adalah legenda-legenda lokal di atas digunakan sebagai simbol etnosentrisme yang mesuperiorkan budaya sendiri dan menganggap subkultur lain sebagai yang lain (the other) yang lebih inferior (Lewis dan Slade, 1994 : 131).

Pemakaian bahasa dan idiom lokal juga mewarnai atmosfer pertandingan Ligina. Aremania, suporter Arema, mengidentifikasi diri mereka sebagai “Kera Ngalam” yang berarti Arek Malang. Pembalikan huruf dalam sebuah kata yang oleh Saussure disebut sebagai anagram menjadi bentuk representasi lokalitas subkultur Malang yang bisa jadi adalah usaha orang Malang untuk berbeda dengan Surabaya yang menjadi pusat kekuasaan di Jawa Timur.
Nama Arema juga merujuk pada sebuah legenda kebanggaan Malang. Kidung Harsawijaya pertama kali mencatat nama tersebut tentang kisah Patih Kebo Arema di saat pemerintahan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari, yang menjadi penyokong utama politik ekspansionis dari Raja Kertanegara (Henry, 2007:97).

Binatang adalah simbol-simbol kultural yang juga sering digunakan untuk menunjukan eksistensi subkultur tertentu. Persebaya, dengan penuh kebanggaan menggunakan simbol ikan dan buaya. Simbolisasi ini tidak lepas dari legenda kelahiran kota Surabaya yang konon terjadi karena pertarungan antara Sura (ikan) dan Boyo (buaya).

Klub yang didirikan oleh Paijo dan M. Pamoedji pada tanggal 18 Juni 1927 dengan nama awal Soerabaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB). Penggunaan kata Indonesische ini menunjukan semangat nasionalisme dari arek-arek Surabaya, bahkan setahun sebelum sumpah pemuda dikumandangkan. Semangat nasionalisme ini kemudian semakin nyata ketika SIVB menjadi salah satu pendiri PSSI pada 19 April 1930 (Henry, 2007:98). Sayangnya semangat nasionalime ini kemudian berganti menjadi baju menjadi chaos, terutama andil para bonek yang menjadi pendukung garis keras Persebaya. Istilah bonek berasal dari Bahasa Jawa yang berarti modal nekat. Salah satu kekacauan yang disebabkan oleh bonek adalah partai perempat final Coppa Indonesia 2006 di Stadion Tambaksari Surabaya. Persebaya yang kalah pada gim pertama dituntut menang pada gim kedua. Tapi skor masih tetap 0-0, dan para bonek mulai berulah. Mereka menghancurkan dan membakar perangkat stadion, dan di luar stadion mobil Telkom, Anteve, TNI AL dan beberapa yang lain menjadi arang (Henry, 2007:99).

Tidak mau kalah dengan Persebaya, Arema yang selama ini menjadi rival Persebaya untuk menjadi nomor satu – setidaknya di Jawa Timur – memakai Singa sebagai logo mereka. Logo Singa yang digunakan oleh Arema tidak lepas dengan pendirian klub ini pada bulan Agustus yang dalam astrologi berarti Leo dan berlambang singa. Awalnya pamor Arema kalah mengkilap disbanding saudara tuanya, Persema Malang, namun kesuksesan Arema menjuarai Galatama pada edisi tahun 1992 merubah angin dukungan kepada Arema, dan lambat laun prestasi Persema yang menyurut berbanding lurus dengan semakin kecilnya dukungan yang mereka dapatkan dari para suporter di Malang.

Dilihat dari usia, Persebaya jauh lebih tua dari Arema karena klub ini telah berdiri sejak masa kolonialisme Belanda, sedangkan Arema baru berdiri tanggal 11 Agustus 1987. Namun jika kita melihat pada cerita fabel, pastilah raja hutan selalu dilekatkan pada singa bukan pada buaya atau ikan. Dari sini terlihat bahwa Arema secara tidak langsung melakukan klaim bahwa merekalah yang menjadi raja persepakbolaan, setidaknya di Jawa Timur, bukan Persebaya yang jauh lebih tua dan notabene berada di pusat kekuasaan propinsi di bagian timur Pulau Jawa ini.
Yang semakin membuat konflik ini mengeras adalah kemunculan koalisi antarkelompok suporter. Perang simbol melalui media internet mengawali konflik yang semakin terbuka dan meluas.

Akhir kata, sepakbola yang telah menjadi sebuah industri budaya, ternyata memendam bara konflik multikultur yang telah mulai mematik konflik di antara pemain dan tentu yang paling sering adalah suporter. Konflik yang terjadi di berbagai liga sepakbola di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia yang berbhineka tunggal ika ini. Lebih mengerikan lagi adalah adanya koalisi antarkelompok suporter yang menjadikan area konflik akan semakin meluas dan perseteruan juga bakal semakin mengganas.


Sumber : fajarjun.blogspot.com

[+/-] Selengkapnya...

09 Agustus 2008

RASIS DAN FENOMENANYA

Cyber News by : Noor - Sepak bola sebagai olahraga dan industri kini terancam oleh rasisme. Para pemain kulit berwarna (baca: hitam) sangat gusar atas tumbuh dan berkembangnya rasisme seiring makin sengitnya persaingan, baik di tingkat klub maupun antarnegara. Tingkah laku para penonton rasis di hampir seluruh negara dunia, tak terkecuali di Indonesia. Rasis sangat mengganggu eksistensi sepak bola sebagai olahraga yang sangat menjunjung tinggi fair play.

contoh rasis suporter Lazio

Rasis pada intinya adalah mengganggap suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak tinimbang suatu ras/kaum yang lain. Rasispun menyebar sampai ke tingkat SARA (Suku, Agama, Ras). Pengalaman saya ketika hidup di kota Manado, saya sering disebut orang Jawa. Apakah ini juga termasuk rasis ? Akhirnya makna dan arti rasispun mengalami penambahan kata, yaitu menunjukkan kelompok etnis tertentu (etnosentris), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antarras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe).

Mengapa orang melakukan tindakan rasis ? Faktor yang utama adalah masalah diskriminasi sosial dimana jomplangnya kehidupan bermasyarakat kita yang semakin korup dan jauh dari nilai-nilai agama, serta kepenatan sosial yang tidak berubah statusnya. Seperti kemiskinan, penggusuran, pengambilan hakdengan paksa, dan lain-lainnya, sehingga sepakbola yang merupakan olahraga rakyat yang murah (bisa dilakukan di masa saja), digelar disini, dengan tujuan agar semua kepenatan dan kejenuhan di masyarakat dapat di salurkan melalui olahraga ini.

Suporter adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sepakbola. Klub dunia, lokal bahkan klub tarkam pun memiki suporter yang fanatik. Pertarungan dasyat dilapangan bisa dilanjutkan di luar lapangan dengan tingkat kerusakan dan kesadisan yang lebih tinggi. Berkali-kali saya melihat kerusuhan antar suporter, pembakaran hak-hak publik, dan pelecehan seksual pun kerap dilakukan secara terbuka. Banyak sekali faktor yang melatar belakang tindakan-tindakan anarkis itu seperti ketidakpuasan terhadap panpel pertandingan, faktor keberpihakan wasit, dan hal-hal non teknis lainnya yang berkembang pra dan sesudah pertandingan bola.


saat rasis menyerang marc zoro

Kembali ke masalah rasis, andaikata kita semua terlahir dengan warna kulit yang sama, ideologi dan cita-cita yang sama, tentunya masalah rasis tidak ada di dunia ini. Sayang kita tidak sama, berbeda baju berbeda pula penjahitnya. Faktor kedaerahan sangat kental sekali di Indonesia. Seperti jargon : iki lho Semarang, gue anak Jakarta, arek suroboyo, kera ngalam, dll jadi tidak heran dalam nilai-nilai superior pasti ada, tentunya orang Semarang gak mau kalah sama orang Medan (contohnya), persaingan pasti ada, beribu cara dilakukan untuk menjatuhkan mental, sehingga lawan down,dan merasa kalah sebelum bertanding. Cara yang lazim dilakukan dalam sepakbola adalah rasis, dengan mengatakan heii gundul ... heii gondrong.. pendek, koyo kethek, celeng, dll.

Mengapa sekarang digembor-gemborkan istilah “katakan tidak untuk rasis” (say no racism). Padahal dulupun tidak ada komplain tentang ini. Kita bebas mengatakan wasit goblok, wasit suap, PSSI kakeane, pemain anu pekok dsb. Istilah diatas merupakan kampanye FIFA dalam pembelaan terhadap pemain yang ter-rasiskan. Wajar hal itu dilakukan karena sepakbola dunia merupakan bisnis global dan panutan dunia dengan dukungan entertaiment yang bagus didukung dengan pemain yang profesional dan badan sepakbola eropa (EUFA) yang sangat profesional. Lha wong Indonesia meh melu-melu ??

Pukulan telak buat suporter ! Sebenarnya ini adalah pembunuhan klub secara perlahan. Suporter yang berbuat klub yang menanggung. Alasan menurut Hinca Panjaitan ketua Komdis PSSI "Tidak mungkin kita minta denda bayar kepada suporter karena orangnya banyak sehingga yang harus membayar adalah klubnya,". Untuk menghidupi klub saja sudah susah apalagi ditambah denda yang jumlahnya bervariasi.

siapa bilang suporter luar negeri santun ?

Peraturan Kode disiplin terbaru (disahkan tanggal 31 Maret 2008) memuat 152 pasal, dengan tindakan rasis dimuat pada pasal 59 menyebutkan bahwa tindakan ini bisa berupa tingkah laku buruk, diskriminatif atau meremehkan seseorang atau melecehkan seseorang dengan cara apapun dengan tujuan apapun menyerang atau menjatuhkan nama baik orang tersebut terkait dengan pertandingan, warna kulit, bahasa, agama atau suku bangsa atau melakukan rasisme. Kalau pelaku tersebut adalah pemain maka hukumannya adalah sanksi larangan ikut dalam suatu pertandingan lima kali, kalau yang melakukan suporter maka mereka dilarang memasuki stadion sekurang-kurangnya enam bulan dan denda Rp200 juta yang ditanggung oleh klubnya.

Sangar..... tenan ki PSSI bikin Kode Etik ini, dengan peraturan ini, main denda, main cekal, melarang melakukan pertandingan. Namun di lain pihak PSSI melakukan perombakan jadwal pertandingan bisa maju ataupun mundur, perangkat wasit PSSI yang masih bisa “disuap”, ,dll imbasnya klubpun dirugikan, karena jauh-jauh hari sudah melakukan booking tiket pesawat, hotel, mengatur taktik dan strategi, kalau berubah tentunya berubah semua. Apakah Klub dan Suporter bisa mendenda PSSI ?? bisakah ??

Untuk itulah peraturan ditegakkan jika kedua pihak sama-sama mengerti dan memahami kedudukan dan fungsinya. Buatlah aturan yang gak muluk-muluk tetapi dilaksanakan dengan baik, mulailah dengan hal-hal yang umum dan merembet ke khusus. Akhirul kata rasis itu tak kan pernah mati, selalu ada selama dunia ini ada, dunia akan kiamat jika seluruh manusia melakukan kerusakan bumi yang terlampau dahsyat...

Penulis : Mas Noor
(Loyalitas tanpa batas untuk PSIS Semarang)

[+/-] Selengkapnya...

27 Juli 2008

SNEX EREKSI, PSIS IMPOTEN !!

PERSIKMANIA : Piye.. piye.. piye kabare.. piye kabare Snex mania...
SNEXMANIA : Apik..apik.. apik kabare.. Persikmania....


Snex News- Penggalan lagu tersebut begitu menggetarkan hati, betapa tidak dinyanyikan ribuan Persikmania dengan tetabuhan rancak dan variatif. Lagu balasanpun dari Snexmania terdengar walau sayup-sayup karena berada di sektor selatan dengan ratusan Snexers dan penggemar PSIS yang ada di Kediri dan sekitarnya. Lagu tersebut diatas adalah lagu RESPECT terhadap suporter tamu yang hadir di stadion Brawijaya.. dengan lagu tersebut menumbuhkan rasa kebersamaan dan persaudaraan sesama suporter se-tanah Jawa.

Andaikan lagu diatas kata "Snexmania" diganti dengan "PSIS" bagaimana balasannya ?


jawabnya :
SNEXMANIA : Elek.. elek.. elek maine.. elek maine Mahesa Jenar

Prediksi permainan yang tak berpola (lemahnya finishing touch, duel body, passing, insting, semangat bertanding, dll) sudah terlihat di awal-awal kompetisi lihat tulisan ini. Belum pernah semalu ini, kami suporter Semarang Extreme keluar stadion dengan muka tertekuk kebawah. Malu melihat timnya dibantai 4-0, malu melihat kondisi PSIS yang tidak berubah "berjalan di tempat".

Beberapa SMS masuk di Snex_Cyber (langsung dari Kediri dan Semarang) memberi opini :
A : wis mulih ae ngisin2i ae dbelani tekan kene maine ky ngene.
C : psis mesti lo2s trus yen duel q yo2k ki bajingan milih pelatih yo gatel sing apik sing ireng tok, lokale kon anggon wedhus ae lak wis..
B : cuman 1 kalimat saja : Ganti Yoyok Sukawi !!

Itu di atas adalah sebagian SMS yang masuk ke Admin, betapa kecewa dan sedih mereka. Kita maklum aja, sebagai penggemar dan pencintapun sedih melihat timnya kalah mengenaskan. Kita mesti bertanya, sampai diposisi berapakah PSIS bertahan... !!
Sejenak kita renungkan, awal terbentuknya Skuad Mahesa Jenar ini yang hampa dana lihat tulisan ini. Belitan dana untuk pemain, membuat PSIS banyak melepas pemain-pemain hebat ke luar area Semarang (Ridwan, Khusnul, Maman, Harry, Komang, Lopez), akhirnya paket hemat (PAHE) menjadikan pilihan pemain muda yang "asing" (asing nama di telinga publik Semarang), tanpa pemain-pemain hebat tersebut PSIS seperti IMPOTEN.

Evaluasi "emergency" segera dilakukan :
1. Ahmad Muhariah (tidak lebih baik dari EP)
2. Agus Murod Al Faridzi (kurang tenang, sering bola lepas)
3. Edson (kurang koordinasi dan komunikatif)
4. Didik Darmadi, Sapto, Ilham Asdat (demam panggung, tidak PeDe)

Selain warning pemain diatas, SUDAH SAATNYA SNEX BICARA, bertemu langsung dengan Manajemen atau MENULIS KRITIK PEDAS, demi kelangsungan dan kejayaan PSIS ..... ayo SNEX.. AYO EREKSI .... !!

PERSIKMANIA : Sayonara..sayonara.. sampai berjumpa pula...

TERIMA KASIH ATAS SAMBUTANNYA DAN JAMUANNYA ...!!!

[+/-] Selengkapnya...

02 Juni 2008

Tonggak Kebangkitan Semarang Extreme Community

Masih hangat di ingatan kita, bagaimana bangsa ini bergolak kembali, berteriak, menyuarakan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Terlepas dari usulan sejumlah pakar untuk me-review ulang catatan sejarah, di mana organisasi modern seperti Serikat Dagang Islam yang juga berwawasan kebangsaan muncul sebelum peristiwa Kebangkitan Nasional tersebut layak untuk diambil hikmahnya.

Bagaimanapun, ia merupakan fenomena yang menjadi tonggak penting perjuangan rakyat Indonesia dalam menghadapi penjajahan Belanda. Keberadaannya telah menjadi momentum sejarah yang tidak terlupakan.


Kini, usia seratus tahun cukup panjang untuk sebuah penantian., momentum 100 tahun Harkitnas tersebut diharapkan akan mendorong dan menstimulasi kebangkitan supporter Indonesia dalam menghadapi berbagai krisis dan permasalahan berat yang dihadapinya. Dari PSSI yang sakit-sakitan, klub-klub kecil yang ‘mati suri’ hingga supporter yang belum juga menemukan ‘jati dirinya’.

Sebuah harapan dan optimisme yang harus terus ditumbuhkan. Bagaimanapun, sikap pesimis dan mudah putus asa merupakan cerminan perilaku kufur seseorang.

Menjadi bangsa yang bangkit merupakan harapan dan keinginan semuanya. Namun, kebangkitan tersebut tidak akan memiliki makna manakala tidak diikuti dengan berbagai upaya perbaikan secara terus-menerus. Inilah yang menjadi inti dari Momentum 100 Tahun Kebangkitan Nasional, yaitu perbaikan kondisi para bolamania ke arah yang lebih positif.

Konsep ishlah sebagai intisari dari perbaikan dan perubahan yang mencakup beberapa aspek penting dan strategis yang di dukung ishlahul ukhuwwah. Yaitu memperbaiki ukhuwah atau persaudaraan antar sesama kelompok supporter. Harus ditumbuhkan perasaan empati dan senasib senasib dan sepenanggungan antar komunitas.

Kemudian ishlahul imamah, yaitu perbaikan kepemimpinan. Sudah saatnya para pemimpin didorong untuk memiliki keberpihakan yang kuat kepada “arus bawah”.. Sesulit apa pun kondisi yang dihadapi, itu merupakan sebuah keharusan.

Demikian pula dengan perilaku amanah. Setiap pemimpin harus menyadari pentingnya berperilaku amanah karena ia memiliki korelasi kuat dengan kesejahteraan bawahan. Sebaliknya, perilaku khianat (organisasi menjadi ladang mencari penghasilan/makan) hanya akan mendatangkan kehancuran dan perpecahan.

Sebagai unsur terkecil kami dari Semarang Extreme Community memiliki peran yang sangat strategis sebagai benteng pertahanan moral yang ditopang oleh paseduluran (kebersamaan) yang kuat.

Karena itu, komunitas kami adalah variabel yang tidak boleh diabaikan dalam memerankan diri sebagai contoh dan teladan bagi saudara-saudaraku kelompok supporter lainnya. Keteladanan seperti inilah yang insya Allah diyakini mampu meningkatkan daya tahan sebuah kelompok pendukung tim di dalam menghadapi berbagai gejolak dan problematika sosial yang semakin kompleks

(masImam_gariskeras)

[+/-] Selengkapnya...

24 Mei 2008

RIVALITAS DAN KEDEWASAAN

No Supporters, No Football...apa jadinya dalam sebuah pertandingan bola tanpa penonton ?? wuiiih rasanya kayak makan nasi tanpa ayam goreng :). Di negara manapun yang namanya bola selalu ada suporternya, sampe di arab sono, juga ada, coba perhatiin, timnas Arab Saudi suporternya pake jubah semua, jadi kalo liat di stadion sana, cuman putiiiih, doang, yah namanya negara arab. beda dengan kita orang Indonesia, kalo gak begaya bukan suporter namanya, muka dicoret ma pilox, rambut disemir sama sol sepatu, pokoknya mah begaya.. norak pasti. Dulu tuh di stadion Jatidiri Semarang ada suporter porno..!,

kalo pas gol di lepasin baju ma celana terus jingkrak-jingkrak kegirangan, pernah saking senengnya di tu jatuh, kalo jatuh di pohon toge paling cuman lecet-lecet, lha ini jatuh dari ketinggian 5-10 meter, cek..cek.. kalo patah cuman kaki sih biasa, kalo patah anunya kan bisa berabe. Itulah serba-serbi di dalam stadion, yang selalu saja ada cerita di dalamnya. Tingkah laku suporter menjadi nilai lebih di dalam setiap pertandingan bola, selain mendukung tim sepakbola, juga menjadi hiburan gratis bagi penonton biasa... gimana gak enak udah timnya main apik, menang, hiburan dari suporter, mangen pecel karo sate, disebelahe cewek ayu, wah puas..puas.
Di Indonesia, para suporter mania emang dikondisikan terkotak-kotak yang artinya klub adalah lambang kebanggaan, fanatisme, simbol kedaerahan, yang terbaik dari klub manapun, akhirnya menjadi panatik (saking fanatiknya), lawan adalah musuh, dan musuh harus dikalahkan, sehingga dalam setiap episode LIGINA selalu saja ada cerita bentrok antar suporter, bisa emang permusuhan abadi (turun-temurun) dari warisan kakek-kakek kita, ato bentrok yang emang gak ada sejarahnya pun bisa terjadi !

Rivalitas klub-klub di kompetisi lokal juga berpengaruh terhadap bentrok dan kerusuhan antar suporter. Rivalitas selalu ada, juga masalah kecemburuan klub/suporter berpengaruh terhadap potensi kerusuhan, contoh transfer dan gaji yang gila-gilaan, membajak pemain tim lain, dsb. Kedewasaan suporter wajib diperlukan, perlu waktu untuk membina dan menggalang persatuan, karena kita satu bangsa, satu bahasa, yaitu Indonesia, tapi kapan itu bisa terwujud.... mari kita mulai dari sekarang !!

penulis : m.noor (noor_muhamad@yahoo.co.id)

[+/-] Selengkapnya...

16 Mei 2008

SEPAKBOLA DENGAN APBD

Telah lama kucuran dana APBD menghiasi persepakbolaan Indonesia, bahkan ketika krisis moneter menerjang hampir semua klub swasta yang notabene ex galatama yang mempunyai prestasi besar di persepak bolaan nasional maupun internasional kolap atau bubar sebut saja mulai dari BPD jateng, warna agung, Arseto solo bahkan yang paling fenomenal adalah juara dan runer up ligina II & III Bandung raya pun ikut gulung tikar praktis setelah itu hanya tinggal Petrokimia putra, Arema, Pelita Jaya, PKT Bontang, Semen Padang tetapi itupun klub milik BUMN tercatat hanya Arema dan Pelita Jaya yang bukan. Sedangkan klub ex perserikatan tetap berkibar dengan gagahnya karena mendapatkan durian runtuh yang bernama ”APBD

Tidak dapat dipungkiri dengan kehadiran APBD kompetisi sepak bola di negara kita berjalan begitu meriah dan semarak tercatat pemain asing maupun lokal mendapat bayaran yang nilainya lumayan fantastis. Tetapi di balik nilaii fantastis tersebut sudahkah kita sebagai masyarakat menikmati hasilnya yang bernama prestasi atau tranfers ilmu dari pemain asing atau….? Padahall masyarakat berhak tau atau menikmati hasil dari APBD yang digunakan dengan dalih membangun persepakbolaan nasional. Paling tidak masyarakat bisa merasakan prestasi untuk klub lalu bermuara ke timnas walau hanya prestasi di tingkat regional saja.

Perhelatan kompetisi tahun 2008-2009 mungkin tak akan sesemarak musim sebelumnya karena sebagian besar klub akan mengencangkan ikat pinggang pengeluarannya musim ini. Mungkin bisa dikatakan titik nadir kompetisi kita. Tetapi dengan mulai di stopnya APBD kita dapat memulai kembali membangun fondasi sepak bola nasional yang lebih baik mungkin akan makin banyak klub yang berjatuhan karena seleksi alam tetapi justru dengan cara itulah klub yang dapat bertahan akan menjadi klub yang benar-benar profesional dan kuat baik secara prestasi maupun financial. Tentu dengan kompensasi harga tiket akan melonjak dan klub pasti akan benar-benar mencegah kebocoran dari sektor tersebut. Tetapi bukankah itu juga baik karena nyatanya penonton yang akan datang ke stadion mereka yang benar-benar siap secara materi ingin membeli tiket dan menyaksikan suatu pertandingan bukan datang menunggu jebolan, mrobos atau memanjat tiang lampu dan pohon. Maka saya yakin penonton datang untuk menikmati pertandingan dan bernyanyi mendukung kesebelasanya bukan untuk berbuat rusuh. Bukankah derby country yang sudah jauh-jauh hari dipastikan degradasi tetapi mengapa stadion mereka tetap ramai? Karena mereka datang sekali lagi untuk menonton dan menikmati pertandingan.

Kita perlu sadari bersama bahwa konsumen sepak bola Indonesia adalah golongan menegah kebawah baik secara ekonomi maupun pendidikan. Menurut hemat saya ada 2 opsi mengapa ada kerusuhan di stadion

  1. biasanya mereka adalah orang-orang yang mungkin tidak mempunyai ruang untuk menunjukan diri. Mereka hanya berangkat ke stadion tanpa persiapan yang cukup asal pakai kaos SneX, Aremania, Pasoepati dsb masuk nunggu jebol atau brobosan lalu mereka berbuat seenaknya seperti melempar benda ke lapangan, menggangu penononton lain, mabuk, dsb lalu ketika ketika mereka kembali ke lingkunganya tentu mereka akan bercerita dengan bangganya bisa ini itu atau apalah terserah mereka dibumbui 1ons seolah jadi 1kg atau masih dukir,dukir tapi ngakunya macul .
  2. untuk yang kedua ini mungkin percaya atau tidak ini adalah skenario dari klub. Karena mereka menggunakan APBD apabila klub tidak sesuai dengan target maka mereka sengaja membuat kerusuhan biasanya klub membentuk pengamanan swadaya ada yang match steward, korlap, garis keras, radikal dsb padahal apabila terjadi kerusushan apakah kelompok pengamanan itu mampu mengatasi? Mengapa bukan dari aparat saja? Dengan dalih kalau mereka tidak dilibatkan akan membuat kerusuhan. Mungkin apabila benar pecah kerusuhan mengapa tidak orang-orang seperti mereka yang ditangkap karena mereka membuat rusuh? Jadi dari mana klub bisa menyimpulkan seperti itu? Itu adalah elemen yang dibina dari klub untuk memicu kerusuhan. Atau mungkin klub menyuap wasit atau pemain lawan agar berbuat tidak sportif agar memicu kemarahan penonton.

Bagaimana dengan klub yang tidak hidup dengan APBD? Hampir kita tidak pernah melihat adanya kerusuhan hebat yang diakibatkatkan ulah suporter mereka karena sebagian klub non APBD adalah milik BUMN kalau pun Pelita Jaya adalah milik Bakri grup jadi langkah mereka bisa dibilang aman-aman saja.

Pertanyaan kita pasti akan tertuju ke arah Arema dengan kerusuhan yang dibuat oleh Aremania di kediri. Tetapi kita perlu mencermati itu semua mungkin puncak kekesalan Aremania terhadap ulah PSSI mulai dari terlambat mendaftarkan hak keikutan di piala champion asia hingga selalu digembosinya Arema soal masalah sponsor. Atau mungkin itu ulah pemkot malang sendiri yang sengaja menyuap wasit dan mengharapkan bahwa Aremania di hukum sehingga para Aremania bisa pindah mendukung Persema, saya juga heran ketika bonek melakukan kerusuhan yang tidak kalah dengan Aremania di tambaksari dengan peristiwa asusemper tiba-tiba muncul Hinca Panjaitan yang pasang badan yang bisa mengkorting hukuman. Saat itu bahkan muncul suara-suara bahwa apabila tidak ada penonton para pedagang kaos, minuman, makanan hidup dengan apa? Bukankah yang dialami oleh Arema justru sama bahkan lebih tragis kalau Persebaya tanpa penonton masih bisa hidup dari APBD. Bagaimana dengan Arema? Tanpa penonton sama saja dengan kiamat? Saya menunggu ada pihak dari PSSI yang mau pasang badan demi Arema, rasanya tidak mungkin karena Arema tidak mau mengemis ke rutan salemba menemui Nurdin Halid seperti yang dilakukan klub lain apabila mendapat hukuman dari KOMDIS PSSI tetapi malah makin lantang mendemo PSSI untuk direvolusi. dalam hal ini saya salut terhadap kawan-kawan Aremania.

Bagi insan sepak bola di tanah air klub tanpa APBD bukanlah kiamat walaupun akan mencapai titik terendah selama kompetisi LIGINA berlangsung. Tetapi itu merupakan Fondasi awal memulai era sepak bola Indonesia yang baru. Semoga sepak bola tidak seperti sekarang dijadikan alat politik, korupsi, kolusi, nepotisme, karena memang sepak bola adalah industri yang strategis seperti istilah kecil ” menjadi manajer klub itu siapapun bisa karena dikucuri dana belasan milyar tetapi yang tersulit adalah menjadi anak, menantu, adik, saudara dari bupati atau walikota” karena memang yang terjadi adalah pemimpin daerah adalah ketua umum dari sebuah klub. Tersebut dan apabila mereka melakukan korupsi dari APBD dengan dalih sepak bola itulah yang termudah karena tidak ada bukti tertulis asal dipakai alasan untuk bonus pemain atau kontrak sudah sulit terbukti. Contoh lain nilai kontrak pemain jarang yang dipublikasikan ke publik rata-rata hanya rumor baik dari orang dalam klub itu sendiri maupun dari media dan belum ada yang pernyatan resmi dari sebuah klub melalui juru bicara resmi atau pemain yang bersangkutan dengan menunjukan nilai kontrak.

Semoga dengan di stopnya kran APBD dan bertepatan dengan momentum 100 tahun kebangkitan nasional ini sepak bola Indonesia ikut bangkit maju menjadi lebih baik yang bisa membuat garuda terbang tinggi, merah putih berkibar dengan bangga di penjuru dunia dan Indonesia raya bukan hanya lagu pengantar tidur….

Selayang pandang dari Ardiyanto Aryoseno (adiet)
Suporter Semarang Extreme ( SNEX )


[+/-] Selengkapnya...

08 Mei 2008

KOMDIS SNEX, DISINI !

Salam Kenal, kami dari Komunitas Diskusi SNEX disingkat KomDis SNEX sangat berterima kasih pada rekan-rekan dari Semarang Extreme Cyber Community yang berhasil menciptakan blog ini, hingga hasil diskusi dan kajian yang dilakukan oleh kami bisa terbaca dan tersosialisasi.
Thank to SECC ............. semoga komunitas-mu jadi salah satu pilar di SNEX.
Profil singkat :
KomDis SNEX sebetulnya sudah melakukan kegiatan sekitar 6 bulan yang lalu, mulanya hanya iseng, kumpul-kumpul bareng membahas segala macam hal berkaitan dengan sepakbola, PSIS dan tentunya Republik Militan SNEX tercinta. Dari segala macam tempat mulai dari emper toko, warung sego kucing, emper baiturrahman, ikon semarang tugumuda maupun di rumah peserta diskusi, KomDis SNEX melakukan kegiatannya dengan swadaya tentunya (alias bayar dewe2...). Seperti komunitas laen kami di KomDis SNEX pun ingin deklarasi tetapi sebelumnya kami nunut publikasi lewat SECC (dirawat terus lo mas SECC blognya....biar kita bisa nunut publikasi tulisan...he..he..he...). Secara resmi KomDis SNEX memang belum ada pengelolanya untuk itu lewat blog ini kami ajak rekan-rekan snexer yang suka kajian dan diskusi utamanya yang fokus untuk sepakbola, PSIS, SNEX ato.....laenya juga boleh.
Untuk sementara KomDis SNEX di punggawani oleh Bang Jun (salah satu deklator SNEX yang juga konseptor dibalik berdirinya SNEX).
Sedikit untuk salam perkenalan, baca tulisan ini, okey :

TENTANG PSIS

Yoo....ayo....ayolah Semarang.......
Kini saatnya jadi juara
Juara Liga Indonesia
Bersama .......SNEX mania.....

Demikian gemuruh suara yang bersumber dari pusat 'gempa', yakni di titik putih di garis tengah Jatidiri. Suara yang mampu menggetarkan wilayah Jatingaleh dan sekitarnya dengan skala mungkin lebih dari 6,5 richter (berdasarkan: sms mbah maridjan di pinggir kawah merapi, mbah maridjan pun nggumun '.....kok iso-isone la wong nyekel hp wae ra tau......snex po ra.....'). Bukan tektonik, apalagi vulkanik but gemuruh berasal dari pita suara para suporter yang tak henti-hentinya "berolah vokal" mendukung soulmate-nya, PSIS Semarang.
Itu semua terjadi pada tahun 2007 lalu. Saat PSIS masih mempesona dengan pemain2 bintangnya. Saat PSIS masih diliputi kebanggaan sebagai kandidat juara Liga Indonesia. Saat PSIS masih bergelimang dana APBD. Benar-benar meriah dan memanjakan para pengila bola kota Semarang.
Akan tetapi...... harapan yang demikian membubung, ternyata berbanding terbalik dengan prestasi yang diraih laskar Mahesa Jenar. Bukan juara yang diraih, justru PSIS terjerembab ke dalam lubang (red : waduh pake kata2 lubang emang-nge koyo dalan2 neng kota semarang akeh lobang lan semrawut) 'degradasi berjamaah', alias gagal masuk zone superliga. Kondisi yang membuat suporter dan pecinta PSIS meratap, menangis dan meradang (red : watake mergo mikir rego2 do mundhak) tanpa tau apa yang bisa dilakukan dan kepada siapa meminta pertanggungjawaban. Sungguh ironis !!!(red : sungguh terlalu salim..........)
Dan kini, PSIS sedang mencoba menata diri, agar dapat mandiri, dan kembali ke kasta-nya, sebagai team besar dan disegani di jagad sepakbola Indonesia. Meski tanpa pemain lokal bintang, dan tanpa gelontoran dana APBD, PSIS harus tetap berprestasi. Untuk itu, semua elemen PSIS dari manajerial hingga suporter, harus bersatu dan bersama-sama nyengkuyung eksistensi PSIS. Kegagalan tahunlalu, hendaknya dapat menjadi pelajaran berharga dan cermin bagi para stakeholder PSIS.
Selamat berjuang PSIS ....kejarlah Superliga, karena memang disanalah tempatmu !
Bravo PSIS.....!!!

Penulis : Bang Jun (081325276056)
email : komdis_snexer@yahoo.co.id

[+/-] Selengkapnya...

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP